Mohon tunggu...
DEDIK F. SUHERMANTO
DEDIK F. SUHERMANTO Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

https://dedyfitrasuhermanto.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tantangan (MEA) Berkaca pada Dinamika UE - BREXIT

25 Februari 2016   01:28 Diperbarui: 25 Februari 2016   01:36 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah belenggu krisis keuangan ekonomi di Eropa pada tahun 2008 yang berlanjut hingga sekarang dengan ditandainya jatuhnya ekonomi Yunani, memberikan gambaran bahwa integrasi ekonomi dalam suatu wilayah regional tidak dapat dijadikan acuan bagi perkembangan dan pembangunan ekonomi bersama. UE atau Uni Eropa yang dikenal dengan kerjasama regional atau dalam bidang ekonomi kerjasama ekonomi khusus regional mempunyai polemik yang kompleks diatara negara anggotanya. Polemik ekonomi tentunya yang menjadi dasar bagi negara-negara anggota berpikir ulang untuk menselaraskan kebijakan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan dan syarat masuk dalam Uni Eropa.

Sebagai organisasi internasional yang berada di atas negara, UE memiliki struktur yang sedemikian lengkap sehingga semua keputusan terkait kepentingan masing-masing negara diatur dalam kesepakatan bersama. Misalnya dalam kesepakatan ekonomi khsusus wilayah eropa, diharapkan anggota UE dapat menyelaraskan kebijakan nasional dengan kebijakan yang ada di tingkat regional. salah satu kebijakan terkait ekonomi adalah tentang integrasi ekonomi yang mengaharuskan negara-negara anggota mengahapus hambatan-hambatan ekonomi seperti pertama penghapusan proteksi lalu lintas barang, jasa, faktor produksi (SDM dan Modal) dan informasi atau integrasi negative yaitu kebebasan akses pasar. Kedua penyatuan politik (kebijakan) atau dapat dikatan integrasi positif yaitu melalui istilah harmonisasi.[1]

Proses dan aturan dalam integrasi seperti yang dicontohkan dalam prasyarat bagi anggota-anggota Uni Eropa diatas menunjukkan bahwa upaya homogenisasi menjadi pilihan dalam menciptakan pasar tunggal dalam sistem suprastate. Homogenisasi menciptakn iklim pasar tunggal yang saling mengikat dimana setiap negara anggota wajib menyerahkan atau membagi kebijakan nasional mereka yang artinya negara merelakan kedaulatan dalam artian kedaulatan invisible. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ernest Hass dalam neofungsionalism, teori integrasi kawasan yang mendorong penyatuan beberapa sektor penting untuk mendukung integrasi termasuk kedaulatan.[2] Proses perkembangan kerjasama regional ini terus berkembang seiring dengan perubahan struktur internasional ditambah lagi dengan era globalisasi yang membawa berbagai implikasi terhadap masa depan regionalisme UE.

Melalui kondisi perekonomian global yang terus berubah dan kerjasama ekonomi yang menciptakan kompetisis ternyata tidak hanya memunculkan keuntungan namun juga kerugian bagi negara yang terlibat. Seperti yang diketahui bahwa anggota yang masuk UE bukan hanya negara maju dengan perekonomian kuat namun juga negara dengan kekuatan sedang terlihat pada negara-negara eropa timur. Kondisi ini membuat negara anggota UE tidak lagi dapat membendung hempasan krisis keuangan yang melanda negara mereka. Kemudian dengan ketidak mampuan negara miskin yang ikut dalam integrasi ekonomi membuat organisasi regional ini semakin retak hal ini terbukti pada kebangkrutan keuangan dan ekonomi Yunani pada tahun 2015 lalu.

Apabila dilihat dari kacamata pendekatan supranasional yang mempercayai pada kekuatan institusi diatas negara dapat mengatur perilaku negara, pada kenyataanya organisasi yang menjadi rujukan pembentukan regionalisme di kawasan-kawasan tertentu tidak sekuat apa yang mereka cita-citakan, terlepas faktor diluar masalah yang dihadapi oleh negara yang collapse.

Satu lagi permasalahan yang disimpan oleh Uni Eropa adalah masih adanya gap dan tingginya ego negara terhadap kepentingan nasional mereka. Hal ini dapat dilihat pada polemik negara Inggris. Meski Inggris masuk dalam salah satu negara anggota UE Inggris menolak penggunaan mata uang Euro sebagai mata uang tunggal yang digadang sebagai bentuk homogenisasi atau harmonisasi dalam regionalisme. Perilaku Inggris tersebut menandakan bahwa keegoisan kepentingan negara masih mendominasi. Selanjutnya adalah kasus Brexit (British Exit) yang dilontarkan oleh Perdana Menteri David Cameron. Brexit mengundang pro dan kontra dalam lingkungan UE, namun dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Michael O’leary bahwa sama sekali tidak ada keraguan bahwa ekonomi Inggris akan jauh lebih baik di Eropa daripada kelaur dari bagian Uni Eropa.[3] Statement O’leari menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Ingris untuk keluar dari UE karena Inggris masih memiliki kekuatan ekonomi yang kuat dibanding dengan negara-negara anggota yang lainya.

Dinamika referendum Brexit yang diutarakan David Cameron dalam konfrensi tingkat tinggi di Brussel, pmenimbulkan pertanyaan yang bukan hanya dirasakan oleh pebisnis ataupun masyarkat Inggris nantinya namun juga negara-negara anggota UE. Persoalan ini pada dasarnya dilandasi oleh beberapa faktor internal pertama yaitu daya saing lemah, dimana dipahami bahwa negara-negara anggota memiliki kekuatan ekonomi yang berbeda sehingga tidak sering ada benturan daya saing antar kepentingan nasional dan kepentingan nasional negara lain sehingga yang terjadi adalah persaingan dan menghasilkan kalah dan menang. Kedua tidak berfungsinya kontrol fiskal yang dikenal sebagai pakta stabilitas dan pertumbuhan Uni Eropa, kontrol ini berfungsi sebagai respon jika negara terjadi krisis, namun hal ini tidak gagal dilaksanakan karena fungsi kontrol ini harus melalui kooordinasi dari pusat dan kecenderungan terhadap respon ini tidak dapat secara cepat direspon sehingga yang terjadi adalah kegagalan fungsi fiskal ditingkat regional. selanjutnya adalah kegagalan dalam penetapan sangsi bagi negara yang melanggar ketentuan seperti yang dijelaskan di perjanjian Mastricht dan ditambah lagi masalah ketentuan yang disepakati mastricht masih menjadi perdebatan. Ketiga tidak efektifnya  dana kohesi dari UE yang dikucurkan untuk mengurangi gap atau perbedaan antar negara anggota seperti infrastruktur dan lapangan pekerjaan, pada kenyataanya tidak dapat mengatasinya yang mayoritas berada di negara anggota miskin. Selain itu dana kohesi yang dikucurkan tidak sebnding dengan daya yang diproyeksikan alias sedikit sekali yang diberikan untuk perbaikan sektor-sektor tersebut. Sehingga yang terjadi adalah tidak berkembanganya wilayah atau negara yang menjadi prioritas proyeksi persebaran penanggulangan perbedaan di dalam regional.

Melalui polemik dan dinamika regionalisme Uni Eropa diatas, lalu bagaimana dengan integrasi ASEAN yang baru memulai proses harmonisasi regional atau dikenal dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)?. Dapatkah ASEAN berkaca pada realitas politik ekonomi dalam regionalisme di UE?.

 

[1] Taxation and Custom Union, diakses melalui http://ec.europa.eu/taxation_customs/customs/customs_duties/rules_origin/index_en.htm pada 12 Januari 2016
[2] Ernst B Haas: The Uniting of Europe, Stanford 1958

 
[3] Brexit Mnegundang Polemik, diakses melalui http://internasional.kontan.co.id/news/brexit-masih-mengundang-polemik pada 12 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun