Waktu serasa berhenti.
Hanya tarikan nafas lembut yang membarengi pergerakan tanganku merentang busur. Tidak ada gerakan yang sia-sia. Semua memiliki tujuan dan irama.
Satu per satu jemparing kuningku melesat lurus. Jatuh di geber hitam yang menjadi backstop di belakang bandul target panahan.
Setiap perkenaan anak panah di geber seolah berteriak bak cucuk ( = caddy dalam permainan golf) yang memberiku warta : ke atas sedikit ... ke kiri sedikit ... terlalu kasar lembutkan jari-jemarimu ...
Tak terasa 20 rambahan atau ronde permainan hampir usai.Â
Ku pilih 4 jemparing yang terbaik untuk babak pamungkas. Aku tidak mau memaksakan diri melebihi 20 putaran. Jemparingan Mataraman mengajarkanku pentingnya disiplin. Termasuk tahu kapan harus berhenti.
Satu persatu jemparing kuningku menancap di bandul. Satu, dua.  Ku hela nafas perlahan ... tiga dan ... bunyi krincing menandakan anak-panahku yang ke-empat juga mencok di sasaran.
Sempurna. Â Semuanya begitu... sempurna.
Perlahan kukembalikan jemparing-jemparing kuningku ke dalam endhong.
Ku keluarkan sepeda motorku perlahan sambil berguman ke arah sasana : Matur nuwun.
Ku kendarai sepeda motorku perlahan diantara deru jalanan. Ku susuri jalan depan Alun-alun Karaton Yogyakarta yang mulai ramai dengan wisatawan. Tokoku di Pojokbeteng Kulon, Yogyakarta.
Badanku serasa segar, pikiranku ringan ... dan jemparingan mataramanku hari ini, bersama Mentari pagi di Gunung Ketur, kadipaten Pakualaman ... begitu menyenangkan.Â