Oleh Bude Binda
Ya, Anda ingin sport jantung? Harga murah meriah dan dijamin jantung mpot-mpotan (deg-degan terus), merasakan sensasi ketegangan yang bahkan bisa melebihi naik roll coaster atau wahana lain pemicu jantung berdebar lain di Dufan. Di mana Anda bisa menemukan wahana bukan permainan namun bikin jantung benar-benar "sport"?
Tadi saya dari Bank Jateng cabang Banjarnegara. Sebenarnya hanya mengambil tabungan dalam nilai nominal tak seberapa, niat utamanya saya ingin melihat Asih keponakan saya yang menjalani hari keduanya bekerja di Bank ini. Kemarin saya sudah tanya dia kerja di bagian apa, katanya teller. Benar saja saat menulis di slip penarikan, dari jauh sudah kulihat Asih di bagian teller. Saking senang atau apa ya perasaanku campur aduk, aku sampai lupa belum ambil nomor antrian, baru kuambil saat menulis slpi penarikan, berhenti nulisnya, ambil nomor antrian dengan cara memencet mesin antri. Keluarlah angka antriku 99.
Nomor antri yang dipanggil sudah sampai nomor 97, aku duduk di depan teller, Asih sekilas melihatku dna melempar senyum. Akhirnya sambil baca koran tak terasa waktu beranjak, sampailah nomorku 99, aku pun maju dan Asih yang melayaniku. Di bibirnya seulas senyum menghiasi. "Bu, tandatangannya kurang?". "Oh ya, kurang satu Mbak Asih?". Kutandatangani lagi slip penarikan dan menunggu sesaat, namaku dipanggil Asih. "Bu Siti....". Dia menyebut namaku dengan formal, di rumah panggilanku Titi. Uang dan buku tabungan kuterima, sambil kusalami tangannya "Selamat Mbak Asih". Dia hanya tersenyum, teman sesama teller ikut tersenyum. Hatiku terharu, sangat terharu bahkan air mataku hampir menitik!
Begitulah aku keluar dari bank, menyeberangi jalan. Mau tak mau kalau di depan Bank Jateng, naik bus. Naik angkot artinya dua kali ganti. Kalau ingin sekali naik sampai dekat rumah ya naik bus jurusan Purwakerta (nulisnya pakai a bukan o, seperti orang Banyumas mengucapkan Purwakerta, bukan Purwokerto)-Wonosobo (orang Kedu termasuk Wonosobo mengucapkan Wonosobo pakai o bukan Wanasaba).
Dari jauh tampak bus Teguh. Aku pun menyetop, naik bus yang penumpangnya lengang. Bus melaju dengan kencang, bahkan tidak masuk terminal, dari depan Samsat tak belok ke utara arah terminal tapi lurus ke timur. Hatiku mulai berdegup. Apa lagi sopirnya sibuk bertelepon. Mobil melaju kencang, saat di Sokanandi kian kencang, menyalip truk, mobil pribadi, dan motor. Di Singamerta,  rem tiba-tiba diinjak, hingga aku sampai berucap istighfar dengan keras.....Astaghfirlah, Subhanallah.......Dan anehnya justru  si kondektur memaki pengendara sepeda motor yang hampir ditabrak "Goblok....minggir....!!!!"
Seusai menyalip sepeda motor yang dikendarai siswi yang berboncengan, menyalip sesama bus, dan alangkah kagetnya, si kondektur entah apa maksudnya , dua jari kirinya dimasuki satu jari kanannya (bagi kami itu artinya gerakan intim, suatu kode yang tak layak dipertontonkan di jalan, di depan umum!). Tampaknya dia berniat mengejek sopir bus yang disalip. Huh.......menyebalkan.
Jantungku masih berpacu kencang, si sopir masih sibuk bertelepon! Sebelum sampai ke tempat aku berhenti, ku berdiri sambil menyiapkan barang bawaan, ucapku "Pak sopir pelan-pelan nanti saat saya turun". "Ibu turun mana?". "Tuh depan, sektor lama". Hampir sektor lama "Pak pelan-pelan, orang tua". Memang sopir mau juga berhenti agak lama sampai kedua kakiku menginjak tanah, benar-benar turun dari bus.
Hem, haruskah rakyat kecil seperti saya, selalu ketakutan setiap naik angkutan umum, khususnya bus?
Di daerahku sopir angkutan kota atau angkutan desa justru lebih manusiawi, mau jalan pelan, walau kadang ada juga yang berkejaran hingga kebut-kebutan.
Tak tahu juga harus mengadu pada siapa tentang kondisi angkutan umum ini, pada bupati, anggota DPRD, polisi, dinas perhubungan, atau siapa? Haruskah pada rumput yang bergoyang seperti lagu Ebiet G. Ade?