Tanpa terasa Jokowi telah memimpin kita selama 2 tahun (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2016), banyak hal sudah ia lakukan (pembangunan fisik/non fisik) sebagai orang Nomor 1 atau Pemimpin Tertinggi di Negara ini untuk mensejahterakan rakyatnya serta menjadikan negaranya sebagai negara yang maju, tidak saja dalam bidang/arti teknologi atau ekonomi saja, tapi juga peradaban secara umum, agar dapat berjaya dalam segala hal di percaturan internasional, karena memang kita punya potensi yang besar untuk itu.
Walaupun baru 2 tahun memimpin, namun prestasinya terutama dalam mengejar ketertinggalan di berbagai daerah dengan program-programnya atau pembangunan infrastrukturnya yang luar biasa dapat terealisasi secara simultan di hampir sebagian besar daerah – pelosok tanah air. Sehingga dapat dikatakan melebihi prestasi dari segi waktu kepemimpinan dari para pemimpin sebelumnya yang memimpin selama 10 tahun (2 periode) atau yang lebih daripada itu pada era Orde Baru dan Lama.
Hal ini, karena didukung pula dengan adanya Kabinet Kerjanya (Para Menterinya) yang dibentuknya, yang mampu mengikuti prinsip, irama dan semangat kerjanya, sehingga mampu menjawab/memenuhi permintaan daerah-daerah yang selama 71 tahun Indonesia Merdeka tidak pernah disentuh oleh pemerintah pusat secara langsung atau didatangi Presidennya untuk melihat/mengetahui secara langsung permasalahan (bukan hanya menunggu laporan ‘ABS’ dari staf atau orang-orang lapangan saja) daerahnya seperti apa, terjawab sudah!
Memang banyak hal lain lagi yang terkadang membuat kita sebagai rakyat belum terlalu tahu dari sosok Pemimpin kita yang penuh “fenomenal” atau “sensasi” karena banyak cara kerjanya yang tidak lazim bahkan dengan gebrakan-gebrakan di luar dugaan yang langsung ke titik/sumber masalahnya (OTT oleh Polri – Pungli di Kemenhub, 11 Oktober 2016, yang Presiden datangi langsung ke TKP), atau kebiasaan protokoler yang diubah secara drastis, misalnya mengenai tata cara pengawalan Presiden di jalan umum – rutin/normal yang tanpa sirene, klakson apalagi sampai menghentikan kendaraan lainnya sebagaimana yang tulis pada Harian Kompas tgl. 8 Oktober 2016, juga punya kharisma besar ini.
Soal ini tidak saja ketika menjadi Presiden saja, tapi sejak jadi Gubernur DKI Jakarta bahkan Walikota Solo ketika menggunakan mobil buatan anak-anak SMK sebagai Kendaraan Dinas Utamanya telah mengundang kekaguman sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat akan kepribadian dan gaya kepemimpinannya terlepas dari sedikit yang kontra/tidak suka dengan hal ini, yang mana dapat dianggap sebagai hal yang wajar pula dalam menjadi seorang Pemimpin Politik – Rakyat yang terdiri dari berbagai latar belakang, Tuhan saja Yang Maha Kuasa – Pencipta manusia/alam semesta masih ada yang “tidak suka atau tidak mau percaya” apalagi sesama manusia biasa! Belum lagi dengan pemikiran-pemikiran super besarnya untuk Indonesia ke depan saat mulai memimpin, misalnya “Tol Laut” sebagaimana halnya yang mungkin mengusik sebagian besar di antara kita mengenai digunakan kata “kerja” sebagai nama kabinet dalam pemerintahannya serta juga terkandung dalam tema dalam 2 kali peringatan HUT RI (2015 dan 2016).
Sekedar untuk mengingatkan saja bahwa untuk tema peringatan HUT RI ke-70, adalah “Indonesia Merdeka Ayo Kerja” sedangkan untuk yang ke-71, adalah “Indonesia Kerja Nyata”. Dengan demikian, mungkin di antara kita sama menyangka atau memahami, bahwa alas an Jokowi memberikan nama cabinet dalam pemerintahannya sebagai “Kabinet Kerja” termasuk tema peringatan HUT RI yang telah diuraikan di atas, adalah karena berdasarkan makna harafiahnya saja dari kata “Kerja” itu, yakni kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat); atau sesuatu yang dilakukan untuk mencari nefkah; mata pencaharian (kbbi.web.id/kerja).
Dalam https://id.wikipedia.org menyatakan bahwa, Kabinet Kerja adalah, cabinet Pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Dari pengertian ini serta melihat kondisi Indonesia saat ini, baik dari aspek pembangunan fisik (infrastruktur) maupun non fisik (kualitas pendidikan/SDM – hidup/tingkat kesejahteraan) yang masih memprihatinkan dan tertinggal dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Singapura.
Maka, tidak ada cara lain tentunya selain harus “kerja” atau melakukan sesuatu perbuatan yang terus-menerus (aktif) secara serius dan bermanfaat dengan penuh kedisiplinan dalam memanfaatkan semua potensi yang kita miliki (SDM/SDA serta Harus Bebas dari KKN) untuk mengejar ketertinggalan tersebut dan yang utama adalah dapat mencapai kehidupan yang lebih berkualitas; adil, damai, sejahtera dan bahagia. Inilah mungkin hal atau kerja yang dimaksud atau menjadi dasar pemikiran Jokowi untuk menggunakannya. Dalam kemungkinan ini, jawabannya bisa ya atau tidak, atau paling tidak terdapat keterkaitannya sekalipun sedikit.
Dengan demikian, walaupun mungkin ada hubungannya, akan tetapi guna melengkapi dugaan ini, sebaiknya kita melihat juga secara seksama makna “kerja” secara lebih luas dan mendalam, atau tidak sebatas makna secara umum atau leksikografis (kamus) sebagaimana yang diungkapkan oleh Magnis (1983) yang dikutip oleh Veeger (1992) dalam bukunya “Ilmu Budaya Dasar” bahwa, istilah kerja dapat dirumuskan sebagai melakukan kegiatan yang direncanakan dengan pemikiran khusus, demi pembagunan dunia dan hidup manusia. Jadi dalam hal ini ditegaskannya lagi, bahwa kerja yang dimaksudkan sebagaimana pengertian di atas tidak dapat dilakukan oleh makhluk hidup lain selain manusia (binatang).
Lebih lanjut dikatakan bahwa, oleh karena itu hanya manusialah yang diperkenankan dan diberi kebebasan untuk menciptakan lingkungannya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa kerja, adalah ciri khas manusia. Kalau orang berkata bahwa kerbau “bekerja” juga, maka kata “bekerja” yang dimaksudkan digunakan hanya dalam arti kiasan saja.
Sebenarnya binatang menurutnya tidak bekerja, tidak membentuk lingkungannya sendiri, tidak mengembangkan dengan bebas tata hidupnya, tidak menyadari suatu tujuan untuk dirinya. Binatang hanya menggerakkan tenaga fisik menurut dorongan naluri yang tak terelakkan. Kerja menurut Veeger, adalah gejala yang khas manusiawi, atau tanda kekhasan manusia sebagai makhluk yang sadar dan bebas.