Saya duduk di kelas 6 SD waktu itu. Saya yang suka pelajaran mengarang, diarahkan untuk mengirim tulisan ke majalah. Guru SD saya kelas 6 Pak Mulyono bahkan mengajari untuk menulis di atas karangan HARAP DIMUAT. He..he...sekarang masih ada yang begitu nggak ya?  Rupanya itu rayuan unutk redaktur supaya memuat tulisan kita. Sebagai siswa yang patuh saya turuti nasehat Pak Mul. Tulisan yang saya kirim ke majalah Si Kuncung waktu itu ada dua macam, satu tulisan lucu untuk kolom Kotak Wasiat dan dua puisi.
Saya sudah lupa kiriman tulisan saya, walau saya mengirim lagi surat kali ini nama rubriknya Surat Untuk Nenek Limbak. Nenek Limbak, nenek yang berkaca mata yang suka menjawab surat dari pembaca Si Kuncung yang bisa bertanya tentang apa saja. Dari resep tempe bacem sampai cara memberantas kutu rambut....Saya tahu bumbu tempe bacem juga dari jawaban nenek Limbak di rubirk itu. Bumbunya bawang merah, bawang putih, ketumbar, garam, gula, asam jawa....Sampai sekarang saya jago kalau bikin tempe dan tahu bacem, terima kasih Si Kuncung, terima kasih Nenek Limbak!
Saya lulus SD dan melanjutkan sekolah ke SMP , SMPN 2 yang favorit saat itu sampai sekarang sih tetap favorit. Sekolah ini terkenal karena disiplin dan banyak kegiatan ekstra kurikuler.
Tak disangka puisi dan tulisan lucu saya dimuat di Kuncung! Jadi saya nunggu satu tahun untuk tulisan sampai dimuat. Seneng banget tentu saja. Puisi yang dimuat judulnya Pengemis Tua. Saya hanya ingat ada baris...kasihan oh kasihan...yang lain lupa dan majalahnya yang saya simpan hilang.
Di Kotak Wasiat judul cerita saya Banjir, sebenarnya itu judul dari redaksi. Tulisannya sudah diubah tak lagi seperti yang saya tulis, ceritanya tentang saya yang pernah terkurung di WC karena pintunya rusak. Â Komentar teman sebangku di SMP "Tulisanmu di Kuncung kok nggak lucu sih!". Padahal biar nggak lucu kan hebat biasa muncul di majalah yang artinya dibaca anak-anak se Indonesia! Duh bangganya.
Di nomor yang lain suratku untuk Nenek Limbak juga dimuat. Isinya tentang keinginanku unutk berkenalan dengan penyair cilik yang puisinya sering muncul di Kuncung, yang satu namanya Betsy Dewanti Supiyo putra dari Pak HB Supiyo yang cerpennya sering nongol di Kuncung.
Saya baca Si Kuncung , kalau majalah itu dibawa bapak atau emak dari sekolah. Kadang kalau Bapak dari Kantor Dinas P & K kecamatan beliau membawa setumpuk koran Suara Merdeka, majalah Krida dan majalah Si Kuncung.
Kami yang berebut membacanya dulu sebelum dibawa ke SD untuk dibaca bapak ibu guru. Bahkan adik saya paling kecil yang belum bisa baca pun suka ikut berebut koran , dengan gayanya di baca walau.....terbalik!
Suasana yang demikian rupanya membuat saya dengan tiga adik saya jadi hobi membaca. Bahkan oleh-oleh Bapak kalau pergi ke kota juga majalah anak-anak. Saya ingat Bapak kalau  pergi ke Banjarnegara pulangnya bawa majalah Ananda sebagai buah tangan untuk saya, terkadang juga majalah Kawanku.
Karena tulisan saya muncul di Kuncung , saya dapat honor. Honornya Rp750 untuk puisi dan Rp500 untuk Kotak Wasiat. Kiriman honor berupa wesel yang saya tukar dengan uang di Kantor Pos, disuruh minta cap ke Kantor Kawedanan yang waktu itu ada di seberang timur kantor pos, sekarang jadi rumah makan Bebek Goreng dan foto copy. Honor sebanyak itu saya belikan kaos kaki.
Sayangnya setelah dewasa saya justru malas untuk mengirim tulisan ke media cetak. Pernah sih mengirim namun kalau tidak dimuat ya sudah tidak telaten untuk terus-terusan mengirim supaya dimuat.
Pengalaman dengan majalah Si Kuncung ini ternyata menjadi kenangan indah tak terlupakan . Nggak tahu juga apakah Perpustakaan Nasional menyimpan majalah Si Kuncung yang sudah tidak terbit lagi?
Banjarnegara, Selasa 8 Maret 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H