Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua DPD RI di rumah dinasnya di daerah Jakarta Selatan oleh KPK, Sabtu, 17 September 2016 dengan menemukan uang sebesar Rp 100 juta di tasnya sebagai barang bukti atas dugaan “suap” untuk pengaturan kuota impor gula melalui Bulog, memang sangat memalukan tidak saja bagi keluarganya, tapi juga negara dan rakyat Indonesia bahkan dunia internasional. Karena dilakukan/menyangkut seorang Pejabat Tinggi dari salah satu Lembaga Tinggi Negara yang sangat dihormati oleh berbagai pihak tadi, yang seharusnya TIDAK BOLEH terjadi untuk alasan apapun.
Apalagi mengingat akan komitmenya sebelum-sebelumnya baik secara pribadi maupun dengan lembaga yang dipimpinya untuk mendukung good and clean government (pemerintahan yang baik dan bersih) untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik ke depan dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Juga kasus ini sepertinya tidak sebanding dengan uang yang bernilai/sekecil itu dengan level jabatannya sebagai Ketua DPD RI, yang dapat diperoleh secara halal/sah dalam waktu 2 – 3 bulan dari gaji/tunjangan-tunjangan jabatan lainnya.
Kejadian memalukan bangsa ini membuktikan bahwa bertambahnya jumlah maupun kualitas/model dalam pelanggaran tindak pidana korupsi/jumlah koruptor dari berbagai tingkat jabatan pemerintahan maupun badan-badan usahanya, dapat dikatakan karena adanya beberapa faktor yang dianggap memberikan peluang serta proses peradilan dan ancaman hukuman yang dapat “diatur” semuanya asalkan ada uang yang banyak. Kemudian keadaan ini diperparah lagi dengan tercipta/adanya lingkungan yang kondusif bagi kehidupan mereka (termasuk keluarganya) atau kita,
sebagai masyarakat masih “mentoleransi” atau tidak peduli dengan apa yang telah diperbuat bukan saja karena alasan kesibukan sehari-hari kita saja, tapi memang ada beberapa alasan penting lainnya, sehingga seharusnya sanksi sosial yang dapat kita berikan itu (tidak bersosialisasi/berinteraksi atau membatasi komunikasi dengan mereka/keluarga) tidak dapat diberikan, karena sebagian juga sudah terkena “rayuan” atau turut menikmati hasil korupsi itu!
Proses hukum – peradilan yang sering memberikan/vonis bebas terhadap para pelaku korupsi memang merupakan faktor yang paling ditenggerai sebagai salah satu penyebabnya, mengapa terus meningkatnya masalah korupsi seperti di atas. Namun yang paling “menyedihkan” lagi sebetulnya, adalah komitmen para elit pemerintahan/penguasa/pemimpin negara ini yang punya kewenangan atau berkuasa untuk mengatur atau menggerakkan roda kehidupan pemerintahan/negara terhadap masalah korupsi ini, yang katanya kita “perangi” bersama!
Namun sayangnya, terbukti bahwa sebagiannya mengkhianati kembali, seperti dalam kasus ini antara lainnya. Hal terkait lainnya yang dapat disayangkan dari komitmen besar di atas adalah, kalau seandainya sudah ringan hukumannya, mengapa harus ada upaya lagi dari Pemerintah seperti selama ini beredar/berkembang opini dan bahkan sudah menjadi suatu rencana/agenda dari Kemenkumham serta beberapa anggota DPR dan Parpol tertentu mengenai pemberian remisi kepada koruptor (yang sebagian sudah terlaksana), rencana dibebaskan serta yang berhubungan erat pula adalah, memberikan kesempatan kepada para Nara Pidana/Mantan (termasuk dari kasus korupsi) untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai Calon Kepala Daerah atau Anggota Legislatif dalam setiap Pilkada/Pemilu yang akan datang.
Inikan suatu kebijakan yang “GILA” bila tidak tepat untuk dikatakan dengan “KONTROVERSI” atau Pro kepada Kejahatan, di tengah ada upaya yang serius dari kita semua untuk memerangi korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (karena oleh sebagian orang/ahli mengibaratkan/analogikan juga sebagai ‘pembunuh’, karena tindakan mereka telah mematikan/menyusahkan ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia), sehingga penanganan dan hukumannya juga SEHARUSNYA luar biasa (seperti pemberian hukuman yang terberat/mati)! Sebenarnya dengan alasan yang sudah jelas dan tegas (menakutkan) yang SUDAH ADA dalam Peraturan/Hukum kita seperti ini, HARUSNYA digunakan saja!
Bukan malah mencari-cari lagi celah hukumnya atau dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk bisa memberikan landasan hukumnya untuk upaya/kebijakan Pemerintah/Kemenkumham di atas guna membebaskan/memberikan peluang kepada mereka (Koruptor) untuk ikut berkompetisi atau mengambil peluang dalam kehidupan berpemerintah/negara dengan warga negara lainnya yang masih bersih, punya moralitas dan nurani, bijak, komitmen dan integritas yang tinggi untuk membangun negara atau mensejahterakan rakyat.
Mungkin karena dengan semuanya ini, mereka (para koruptor atau yang mungkin sedang dalam rencana/ada berkeinginan untuk melakukan korupsi) menganggap bahwa semua upaya pemberantasan atau perang terhadap korupsi oleh pemerintah atau kita semua selama ini, hanyalah seperti “:GAME WAR di Komputer/Play Station atau GAME ONLINE di Dunia Maya/Internet atau Permainan Perang-perangan di Dunia Nyata/Out Bond/Catur, dsb” yang menyenangkan, sehingga rasanya kurang bahagia kalau tidak diulangi lagi (karena dapat memperkaya diri/keluarga/kelompok – golongan dengan mudah dan dapat dinikmati 7 turunan atau selama-lamanya), jadi BUKAN perang yang sesungguhnya untuk melawan korupsi yang menakutkan dan mematikan (karena hukumannya)!
Dengan demikian bertambahnya lagi kasus suap Ketua DPD RI ini ke dalam daftar panjang pelaku korupsi di tanah air, harus diakui pula akan berdampak/mempengaruhi jalannya pembangunan dalam berbagai aspek yang tengah digenjot cepat guna mengejar berbagai ketertinggalan, memajukan negara atau peningkatan kesejahteraan rakyat. Mengapa, karena tentunya baik secara langsung maupun tidak, akan cukup menyita perhatian pemerintah atau publik dan akan ada anggaran negara yang tidak sedikit yang harus keluar untuk proses hukum ini, apalagi kalau terbukti dan menyeret lagi banyak pihak.
Oleh karena itu Presiden harus benar-benar mengambil sikap yang tegas (karena memang sudah waktunya) untuk masalah ini sebagaimana dengan masalah narkoba yang sudah diterapkan dengan sesungguhnya, dengan meminta/perintahkan supaya dapat menjatuhkan hukuman yang terberat (mati) sesuai hukum yang berlaku dan sesuai kewenangannya kepada semua institusi penegak hukum yang terkait. Dan TIDAK BOLEH ada lagi kebijakan-kebijakan yang “gila”seperti uraian di atas terhadap masalah korupsi ini!