Mulyani  hobi mengisi teka teki silang, dan suka pada Pambudi yang pengetahuannya luas hingga bisa membantunya mengisi teka-teki silang. Pambudi tidak melupakan belajarnya walau sambil bekerja di siang hari.
Pak Barkah membutuhkan wartawan yang muda dan idealis sebagai pengganti wartawannya yang pindah ke Jakarta. Koran Kalawarti meningkat oplahnya sejak memasang iklan dan berita tentang Mbok Ralem. Tahu Pambudi ada di Yogya, Pak Barkah menawari Pambudi menjadi wartawan. Akhirnya Pambudi mau jadi wartawan, dia belajar otodidak dan dibimbing Pak Barkah.
Pambudi pun diterima tes masuk perguruan tinggi di fakultas teknik. Dia tetap nyambi jadi wartawan. Hubungan pertemanannya dengan Mulyani berlanjut karena Mulyani menjadi adik tingkat di Fakultas Teknik.
Pambudi  mampu meraih sarjana mudanya. Dia berniat pulang ke Tanggir untuk menunjukkan ijazahnya ke ayah dan ibunya. Namun kepergiannya dipercepat karena mendapat kabar ayahnya meninggal dunia terpeleset di sumur.
Selama ini ayah Pambudi melanjutkan usaha ternak ayam Pambudi. Dari hasil ternak ayam ini ayah mengirimi uang untuk biaya kuliah selain hasil dari gaji Pambudi. Pambudi pun pulang. Bertemu Sanis yang telah menjadi janda dari Lurah Dirga. Lurah Dirga telah dipecat karena menuduh Pambudi melarikan uang koperasi, namun tak terbukti, dan kesalahan lain. Pak Bupati menyuruh camat untuk mencari cara menghentikan Lurah Dirga. Lurah Dirga dijebak dengan judi, ditangkap jaksa, dan dihentikan.
Lurah barunya Hadi, seorang anak muda yang diharapkan akan membawa kemajuan desa. Datang melayat Hadi, juga Bambang Sambodo anak camat  yang sekarang telah jadi  mantri polisi. Keduanya kagum pada sepak terjang dan pribadi Pambudi.
Dia akhir cerita datang juga  ke rumah Pambudi Mulyani. Mulyani datang untuk menyatakan cinta pada Pambudi. Pambudi bukan tak merasakan jatuh cinta pada Mulyani, namun perbedaan yang menyebabkannya tak gegabah menuruti perasaan. Mulyani kaya, etnis Cina. Namun setelah pembicaran di pinggir sungai dekat hutan, Pambudi sadar akan keseriusan Mulyani kepadanya.
Novel ini berlatar pedesaan seperti juga novel Ahmad Tohari yang lain. Ronggeng Dukuh Paruk, Kubah, Lingkar Tanah Lingkar Air, dan antologi cerpen Senyum Karyamin.
Bagi saya yang menarik adalah perjuangan Pambudi dalam menegakkan kejujuran dan rasa kemanusiaannya dalam menolong Mbok Ralem. Kejujuran diperjuangkan melalui tulisan-tulisan di Kalawarti. Kisah cinta pada Sanis dan Mulyani bumbu penyedap dan pemanis novel ini. Namun ruhnya sebenarnya pada kehidupan desa lengkap dengan ketidakjujuran lurahnya. Pada cerita tentang warga desa yang menurut saja, walau harga gula dipermainkan tengkulak misalnya. Ada pula dituturkan tentang perbedaan sifat warga desa yang keturunan kawula dan yang mengaku keturunan ningrat. Dalam sosiologi Tohari mempermasalahkan perbedaan kelas sosial. Dikatakan  keturunan ningrat jadi birokrat rendahan, keturunan kawula jadi petani yang serba menurut tak pernah protes.
Pambudi menjadi pengecualian. Ahmadi Tohari juga jeli menulis tentang isu lingkungan. Bukit Cibalak yang dulu hutan jati, berubah jadi bukit kerontang. Hewan-hewan yang dulu berdiam di hutan pun ikut punah sering dengan ditebanginya pohon jati saat reformasi.
Novel yang ditulis dengan latar waktu tahun 70-an itu masih relevan dibaca sampai sekarang. Bukankah seorang  Pambudi yang lantang berteriak kejujuran dan mau  berbuat  untuk menolong warga miskin yang kesulitan untuk berobat masih diperlukan sampai sekarang?