Mohon tunggu...
Jemmy Hendiko
Jemmy Hendiko Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer | Translator | Interpreter | Editor | Freelance Writer | Blogger |

Seorang pembelajar yang gemar memungut ide-ide yang bertebaran lalu mengabadikannya dalam tulisan. Lahir dan tumbuh di Talang, sebuah nagari di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia merampungkan studi S-2 di International Islamic University Malaysia (IIUM), sedangkan jenjang S-1 ia selesaikan di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai dosen, dai, penulis, penerjemah Arab-Indonesia (vice versa), penerjemah Inggris-Indonesia (vice versa), jurnalis di www.indonesiaalyoum.com, interpreter, dan editor di sejumlah penerbit di tanah air. Punya hobi menulis sejak kecil dan semakin terasah ketika menjejakkan kaki di Negeri Para Nabi, Mesir. Ia bisa dihubungi melalui akun Twitter: @jemmyhendiko dan e-mail: jemmyhendiko@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Segalanya Berkat Doa Ibu dan Dukungan Keluarga

12 Maret 2018   12:38 Diperbarui: 12 Maret 2018   13:17 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, untunglah hal tersebut tidak berlangsung lama. Aku tidak ingat pastinya kapan, yang jelas waktu aku masih duduk di kelas dua atau tiga tsanawiyah, aku mulai menyadari kekhilafanku itu. Walau terasa kelu dan berat, lidahku mulai kupaksakan untuk memanggil "uni" kepada kakak-kakakku tersebut. Tak ayal, keluargaku pun senang bukan kepalang dengan capaian moralku itu, terutama ibu.

Perubahan signifikan ini tentunya tidak terjadi dengan begitu saja. Pengetahuan agamaku yang semakin bertambah semenjak masuk madrasah tsanawiyah turut menyadarkanku terlepas dari pelanggaran etika tersebut. Bahkan menurutku, dalam hal ini justru ibukulah yang cukup berperan.

Semenjak usiaku hampir mencapai akil baligh, beliau mulai kerap menasihatiku tentang banyak hal. Mulai dari bagaimana bersopan-santun, menghormati orang yang lebih tua, sampai suruhan mengaji ke surau yang sangat tabu jika harus kulanggar. Biasanya beliau akan menyampaikan nasihatnya tersebut dengan tenang dan lembut, karena memang ibuku bukanlah tipe wanita yang keras.

Sangat jarang bahkan tidak pernah aku melihat beliau memarahi atau membentak kami anak-anaknya, kecuali jika kenakalan kami sudah benar-benar kelewatan. Sepertinya ibuku tahu betul bahwa ketika sang anak sudah sering dibentak dan dimarahi, maka nasihat selembut apapun akan sukar membekas pada hatinya.

Benar saja, dalam beberapa kali kesempatan, aku menemukan kasus sejumlah anak tetanggaku yang tidak pernah mempan kalau diberi nasihat. Rupa-rupanya, mereka seringkali dimarahi atau dibentak-bentak oleh ayah-ibu mereka di rumah hanya karena persoalan sepele.

Di kampung-kampung di Minangkabau, masalah etika dan sopan santun masih dijunjung tinggi dalam keseharian. Misalnya, seorang anak akan dicap tidak berbudi pekerti ketika tidak menyapa atau memberikan salam kepada orang yang lebih tua. Pernah suatu sore saat pulang mengaji dari TPA, tanpa sadar aku melakukan kesalahan fatal pada seorang tokoh desa di kampungku.

Waktu itu karena terburu-buru, aku tidak begitu memperhatikan kalau orang yang berjalan di depanku adalah seorang tokoh yang cukup disegani. Lantas, tanpa ba-bi-bu, langsung saja aku serobot langkah bapak tersebut yang memang ketika itu cukup menghalangi jalanku. Seharusnya waktu itu aku menyapa beliau atau setidaknya mengucapkan salam, meskipun harus jalan mendahului. Namun karena sudah dikejar waktu, segala tata krama itu musnah sudah di kepalaku.

dok. pribadi
dok. pribadi
Tak dinyana, barangkali merasa harga dirinya dilecehkan oleh bocah sepertiku, malamnya ia bertemu dengan ayah di jalan dan meminta agar aku diajari soal tata krama. Tak pelak, akibat "rekomendasi" tokoh desa tersebut, pada malam itu juga ayah dan ibuku langsung "berceramah" panjang lebar soal tata krama, khusus buatku seorang. Setelah beliau berdua selesai berbicara, aku jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Meski alasanku diterima, aku tetap diperingatkan untuk tidak lagi mengulangi kesalahan tersebut.  

Dalam keluarga, aku merasa sangat diistimewakan dalam banyak hal, baik oleh keluargaku sendiri maupun oleh keluarga bibiku. Terang saja, seperti yang kukemukakan sebelumnya, barangkali karena aku anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Selain itu, jika dibandingkan dengan saudara-saudara perempuanku yang lain, aku agak lebih menonjol.

Sewaktu menamatkan SD, NEM yang aku peroleh adalah yang tertinggi di sekolah, bahkan termasuk tiga besar sekecamatan. Hal serupa juga kuperoleh ketika aku menamatkan jenjang madrasah tsanawiyah, bahkan dengan prestasi itu aku dinyatakan langsung diterima di sebuah SMA favorit di daerahku. Tapi sayang, tawaran tersebut tak kuambil. Kala itu, aku lebih memilih melanjutkan sekolah ke sebuah madrasah aliyah yang cukup bonafid di luar kota.

Keputusan-keputusan semacam ini tentu bukan hasil pertimbanganku sendiri. Bagiku, keluarga adalah segalanya dalam hal pengambilan kebijakan. Aku sangat merasakan kehangatan keluarga di rumah kami. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke madrasah tsanawiyah yang berada di luar kecamatan, beberapa kerabat ayah ada yang mengolok-olok keputusanku tersebut, lantaran memandang rendah nilai sekolah agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun