Mohon tunggu...
Rajendra
Rajendra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diskriminasi Rasial dan Etnis: Studi Kasus terhadap Pengungsi Rohingya

17 Desember 2024   15:02 Diperbarui: 17 Desember 2024   15:11 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskriminasi rasial dan etnis merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi manusia yang mendasar. Prinsip kesetaraan dan anti-
diskriminasi menjadi inti dari hak asasi manusia, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights
(UDHR): "Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam
martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani serta
harus bersikap satu sama lain dalam semangat persaudaraan."
Pernyataan ini menegaskan pentingnya kebebasan, kesetaraan,
dan solidaritas dalam kehidupan manusia.
Salah satu contoh nyata diskriminasi rasial dan etnis adalah
yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar. Sejak masa
kolonial Inggris, Rohingya yang dibawa dari wilayah Bengal
untuk bekerja di sektor pertanian dan perdagangan mulai
diasingkan secara sosial. Setelah Myanmar merdeka pada 1948,
status kewarganegaraan Rohingya ditolak, dan mereka dianggap
sebagai imigran ilegal. Diskriminasi sistematis dari pemerintah
Myanmar memicu kekerasan, pengusiran, serta perlakuan tidak
manusiawi terhadap Rohingya, termasuk pengusiran ke kamp-
kamp pengungsian. Situasi tersebut memaksa etnis Rohingya
mencari suaka ke negara lain, termasuk Indonesia.

Diskriminasi terhadap Rohingya
Bentuk-bentuk diskriminasi rasial dan etnis terhadap
Rohingya di Myanmar mencakup berbagai pelanggaran hak
asasi manusia. Salah satu bentuk diskriminasi paling mendasar
adalah penolakan status kewarganegaraan Rohingya berdasarkan
Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang
mengakibatkan mereka menjadi stateless atau tanpa
kewarganegaraan. Selain itu, pemerintah Myanmar telah melakukan pengusiran paksa, penangkapan sewenang-wenang,
penyitaan properti, perkosaan, propaganda anti-Rohingya dan
anti-Muslim, kerja paksa, pembatasan kebebasan bergerak, serta
diskriminasi di bidang pekerjaan dan agama.

Akar konflik ini berawal dari perbedaan etnis dan agama
antara Rohingya yang beragama Islam dan mayoritas etnis
Rakhine yang beragama Buddha. Kedua kelompok tersebut
mendiami wilayah Arakan, yang kini dikenal sebagai Rakhine.
Sebelumnya, Rohingya sempat diakui sebagai bagian dari
Myanmar, bahkan memiliki perwakilan di parlemen pada
periode 1948-1962. Namun, sejak pemerintahan Jenderal Ne
Win berkuasa pada 1962, identitas etnis Rohingya mulai
dipinggirkan secara sistematis. Propaganda negatif pun
digunakan untuk membangun stigma bahwa Rohingya adalah
pendatang ilegal, meskipun mereka telah lama menetap di
wilayah tersebut.

Puncak diskriminasi terjadi pada 2016, ketika eskalasi
kekerasan melanda etnis Rohingya. Rumah-rumah mereka
dibakar, harta benda dirampas, dan banyak warga Rohingya
kehilangan nyawa serta terpaksa melarikan diri ke negara lain.
Kekerasan ini, jika dianalisis berdasarkan hukum internasional,
sudah termasuk dalam kategori genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pasal 6 Statuta Roma mendefinisikan genosida
sebagai tindakan yang bertujuan menghancurkan sebagian atau
seluruh kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. Sementara
itu, Pasal 7 menyebut kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai
serangan sistematis terhadap penduduk sipil.

Tindakan pemerintah Myanmar jelas melanggar berbagai
instrumen hukum internasional, seperti Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women (CEDAW), dan
International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination (ICERD). Namun, Myanmar hingga kini belum meratifikasi sebagian besar perjanjian tersebut, sehingga
menyulitkan proses penyelesaian hukum melalui Mahkamah
Pidana Internasional (ICC). Berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf a
Statuta Roma, ICC dapat mengambil alih yurisdiksi jika negara
yang bersangkutan tidak bersedia atau tidak mampu menangani
kasus tersebut.

Dengan demikian, diskriminasi terhadap Rohingya bukan
hanya persoalan internal Myanmar, melainkan juga tantangan
global bagi penegakan hukum internasional dan perlindungan
hak asasi manusia. Kasus ini menunjukkan urgensi keterlibatan
komunitas internasional dalam menekan Myanmar untuk
menghentikan pelanggaran dan mempertanggungjawabkan
tindakannya di hadapan hukum internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun