Mohon tunggu...
jemsmil
jemsmil Mohon Tunggu... Konsultan/Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik -

Sederhana, Realistis, Kasih Terhadap Sesama, Senang dgn Modernitas, Pencinta Seni dan Kedamaian. (Link terkait : www,kompasiana.com/jemmyluan dan www.kompasiana.com/jemsmil)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Mungkin Negara Ini Berjalan Tanpa DPR?

10 Februari 2016   15:11 Diperbarui: 10 Februari 2016   15:36 2496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Landasan Hukum tentang Keberadaan DPR dalam Sistem Pemerintahan Kita

Dalam Bab VII UUD 1945 yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat, khusus pada Pasal 19 Ayat (1) menyebutkan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum” selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang” sementara dalam Pasal 22B menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.

Sedangkan dalam Bab III yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang terdiri dari 13 pasal, setidaknya terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan DPR dan hanya 1 pasal (Pasal 7C) yang menyatakan secara tegas bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, yang mana hal ini lebih berkaitan dengan sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu presidensial. Sebaliknya DPR pun tidak dapat menurunkan atau menjatuhkan Presiden dari jabatanya, sekalipun dalam Undang-Undang Dasar ini DPR dapat mengusulkan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden (termasuk Wakil Presiden) bila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A).

Ketentuan ini mengindikasikan bahwa hal itu tidak mudah atau tidak dapat dilakukan kecuali hal-hal yang digariskan tersebut dilakukan atau dialami oleh Presiden/Wakil Presiden. Kemudian pasallainnya hanya lebih bersifat minta persetujuan atau kaitannya dengan ke-3 fungsi pokoknya, yakni legislasi, anggaran dan pengawasan (Pasal 20A). Dari pasal-pasal atau ayat-ayat ini, jelas terlihat bahwa eksistensi DPR dalam konstitusi kita secara nyata dalam arti tidak saja lembaga tapi harus ada orang-orang (anggota) untuk menjalankan tugas atau fungsi-fungsi pokoknya (3 fungsi) sebagai lembaga perwakilan rakyat seperti yang telah dikemukakan di atas, di mana orang-orang atau para anggota yang dimaksudkan ini bisa ada karena adanya pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22E Ayat [1]) sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Ayat (1) di atas.

Artinya pemilu yang dilaksanakan ini, agar rakyat yang memegang kedaulatan tersebut dapat memberikan hak politiknya dengan cara memilih anggota DPR/DPRD yang dicalonkan dari berbagai Parpol Peserta Pemilu guna menjadi wakilnya untuk duduk dalam lembaga legislatif tersebut untuk menyalurkan aspirasinnya serta menjalankan tugas atau ke-3 fungsi utama di atas.

Jadi dalam konteks ini anggota DPR/DPRD baru ada apabila ada rakyat yang punya hak politik mau memilihnya lewat mekanisme pemilu setiap lima tahun sekali. Artinya kalau rakyat tidak mau menggunakan hak poltiknya atau tidak memilih para anggota DPR/DPRD yang diusulkan dalam pemilu karena suatu alasan tertentu, misalnya karena sudah tidak percaya lagi atau muak dengan semua sikap/prilaku anggota DPR/DPRD dalam periode atau masa-masa sebelumnya atau sebagaimana digambarkan di atas mulai akhir tahun 2015 hingga awal 2016 ini saja yang sudah ada 6 kasus besar, maka berarti lembaga DPR bisa saja ada namun tidak punya anggota sehingga tidak dapat menjalankan semua tugas/fungsi dalam sistem pemerintahan kita. Ini berarti sama saja dengan bisa tidak ada.

Dan apa mungkin keadaan ini bisa terjadi? Kalau mau menjawabnya lagi, maka kenapa tidak? Apalagi dalam beberapa survei dan juga partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak yang dilaksanakan pada tgl. 9 Desember 2015 yang lalu juga menunjukkan adanya penurunan serta secara hukum pun tidak ada sanksi bila rakyat tidak memberikan suaranya dalam pemilu atau pilkada. Jadi kemungkinan itu bisa saja terjadi! Atau sekalipun ada yang memilih tapi tidak mencapai jumlah atau prosentase minimum dari jumlah suara yang seharusnya, maka tentu tidak bisa juga diakomodir karena berkaitan dengan legitimasinya. Sedangkan khusus mengenai susunan DPR dan syarat-syarat diberhentikan sebagai anggota DPR yang ditindaklanjuti dalam sebuah undang-undang yang dibuat khusus berdasarkan perintah konstitusi ini, di mana secara hukum, hirarkinya dibawah Undang-Undang Dasar dalam kaitan dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Hal atau ketentuan ini mau menunjukkan juga sebenarnya mana yang lebih tinggi antara yang diwakili dengan yang mewakilinya, karena dalam prakteknya sudah salah kaprah, sebab yang terjadi malah sebaliknya. Lantas, bagaimana kalau tidak ada anggota DPR yang terpilih dalam pemilu karena beberapa atau suatu alasan tertentu sebagaimana tersebut di atas, apa roda pemerintahan dapat berjalan?

Bila kembali melihat konstitusi, maka tidak ada satu bab, pasal atau ayat pun dalam UUD 1945 yang menjelaskan soal ini, sehingga mungkin hal ini dapat menjadi obyek kajian hukum tata negara ke depan berdasarkan fenomena yang ada serta nantinya dapat menjawab secara tepat. Namun bila melihat hal yang sama atau mirip dengan negara lain sebagaimana gambaran di atas atau juga dalam sejarah perjalanan negara – pemerintahan kita, misalnya ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk membubarkan Badan Konstituante yang dinilai gagal dalam menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945.

Serta ketika Gus Dur memerintah negeri ini, Ia pun hendak mengeluarkan hal yang sama dengan Bung Karno pada tahun 1959(Dekrit) untuk membubarkan DPR yang mendapat reaksi keras dari berbagai pihak termasuk dua orang dekat/pembantunya, yaitu Menteri Kehakiman dan HAM serta Penasihat Hukum Presiden, karena dinilai hal tersebut bukan saja sebagai tindakan yang inkonstitusional tapi juga kudeta. Juga menurut mereka berdua berbeda keadaannya dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Bung Karno, karena pada saat itu negara dalam keadaan bahaya, sedangkan keadaan pemerintahan pada saat ini (era pemerintahan Gus Dur) tidak dalam keadaan bahaya (alwishahab.wordpress.com, 4 Pebruari 2001).

Terlepas dari alasan hukum ini, dapat saja dilihat benang merah dari alasan dikemukakan tulisan ini yang mungkin sama bahwa, bisa saja Gus Dur menganggap sikap/prilaku anggota DPR yang ada pada saat itu sudah “tidak pantas” lagi, bahkan Ia pernah mengatakan DPR bagaikan “Taman Kanak-Kanak” karena mungkin saking kesalnya, sama dengan mungkin kita sebagian besar rakyat Indonesia saat ini yang sangat kesal, marah atau rasa lainnya yang bercampur aduk dengan melihat semua tingkah laku sebagian besar anggota DPR sebagaimana dilukiskan di atas namun peduli dengan kelangsungan hidup atau masa depan bangsa/negara yang lebih baik, sehingga bersuara dan harus ada tindakan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun