Poster pic.twitter.com/R3AUh59LvT— Film Soekarno (@Film_Soekarno) September 6, 2013
Tidak sengaja membaca data tentang 160 bioskop yang ada di Indonesia. Data ini saya dapatkan dari link yang ada di bawah ini...
Lalu saya kembalikan ke masalah penonton Indonesia, yang pernah saya tulis di Kompasiana sebelumnya. Tulisannya ada di link bawah ini...
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana logikanya agar penonton kita jadi ramai? Dalam artian, paling tidak bisa tembus 1 juta penonton saja. Salah satu solusi dari saya ini, akan ada di majalah FrameMagz edisi selanjutnya. Keterangan lebih lanjut, bisa hubungi link di bawah ini...
Di Hollywood ada istilah yang namanya box office. Gampangnya, istilah seperti ini merujuk kepada film laku, film untung, laris, dsb. Dulu saya menilai film box office itu adalah, film yang tembus 100.000.000 dollar pendapatannya. Jadi saya penasaran, ingin tahu seperti apa cerita film tersebut? Ini saya lakukan demi kepentingan skenario, dalam artian melihat tren cerita.
Makin dalam saya melihat tentang tren box office, ternyata yang disebut film untung itu bukan saja film yang tembus 100 juta dolar, tapi bicara persentase. Jadi kalau film tembus 100 juta dolar pendapatan tapi modalnya misalkan 150 juta, namanya rugi dong. Ini bicara persentase, jadi hitungannya adalah berapa modal, berapa pendapatan, berapa keuntungan. Baru deh, kita bicara tren cerita.
Uniknya di Indonesia, yang menjadi pengukuran adalah data penonton. Jadi ukurannya adalah banyak penonton yang datang ke bioskop. Lah? Saya kok jadi mikir, kalau penonton banyak tapi nggak beli tiket buat apa, dong? Ini ada hubungannya sama tulisan saya tentang 1001 tiket di bawah ini...
Jadi kalau memang ingin bicara box office ya, bicara duit aja. Jangan jumlah penonton. Soalnya dari situ kita bisa tahu keuntungan yang didapat dari tontonan itu berapa rupiah. Tentu saja ini ada hubungannya sama pajak, sama perkembangan bisnis film masa depan, banyaklah. Semacam era keterbukaan pendapatan di bisnis perfilman Indonesia.
Jadi dari 160 buah bioskop yang merupakan jaringan 21 (contoh), kita bisa hitung-hitungan secara pendapatan. Kan ada bioskop yang tiketnya 25.000, terus ada bioskop yang tiketnya 100.000. Macam-macamlah pokoknya. Malah kalau perlu untuk gala premiere, kita bisa jual tiket dengan kursi mirip kelas-kelas saat menonton konser. Ada kelas VIP, kelas Festival, dsb. Seperti inilah kira-kira bayangannya.
Intinya kita kembalikan, bagaimana cara menghitung pendapatan film kita berdasarkan uang, bukan berdasarkan jumlah penonton. Jadi dari situlah kita bisa mengukur, seberapa besar uang yang didapat dari perfilman indonesia. Tentunya akan berbekas ke jumlah pendapatan daerah maupun pendapatan nasional dari bidang perfilman.
Baru dari situ kita bisa simpulkan, masih perlukah adanya Film-Film Indonesia? Kalau tidak perlu, bagaimana dong solusinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H