Namun, untunglah hal tersebut tidak berlangsung lama. Aku tidak ingat pastinya kapan, yang jelas waktu aku masih duduk di kelas dua atau tiga tsanawiyah, aku mulai menyadari kekhilafanku itu. Walau terasa kelu dan berat, lidahku mulai kupaksakan untuk memanggil "uni" kepada kakak-kakakku tersebut. Tak ayal, keluargaku pun senang bukan kepalang dengan capaian moralku itu, terutama ibu.
Perubahan signifikan ini tentunya tidak terjadi dengan begitu saja. Pengetahuan agamaku yang semakin bertambah semenjak masuk madrasah tsanawiyah turut menyadarkanku terlepas dari pelanggaran etika tersebut. Bahkan menurutku, dalam hal ini justru ibukulah yang cukup berperan.
Semenjak usiaku hampir mencapai akil baligh, beliau mulai kerap menasihatiku tentang banyak hal. Mulai dari bagaimana bersopan-santun, menghormati orang yang lebih tua, sampai suruhan mengaji ke surau yang sangat tabu jika harus kulanggar. Biasanya beliau akan menyampaikan nasihatnya tersebut dengan tenang dan lembut, karena memang ibuku bukanlah tipe wanita yang keras.
Sangat jarang bahkan tidak pernah aku melihat beliau memarahi atau membentak kami anak-anaknya, kecuali jika kenakalan kami sudah benar-benar kelewatan. Sepertinya ibuku tahu betul bahwa ketika sang anak sudah sering dibentak dan dimarahi, maka nasihat selembut apapun akan sukar membekas pada hatinya.
Benar saja, dalam beberapa kali kesempatan, aku menemukan kasus sejumlah anak tetanggaku yang tidak pernah mempan kalau diberi nasihat. Rupa-rupanya, mereka seringkali dimarahi atau dibentak-bentak oleh ayah-ibu mereka di rumah hanya karena persoalan sepele.
Di kampung-kampung di Minangkabau, masalah etika dan sopan santun masih dijunjung tinggi dalam keseharian. Misalnya, seorang anak akan dicap tidak berbudi pekerti ketika tidak menyapa atau memberikan salam kepada orang yang lebih tua. Pernah suatu sore saat pulang mengaji dari TPA, tanpa sadar aku melakukan kesalahan fatal pada seorang tokoh desa di kampungku.
Waktu itu karena terburu-buru, aku tidak begitu memperhatikan kalau orang yang berjalan di depanku adalah seorang tokoh yang cukup disegani. Lantas, tanpa ba-bi-bu, langsung saja aku serobot langkah bapak tersebut yang memang ketika itu cukup menghalangi jalanku. Seharusnya waktu itu aku menyapa beliau atau setidaknya mengucapkan salam, meskipun harus jalan mendahului. Namun karena sudah dikejar waktu, segala tata krama itu musnah sudah di kepalaku.
Dalam keluarga, aku merasa sangat diistimewakan dalam banyak hal, baik oleh keluargaku sendiri maupun oleh keluarga bibiku. Terang saja, seperti yang kukemukakan sebelumnya, barangkali karena aku anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Selain itu, jika dibandingkan dengan saudara-saudara perempuanku yang lain, aku agak lebih menonjol.
Sewaktu menamatkan SD, NEM yang aku peroleh adalah yang tertinggi di sekolah, bahkan termasuk tiga besar sekecamatan. Hal serupa juga kuperoleh ketika aku menamatkan jenjang madrasah tsanawiyah, bahkan dengan prestasi itu aku dinyatakan langsung diterima di sebuah SMA favorit di daerahku. Tapi sayang, tawaran tersebut tak kuambil. Kala itu, aku lebih memilih melanjutkan sekolah ke sebuah madrasah aliyah yang cukup bonafid di luar kota.
Keputusan-keputusan semacam ini tentu bukan hasil pertimbanganku sendiri. Bagiku, keluarga adalah segalanya dalam hal pengambilan kebijakan. Aku sangat merasakan kehangatan keluarga di rumah kami. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke madrasah tsanawiyah yang berada di luar kecamatan, beberapa kerabat ayah ada yang mengolok-olok keputusanku tersebut, lantaran memandang rendah nilai sekolah agama.