Film “12 Menit Kemenangan Untuk Selamanya” mendapatkan ulasan yang sangat positif, baik dari media maupun para kritikus film. Namun dibalik kisah film tersebut, sang produser menyimpan kisah tersendiri yang tak kalah menyentuh.
Film “12 Menit Kemenangan Untuk Selamanya” berkisah tentang perjuangan sebuah marching band kota kecil yang akan bertarung dalam ajang bergengsi di Jakarta. Konflik yang diusung tak hanya mengenai latihan dan kerja keras mereka, tapi juga permasalahan keluarga anggotanya.
Sebagai film keluarga, film ini mendapat ulasan positif, sebab mampu menginspirasi dan mengobarkan semangat juang generasi muda dalam menggapai impiannya. Ide cerita film ini juga tak lepas dari pengalaman produsernya, Regina Septapi yang merasa anaknya terbantu berkat kegiatan marching band.
Kesulitan Belajar Matematika
Sebagai seorang ibu rumah tangga, Regina tidak pernah berpikir bahwa suatu saat ia akan menjadi produser film. “Latar belakang saya pendidikan, sehingga saya punya pengetahuan psikologi,” katanya saat ditemui di sela kesibukannya mempromosikan film perdananya tersebut.
Menurutnya, ide cerita film ini sepenuhnya dari anak sulungnya, Matthew Sebastian Theardy(15 tahun) yang akhirnya mampu mengenal angka berkat kegiatan marching band. “Sejak kecil, anak saya sulit sekali mengenal angka dan sering terbalik-balik,” kenang kelahiran Pangkal Pinang, 1 September 1970.
Matthew lamban dalam mempelajari matematika, sehingga sering pindah sekolah karena tidak naik kelas. “Ia kesulitan dalam angka dan langsung mendapatkan predikat bodohdari guru dan teman-temannya,”keluh Regina yang juga sempat merasa kesal dan marah dengan ketidakmampuan anaknya.
Setelah mengamati cara berpikir Matthew yang hanya mengenal angka melalui perumpamaan, Regina sadar kalau anaknya mengalami kelainan. Ia pun menemui seorang Pedagog (pembimbing pendidikan). Dari rangkaian tes dan scan otak, diketahui bahwa sulungnya mengalami kerusakan di otak kecil yang menyebabkannya mengalami Diskalkulia.
Meski sudah melakukan terapi, namun Regina merasa kemajuannya sangat lamban. Seiring pertumbuhan usianya, Matthew mulai mengenal malu dan merasa minder karena sering tidak naik kelas. Untuk mengatasinya, Regina memutuskan agar Matthew bersekolah di rumah.“Saya tidak ingin ia terbebani dengan ketidakmampuannya itu,” terangnya.
Mengenal Marching Band
Sebagai bekal keahlian di masa depan, Regina memutuskan baik Matthew maupun kedua adiknya, Madelaine Skolastika (13 tahun) dan Mavelaine Sevannya (11 tahun)untuk ikutkursus musik. “Saya ingin memberikan bekal keahlian bagi Matthew saat besar nanti, karena saya tahu ia pasti akan sulit bersaing di bidang akademis.”
Walau tidak bisa main musik, Regina sadar kalau musik bisa menjadi bekal cukup bagimereka di masa depan, terutama Matthew. Untuk itu, mereka juga melakukan kesepakatan bersama. “Saya tidak boleh marah kalau mereka nakal atau bolos sekolah, tapi saya akan sangat marah bila mereka tidak latihan musik dan bolos kursus,” tegasnya.
Suatu kali, Regina datang ke acara Grand Prix Marching Band(GPMB) Nasional yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno.Kala itu ia belum mengenal marching banddan underestimate dengan kemampuan pesertanya,sebab terlihat dekil dan berasal dari daerah. “Tapi saat mereka tampil, saya tercengang. Ternyata ada yang sekeren ini di Indonesia,” akunya.
Seketika itu juga ia meminta ketiga anaknya ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Awalnya tak satupun dari anak-anaknya yang tertarik, sehingga menolak saat diminta ikut marching band. “Diam-diam, saya daftarkan mereka ke marching bandGaruda yang tengah mencari anggota baru.”
Untuk memicu minat ketiga anaknya, Regina pura-pura ingin ikut marching band dan meminta mereka mencoba alat musik satu persatu. “Saya biarkan mereka memilih dan memainkan alat yang disukai, lalu meminta mereka menggantikan posisi saya,” kata Regina yang sempat diprotes ketiganya karena dianggap curang.
Produser Dadakan
Meski awalnya agak terpaksa, namun setelah dijalani ternyata ketiganya suka dan sangat giat berlatih. “Anehnya, sikap mereka juga berubah menjadi lebih disiplin dan teratur,” jelas Regina yang semakin gembira karena lambat laun Matthew mulai mampu mengenal angka dan berhitung.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang marching band,membuatnya berinisiatif membuatkannya film.“Belum banyak yang paham, bahwa marching band merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi anak-anak,” jelas Regina yang bekerjasama dengan Big Production.
Sebagai produser, ia tak hanya harus mencari dana tapi juga marching band yang mau berpartisipasi di filmnya. “Jangankan mencari dananya, mencari marching band yang mau berpartisipasi saja susahnya minta ampun,” cetus Regina yang akhirnya mendapat respon positif hanya dari marching band Pupuk Kaltim, Bontang.
Keberuntungan pun menghampiri Regina, karena akhirnya Pemerintah Kota Bontang pun bersedia membantu dan memfasilitasi mereka, baik untuk perijinan pengambilan gambar serta ke sekolah-sekolah para pemain marching band yang jumlahnya mencapai 130 orang.
Kerja kerasnya tak sia-sia.Film besutan Hanny R. Saputra yang ditulis oleh Oka Aurora ini,meraih sambutan positif dari media maupun pengamat film karena sangat memotivasi dan inspiratif. Meski penjualan tiketnya tidak memuaskan, namun Regina mengaku tidak kapok. Ia bahkan tengah mempersiapkan roadshow ke beberapa daerah dan luar negeri, termasuk memproduksi film selanjutnya.
Definisi Diskalkulia
Diskalkulia (dyscalculis) atau yang sering disebut math difficulty merupakan gangguan pada kemampuan mengkalkulasi secara sistematis, sehingga sulit melakukan kegiatan berhitung dan mengkalkulasi. Secara medis, sangat berkaitan dengan gangguan sistem syaraf pusat.
Penderita biasanya sulit memahami rangkaian proses matematis dan dalam proses visualisasinya. Pada beberapa kasus juga berkaitan dengan kurangnya memori (memory deficits), sehingga sulit melakukan urutan operasional yang harus diikuti dalam memecahkan soal matematika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H