Sudah lama aku tidak bermain jemparingan Mataraman. Maksudku ... tidak dalam jarak yang sebenarnya. Kesibukan di tempat kerja memaksaku hanya bisa mencuri waktu, dan berlatih panahan dalam jarak dekat saja : 6 - 7 meter.
Tapi, mendinglah ... daripada tidak bisa bermain sama sekali? Hi..hi..hi...
Uhg.. rasanya sudah lamaa sekali tidak bermain jemparingan di jarak 30m.  Dan, pagi ini sepertinya rindu sudah tidak bisa ku tahan.
Ku tinggalkan meja kerja, dan ku ambil waktu untuk rehat sejenak.
Di kejauhan tampak jagrag tempat menaruh jemparing-jemparing yang aku gantung di dinding samping ruang tamu. Jemparing atau anak panah lamaku yg berbulu kuning tampak menggoda, seolah lembut merajuk berkata:Â
Yuk kita bermain di sasana, merasakan bau debu dan hangatnya Mentari pagi, menyapa bandul dan membunyikan klinthing yang suaranya merdu menyukakan hati...
Perlahan aku beranjak menghampiri.. menyentuhnya dengan lembut lalu kumasukkan perlahan ke dalam endhong tabung panahku. Kukeluarkan sepeda motor, lalu bergegas ke Gunung Ketur, Kadipaten Pakualaman.
Pintu gerbang Sasana Jemparingan Gunung Ketur masih tertutup.Â
Perlahan pintu jeruji itu ku buka, dan benar saja ... Mentari hangat menyapa dengan senyumnya, memompakan semangat untuk merentang busur, dan melepas para jemparingku yang riang terbang memburu sasaran yang bergoyang di kejauhan.Â
BACA : Jemparingan adalah...
Waktu serasa berhenti.
Hanya tarikan nafas lembut yang membarengi pergerakan tanganku merentang busur. Tidak ada gerakan yang sia-sia. Semua memiliki tujuan dan irama.
Satu per satu jemparing kuningku melesat lurus. Jatuh di geber hitam yang menjadi backstop di belakang bandul target panahan.
Setiap perkenaan anak panah di geber seolah berteriak bak cucuk ( = caddy dalam permainan golf) yang memberiku warta : ke atas sedikit ... ke kiri sedikit ... terlalu kasar lembutkan jari-jemarimu ...
Tak terasa 20 rambahan atau ronde permainan hampir usai.Â
Ku pilih 4 jemparing yang terbaik untuk babak pamungkas. Aku tidak mau memaksakan diri melebihi 20 putaran. Jemparingan Mataraman mengajarkanku pentingnya disiplin. Termasuk tahu kapan harus berhenti.
Satu persatu jemparing kuningku menancap di bandul. Satu, dua.  Ku hela nafas perlahan ... tiga dan ... bunyi krincing menandakan anak-panahku yang ke-empat juga mencok di sasaran.
Sempurna. Â Semuanya begitu... sempurna.
Perlahan kukembalikan jemparing-jemparing kuningku ke dalam endhong.
Ku keluarkan sepeda motorku perlahan sambil berguman ke arah sasana : Matur nuwun.
Ku kendarai sepeda motorku perlahan diantara deru jalanan. Ku susuri jalan depan Alun-alun Karaton Yogyakarta yang mulai ramai dengan wisatawan. Tokoku di Pojokbeteng Kulon, Yogyakarta.
Badanku serasa segar, pikiranku ringan ... dan jemparingan mataramanku hari ini, bersama Mentari pagi di Gunung Ketur, kadipaten Pakualaman ... begitu menyenangkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H