Sebelumnya saya sempat tanya dokter yang di IGD namanya Dokter Khafid, sedang dokter bedah tulangnya Dokter Arif. Dokter Arif datang menemuiku "Dokter Arif ya?" "Kok tahu?" "Saya sudah tanya". "Ibu makan dan minum terakhir jam berapa?". Kujawab seperti saat ditanya Dokter Khafid. Kutunggu saat-saat operasi dengan berdoa dan berdzikir.
Sesaat kemudian Dokter Arif datang lagi. "Ibu, silakan makan dulu". "Makan Dok, nggak jadi operasi?". "Ibu, dokter anestesinya nggak berani karena Ibu terakhir minum jam 7, ini baru jam 9, kalau tepat 6 jamnya, jam 1 malam kan kondisi tidak fit Bu, besok   bakda Subuh atau jam 7 ya". "Ya sudah kalau begitu, terima kasih Dok".
Tempat tidur dipindah ke ruang lain, agar saya bisa istirahat walau kenyataannya, dengan tangan diinfus saya susah tidur. Alas tidur bukan kasur tapi perlak plastik yang kurang nyaman. Belum lagi suara-suara orang lewat di pintu yang hanya disekat tirai.
Suami ke luar membeli makanan dan minum, sambil menelpon Pak Likku supaya besok pinjam uang ke Bulik yang rumahnya di sebelah rumahku. Paling tidak kami mesti siap 10 juta. Saat ditinggal terasa lama, datanglah Mas Imam membawa nasi goreng dan air mineral. Saya makan disuapi. Tak lama kemudian saya pengin pipis. Waduh...untung WC tidak jauh. Agak repot juga sambil nenteng botol infus.
Tak lama kemudian saya ingin BAB. Kerepotan kedua dimulai. Di kamar mandi melepas celana saja susah, untung kloset jongkok mempermudah BABku.
Kembali ke ranjang mencoba untuk tidur, walau tetap tak bisa. Berdoa, dzikir. Suami tidur di lantai, untung tadi minta selimut 2. Suamiku stress. Dia sempat bilang "Kamu kok mau sih mbonceng?" "Pak KS kenapa naik motornya kencang?" "Gimana biaya operasinya?" . "Sudahlah Mas, ini kan takdir, aku yang sakit saja tabah, kok Mas gitu sih". Akhirnya dia diam.
Jam 12 malam, obat pereda nyerinya sudah tak berfungsi, tanganku terasa sakit dan nyeri. Sementara di sebelah tirai suara pintu dibuka, sandal diseret terus-menerus. Kadang pintu ditutup dengan sangat keras. DDERR......setiap hentakan pintu tanganku ikut Nyerrrr.....tambah ngilu. Kata suamiku paginya ada pasien kecelakaan 3 orang, satu meninggal dunia.
Akhirnya pagi tiba. Suami menelpon Bulik, juga Bu KS supaya tidak cerita ke Bu Fat teman mengajarnya yang tetanggaku. Kalau orang rumah tahu kan berabe. Bapak sedang gerah (sakit). Aku juga tak mau tetanggaku tahu. Jawab Bulik mau pun Bu Khawa ya. Keduanya mengiyakan. Alhamdulillah.
Jam 8 pagi aku dibawa ke ruang persiapan operasi. Cincin, gelang dilepas untuk disimpan suami. Namun cincin kawin yang sudah kekecilan ternyata tidak bisa dilepas. Maklum berat badanku sejak menikah 12 tahun lalu bertambah banyak.
Masuklah ke ruang operasi, dokter Mahmud dokter ahli anestesi yang akan membius. "Dok, takarannya yang tepat ya?" "Ibu yang yang menyembuhkan itu Allah, berdoa ya Bu". "Ya Dok, Bismillah hi rohamanirohim.." "Disuntik ya Bu". "Disuntik?" "Di selang infus Bu" "Oke, pelan-pelan Mas, biar nggak sakit". Begitu obat disuntikkan ke selang infus, aku tertidur dan tak merasakan apa-apa sampai dokter membangunkan aku. "Ibu bangun sudah selesai". "Aduh sakit!" . Mas Imam mendekat "Istighfar Mah". "Astaghfirloh hal 'adhim....". Kuucapkan istighfar walau terasa berat karena belum sepenuhnya sadar. "Ini Pak Lik juga sudah datang". "Jam berapa ini Dok?" "Jam 9 Bu".
Aku merasa ranjangku didorong ke ruang lain. Kepalaku masih pusing dan ranjang didorong tanpa perasaan, berkali-kali terantuk. Kepalaku tambah pening. Di ruang ini aku tanganku yang telah dioperasi dirontgen lagi. Kakiku diambli darahnya untuk diperiksa. Karena sangat sakit aku teriak "Aduh lara banget, lara banget.....sakit sekali!". Kesadaranku belum pulih 100%.