Namun, karena orangtua mereka tidak mampu, mereka harus mengubur dalam-dalam impian untuk bisa melanjutkan pendidikan.
Alhasil, selepas SMA, banyak yang memilih pergi merantau, entah itu ke Batam, Pekanbaru, Jakarta, dan wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa. Sehingga, kala akhir tahun ajaran tiba, di saat yang sama terminal bus besar di kotaku biasanya ramai oleh keluarga yang akan melepas anak-anak mereka yang baru tamat sekolah untuk pergi mengadu nasib.
Bermodal ijazah SMA, mereka kemudian bekerja sebagai buruh pabrik, sedang sebagian lainnya memilih berniaga, seperti lazimnya yang dilakukan oleh orang Minang di perantauan. Dari hasil bekerja di perantauan itulah, mereka bisa mengirim uang untuk orangtua di kampung halaman.
Dulu, aku menjadi saksi hidup dan merasakan sendiri kepedihan hidup di kampung ini. Orangtuaku, seperti halnya penduduk lainnya, adalah petani.
Sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dalam segala keterbatasan, namun aku berusaha untuk tidak mengeluh dan meratapi nasib. Lebih tepatnya, memilih untuk menahan diri dari menginginkan sesuatu yang tak mampu dimiliki.
Sebaliknya, sejak kecil aku sudah terbiasa berpikir keras bagaimana agar bisa terlepas dari belenggu kemiskinan ini. Aku ingin kuliah setinggi mungkin. Aku tak ingin mengadu nasib di perantauan seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Â
Kini, visi dan orientasi hidup orang-orang sudah jauh berubah ke arah yang lebih baik.
Entah bagaimana jalan ceritanya, mungkin juga karena kemajuan zaman, sekarang semakin jarang terdengar anak-anak kampung yang pergi merantau dan mengadu nasib ke kota besar. Mereka kini lebih banyak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Pesona merantau sepertinya sudah memudar di mata mereka. Kemajuan teknologi, membaiknya kondisi ekonomi, dan semakin mudahnya akses informasi agaknya turut berperan mempengaruhi dan mengubah pola pikir penduduk kampungku.
Selain itu, mereka yang berhasil menjadi PNS terlihat semakin bertambah dari tahun ke tahun, seiring dengan semakin banyaknya lulusan perguruan tinggi, sehingga dengan alasan itulah aku menjuluki kampungku itu dengan sebutan "kampung PNS".