Mohon tunggu...
Wurry Parluten
Wurry Parluten Mohon Tunggu... wiraswasta -

Nama lengkap saya Wurry Agus Parluten. Saya manusia Indonesia biasa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Desa Mulya Abadi

2 September 2015   14:50 Diperbarui: 2 September 2015   14:53 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rahman Belida" (film pendek hasil riset tanggal 25 Februari 2015) menjadi acuan pertama untuk pembuatan film kami. Masih ada pertanyaan lain yang ada di pikiran saya, yaitu, seputar peralatan yang akan dipakai pada saat syuting nanti. Terus terang, di antara kami bertiga yang punya alat hanya Dwi Yulius Kaisal, karena dia pemilik studio "Dwi Photo Gelumbang".

 

Saya sendiri punya laptop yang berkemungkinan bisa dipakai untuk editing, sedang Julfitri Wazirul Akbar punya lagu-lagu milik The Brunos yang bisa dijadikan latar musik. Berbekal 3 modal tersebut, kami meneruskan penggodokan film. Pertanyaan yang cukup mengganggu adalah, apa kami bisa menggabungkan hasil DSLR dengan hasil video syuting kawinan?

 

Saya pun melakukan testing menggabungkan 2 tipe file, dari DSLR dan dari video kawinan. Ternyata bedanya cukup jauh, karena kualitas DSLR jauh berbeda dengan kualitas video kawinan. Ini yang menjadi kendala utama, sebab kalau mengandalkan DSLR, maka kami hanya punya satu kamera. Tentu akan sulit membuat film panjang hanya dengan satu kamera saja.

 

Di sisi lain, permasalahan ekonomi juga melanda saya. Setelah tahun 2012 pemasukan mulai tak tentu lantaran harga tender karet  selalu di bawah 10 ribu rupiah. Artinya, saya harus memprioritaskan kelangsungan hidup ketimbang membeli alat-alat tambahan. Harapan utama di awal tahun 2015 berasal dari honor menulis sebuah skenario film, malangnya, honor tersebut tidak kunjung dibayar bahkan konon Produsernya kehabisan uang. Saya sempat patah semangat, karena walau bagaimana pun, saya pernah janji untuk menambah equipment agar proses produksi jadi lancar. Saya pun tidak tega mengambil dari keuangan kebun, karena memang kondisi benar-benar berat. Satu hal yang paling bisa saya lakukan adalah tetap fokus mengerjakan persiapan produksi. Mungkin dengan cara ini saya bisa melupakan problema hidup dan tetap fokus membuat film.

 

Dengan segala kendala yang ada, saya pun mengajak Dwi Yulius Kaisal dan Julfitri Wazirul Akbar untuk survei sekali lagi. Berbekal telaah dari "Rahman Belida" dan "Sinopsis Where is My President?", saya memutuskan untuk membuat cerita yang aplikasi di lapangan nanti jadi mudah. Maksudnya bukan dalam rangka menggampangkan situasi, tapi justru mencari solusi dengan keterbatasan alat yang ada. Kami hanya punya satu kamera DSLR, dan itu adalah senjata Dwi untuk foto kawinan. Satu-satunya senjata yang kami punya untuk melakukan perekaman gambar.

 

5 April 2015 adalah riset kedua ke lokasi. Saya pun berdiskusi dengan Harun Roni (Kepala Sekolah MI Nurul Islam) mengenai kesulitan kami, sekaligus memberi masukan tentang rencana pembuatan film yang hanya memakai "satu lokasi". Di sinilah saya mulai memasukkan Roni sebagai tim "cerita" pada proses pembuatan skenario. Lucunya, saya jadi teringat sekitaran tahun 2000 dimana sempat hendak membuat film barengan paman Kaprawi Imyuh di daerah Segayam (lokasi-nya beda lagi). Bahan-bahan itu lantas saya catat, dengan harapan, bisa di-combine menjadi satu cerita utuh.

 

Sepulang dari survei, keputusan untuk membuat cerita "satu lokasi" semakin kuat. Saya mulai menggarap skenario seperti layaknya script pada umumnya, lengkap dengan dialog, dsb. Rencananya kami akan produksi 9 kali, alias, 9 kali datang ke lokasi. Setiap datang, kami targetkan untuk menghasilkan film berdurasi 10 menit. Jika 9 kali, berarti total 90 menit.

 

Berulang kali skenario digodok agar mempermudah proses produksi dengan alat seadanya. Saya pun membuat dialog-dialog yang mudah dan ringan, agar tidak merepotkan pemain. Soalnya tak satu pun dari mereka punya pengalaman teater, apalagi bermain film. Pemain kami pilih asli semua, mengingatkan saya akan gaya NEOREALISM ITALY pada saat kuliah dulu. Semua apa adanya. Dan produksi tahap pertama adalah penentuan, apakah perjuangan ini berhasil? Atau malah sebaliknya?

 

 

(Gelumbang, 29 Agustus 2015)

(Gandus, 1 September 2015)

(Gelumbang, 2 September 2015)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun