Saya suka pada karya-karya Umar Kayam sastrawan yang dosen Fakultas Sastra UGM. Saya baca Sri Sumarah dan Bawuk, juga Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Cerpen dan cerpenpan Umar Kayam selalu menarik manusiawi, manis , humanis sekaligus romantis dan ada lagi jenaka. Romantis seperti di Seribu Kunang-Kunang , Marno tokoh utamanya memandang Manhattan yang bermandikan gemerlap cahaya lewat jendela apartemen Jane kekasihnya dan ingat pada kunang-kunang di kampung. Pada Sri Sumarah kita bisa terbawa betapa pasrahnya Sri Sumarah rela jadi tukang pijat untuk mencari nafkah dan ikhlas ketika pelanggan pijatnya mulai minta layanan yang lebih dari sekadar pijat.
Demikian pula Bawuk yang menjadi istri seorang tahanan kasus politik. Demikian sabar Bawuk menjalani takdirnya, menjalani lakon atau perannya jadi istri seorang tahanan politik yang begitu berat konsekuensinya.
Saya membaca lagi novel Umar Kayam berjudul Para Priyayi, bahkan karena bagi saya itu buku bagus saya membelinya. Saya biasanya cukup pinjam di perpustakaan untuk menikmati novel atau pun buku karena keterbatasan uang saku saya saat mahasiswa. Hanya buku-buku istimewa saja yang dibeli.
Para Priyayi sangat mengesankan bagiku. Kisah tokoh-tokohnya yang diceritakan dengan gaya akuan atau sudut pandang orang pertama dan tiap bab satu tokoh bercerita walau nanti ada benang merah dari pengarang yang bertindak sebagai orang ketiga. Waktu itu gaya ini tergolong baru, gaya yang diadopsi oleh Ayu Utami pada novel Saman. Cerita tentang satu keluarga dengan berbagi kisah tokohnya termasuk bahwa ada yang anak lembu peteng atau anak gelap bukan dari hasil pernikahan. Pada Para Priyayi kembali Umar Kayam bercerita tentang tokoh yang tersangkut partai terlarang. Dari semua cerpen dan novelnya ternyata kisah para tahanan politik yang tersangkut partai terlarang selalu menjadi tema yang dominan. Cerita tentang orang-ornag terbuang itu rupanya dapat mendapat tempat khusus di tulisan Umar Kayam.
Saya bertemu dengan Umar Kayam di acara Seminar Sastra yang membahas buku Para Priyayi di suatu sore di Balai Bahasa Yogyakarta. Saya berangkat ke Balai Bahasa yang letaknya dekat Kali Code itu sendiri. Di sana bertemu dengan adik kelas Anita. Saya termasuk peserta yang bertanya pada acara itu. Pertanyaan saya tentang tokoh perempuan yang semuanya menjadi konco wingking atau istri yang perannya sebatas peran domestik saja. Saya lupa persisnya jawaban Bapak Umar Kayam.
Pada acara seminar tersebut saya juga ketemu dengan Bapak Ashadi Siregar dosen UGM penulis novel Kampus Biru. Bahkan sempat menyapa beliau, walau kesan saya Pak Ashadi agak sombong.
Di akhir acara saya menemui Pak Umar Kayam , bersalaman dengan beliau. Mengagumi posturnya yang tinggi besar. Pak Umar Kayam memberi nasehat pada saya "Jangan pegang feminis terlalu kenceng, sepeti anak saya Sita Ari Purnami, dia aktivis feminis, tapi kalau di rumah adiknya minta uang ikut minta uang. Kalau datang ke rumah apa yang ada di kulkas ya diambil dibawa ke rumahnya". Begitu pesan beliau sambil menyalami saya.
Bagi saya itu nasehat yang teringat sampai sekarang. Dulu saya sempat jadi feminis yang pegang erat-erat paham itu. Berkat nasehat Pak Umar Kayam dan pengalaman hidup ya tetap sih feminis namun feminis yang luwes.
Saya juga punya buku novel Jalan Menikung, lanjutan dari novel Para Priyayi. Umar Kayam yang telah meninggal dunia itu tetap abadi karya-karyanya. Beliau termasuk sastrawan favorit saya.
Untuk almarhum Bapak Umar Kayam
Banjarnegara, Kamis 3 Maret 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H