Oleh Bude Binda
Saya tertarik dengan tulisan Ibu Niji tentang LKS (lembar Kerja Siswa), rupanya artikel itu menggugah saya untuk menulis tentang pendidikan.
Guru cita-cita saya, walau salah satu saja, selain ingin jadi dokter, wartawan dan penulis buku. Oh masih ada lagi ingin keliling Indonesia dan dunia....mimpi! Dunia yang kubayangkan saat ku duduk di kelas 2 SMP itu, telah menjadi kenyataan. Dunia pendidikan tadinya kupikir penuh dengan manusia-manusia idealis seperti guru PMPku SMA Ibu SriSih, ternyata aku salah! Ayah ibuku yang juga guru secara tak langsung mendidikku untuk menjadi guru yang penuh pengabdian dan dedikasi, bukan guru mata duitan atau guru pemalas.
Secara teori tugas guru merancang pembelajaran dengan menyusun rencana (Program Tahunan, Program Semester, Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Melaksanakan pembelajaran berdasar program yang disusun. Melaksanakan evaluasi, dan membuat analisis hasil evaluasi dilanjutkan tindak lanjut dengan remidi bagi siswa yang nilainya kurang dari KKM dan pengayaan bagi ssiwa yang nilainya telah mencapai KKM. Itu teorinya dan akan sangat bagus jika semua guru melaksanakan semua tahapan tugasnya.
Namun sejak menyusun rencana ada beberapa guru yang malas atau dengan berbagai alasan tidak menyusun kelengkapan administrasi mengajar itu dan memilih copy paste dari MGMP atau dari guru di sekolah lain yang mengajar mata pelajaran sama dan kelas yang sama. Padahal situasi dan siswanya kan punya karakteristik yang berbeda, "malpraktik" sudah dimulai dari sini.
Pada melaksanakan pembelajaran, guru tinggal melakukan langkah-langkah sesuai rancangannya pada RPP atau menambah dan mengurangi disesuaikan situasi saat itu. Namun pada praktiknya kadang bahkan saat tiba saatnya mengajar, RPP belum disusun, guru hanya melihat SK dan KD lalu mengajar seperti biasanya dia mengajar materi itu. Seharusnya siswa memegang buku teks pelajaran karena ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diperuntukkan untuk membeli buku teks atau disebut BOS buku. Nah malpraktik kedua dimulai. Guru tidak menggunakan buku teks, namun saat pembelajaran menjelaskan sedikit dengan metode ceramah yang sudah kuno itu lalu siswa disuruh mengerjakan LKS. Kedalaman materi tidak diperoleh siswa. Kemampuan ssiwa untuk berdiskusi, berinkuiri (menemukan sendiri) tidak digali.
Langkah ketiga melaksanakan evaluasi, guru yang memakai LKS justru menerabas proses dengan belum melaksankan pembelajaran sudah langsung evaluasi, sementara jawaban pertanyaan LKS mestinya ada di buku teks kadang guru saja bingung di mana letak jawabannya. Itu bukan sekali saja terjadi. Kalau gurunya tidak bisa menjawab mengapa diberikan pada siswa? Â Â Evaluasi untuk mengukur daya serap siswa terhadap pembelajaran, bisa dilaksanakan di tengah proses, di awal (pre test), atau di akhir (post test). Dari evaluasi ini guru bisa menindaklanjuti dengan melakuan remidi atau pengulangan terhadap siswa yang daya serapnya kurang dan memberi pengayaan pada siswa yang telah menguasai pembelajaran atau daya serapnya cukup bahkan baik. Tindak lanjut dilaksanakan setelah hasil evaluasi (ulangan) ditelaah/dianalisis. Secara administrasi ada kertas untuk melakukan analisis evaluasi pembelajaran.
Jika semua proses pembelajaran dilakukan dengan baik dan lengkap, niscaya siswa akan menguasai pembelajaran. Pertanyaannya mengapa kemampuan siswa masih kurang? Karena ada proses yang tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun kurang optimal. Pada kenyataannya tidak semua guru bersungguh-sungguh melakukan keempat kewajibannya itu. Yang dilaksanakan hanyalah pembelajaran dan evaluasi. Lemah pada analisis dan tindak lanjut.
Anggapan guru bahwa penyusunan rencana hanya sekadar kelengkapan administrasi juga masih terjadi. Demikian pula analisis hasil evaluasi dianggap atau dibuat hanya saat akan mengajukan Pengajuan Angka Kredit sebagai salah satu syarat kelengkapannya. PAK diajukan untuk kenaikan pangkat. Sehingga tidak heran analisis dilembur/dirapel dua tahun sekali. Itu pun satu semester hanya membuat satu analisis sesuai syarat PAK. Padahal kita melakukan evalusi tidak hanya sekali kan dalam satu semester?
Jika analisis tidak dibuat jangan harap langkah selanjutnya yaitu remidi dan pengayaan dilakukan.
Sebenarnya soal-soal Ujian Nasional semuanya ada dalam kurikulum. Materi soal tidak akan melenceng dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Maka jika siswa tidak bisa mengerjakan soal UN jangan salahkan orang lain, sistem dan seterusnya, koreksi diri sudahkan saya mendidik siswa dengan benar?