Aku terpilih sebagai salah seorang tenaga musim haji dari Mesir pada tahun 2010 silam, tahun terakhir studiku di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Menjadi temus bagiku adalah anugerah dan keberkahan tersendiri, karena aku jadi bisa menunaikan ibadah haji di usia muda, yang merupakan salah satu impian terbesarku dalam hidup. Menjadi temus juga memberiku kesempatan untuk menjadi pelayan jamaah haji dari tanah air, yang mudah-mudahan menjadi salah satu pemberat amal kebajikanku kelak di hari akhir.Â
Selama menjadi temus pada musim haji tahun itu, aku ditugaskan di daerah kerja Jeddah. Aku bertugas di bagian transportasi yang melayani pemberangkatan jamaah haji dari Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Makkah.
Saat penentuan daerah kerja bagi seluruh temus asal Mesir dan ketika itu namaku masuk di daerah kerja Jeddah, aku sempat sedikit kecewa. Sebab, pada awalnya aku ingin sekali ditempatkan di daerah kerja Makkah atau Madinah, semata-mata agar bisa shalat di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi sesering mungkin.
Namun, pada akhirnya aku bersyukur berada di Jeddah. Pertama, karena aku bertugas di dalam kompleks bandara yang teduh, tidak seperti temus lapangan di Makkah atau Madinah yang kerap berada di bawah terik matahari langsung. Dan yang kedua, rupa-rupanya masa kerja di daerah kerja Jeddah lebih lama ketimbang daerah kerja Makkah atau Madinah, dan ini tentu saja berpengaruh pada nominal fee yang aku terima di akhir masa tugas.
Di daerah kerja Jeddah ini, semua petugas haji yang berada di bawah bendera Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 2010 tinggal di sebuah hotel yang agak dekat dari pinggir Laut Merah dan cukup jauh dari bandara, sekira satu jam perjalanan. Laut Merah bisa dilihat sepanjang mata memandang dari lantai atas hotel yang kami tempati.
Saat hari Jumat dan kebetulan aku mendapat shift petang, biasanya aku dan sesama petugas haji akan menunaikan shalat Jumat di sebuah masjid yang berada persis di pinggir laut itu. Tak jauh dari masjid ini, ada juga masjid lain yang sangat populer di kalangan jamaah haji Indonesia, yaitu Masjid Siti Rahmah yang dikenal dengan sebutan "Masjid Terapung".
Di hotel tersebut, semua temus terpilih dari berbagai universitas di Timur Tengah dan Afrika, temus dari kalangan mukimin di Arab Saudi, bapak-bapak dan ibu-ibu petugas haji dari Kementerian Agama, Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) yang terdiri dari para dokter dan perawat, serta para sopir, kesemuanya tinggal dan berbaur layaknya keluarga besar.
Maka, tidak perlu waktu lama bagiku untuk kenal dengan sebagian besar petugas haji di daker Jeddah ini. Kalaupun lupa atau tidak kenal nama, setidaknya aku sudah hafal wajah-wajah mereka, karena hampir setiap hari kami berpapasan dan mengobrol ringan di lobi hotel saat sarapan, makan siang, atau makan malam.
Dengan semangat dan visi yang sama untuk melayani jamaah haji Indonesia, tak sulit bagi kami untuk saling membangun keakraban antara sesama petugas. Meski demikian, lebih mudah untuk saling kenal dan akrab dengan sesama rekan-rekan temus. Barangkali karena kami sama-sama masih muda dan sama-sama berstatus mahasiswa perantauan di negara orang, jadi ketika mengobrol apa pun, selalu nyambung dan bisa sesantai mungkin. Pun ketika berkenalan, biasanya kami akan saling bertukar nomor telepon seluler dan akun Facebook masing-masing.
Dalam waktu singkat, aku sudah kenal dan hafal siapa-siapa saja temus dari Yordania, Tunisia, Sudan, Libya, Maroko, Yaman, di samping teman-teman temus dari Mesir yang sudah kukenal sejak dari Cairo. Ada Sabiq dari Sudan, Tian dari Libya, Iman dari Maroko, Amir dari Tunisia, Abu Kafa dari Yaman, dan Abdul Aziz dari Yordania.
Nama yang terakhir ini sebelumnya kukenal di Cairo, karena ia lebih dulu menyelesaikan S-1 di Universitas Al-Azhar, bahkan pernah satu asrama denganku di asrama internasional Madinatul Bu'uts Cairo, namun kemudian ia melanjutkan S-2 di Yordania.
Berbelanja Ala Temus di Jeddah
Di antara pemandangan yang cukup menonjol di kalangan temus setiap kali musim haji adalah berbelanja. Ya, mungkin ini adalah cara kami untuk membahagiakan diri sendiri setelah lelah bertugas dan menerima gaji. Saat menjadi mahasiswa di negara perantauan masing-masing, uang di kantong hanya pas-pasan, bahkan kerap kekurangan. Waktu di Mesir dulu misalnya, beasiswa yang kuperoleh setiap bulan hanya cukup untuk biaya hidup dan transportasi, itu pun sudah dengan kalkulasi keuangan super ketat.
Alhasil, mahasiswa yang hanya mengandalkan living cost dari beasiswa sepertiku, sangat jarang berbelanja ini-itu yang tidak perlu, apalagi membeli barang-barang mewah dan bermerek. Namun dengan bertugas sebagai temus, penghasilan yang diperoleh terkadang membuat kalap dan lapar mata. Layaknya orang kaya baru, apa yang selama ini hanya bisa diidam-idamkan, ketika berada di Arab Saudi seolah-olah menjadi saat yang tepat untuk mewujudkannya.
Maka, setelah gaji tahap pertama cair, aku perhatikan rekan-rekan temus banyak yang sibuk bolak-balik dari hotel ke Balad, yaitu pusat perbelanjaan murah dan lengkap di kawasan Corniche Commercial Center, Jeddah dan cukup dekat dari hotel yang kami tempati. Rata-rata mereka membeli handphone, laptop, dan kamera keluaran terbaru. Tak tanggung-tanggung, sebagian rekan lainnya bahkan membeli barang-barang sejenis namun dengan merek fantastis dan banderol harga yang lebih gila.
Jelang kembali ke Cairo, aku pun membeli sebuah laptop dengan spesifikasi dan harga yang standar. Tidak perlu yang terlalu mahal, karena bagiku yang penting adalah fungsi dan manfaatnya. Apalagi aku hanya akan menggunakan laptop tersebut untuk menunjang kegiatan menulis dan menerjemah buku yang menjadi pekerjaan sampinganku selama di Mesir hingga kini.
Saat itu, di Cairo aku hanya punya sebuah komputer sederhana, yang tentu tidak efektif bila dalam kondisi tertentu aku harus membawa laptop ke mana-mana. Seperti halnya rekan-rekan temus yang lain, waktu itu aku juga tak luput dari titipan teman-teman di Cairo. Ada yang titip dibelikan handphone, kurma Ajwa, parfum, sorban, sampai gamis. Bahkan ada seorang senior di Makkah yang menitipkan uang ribuan dolar kepadaku untuk adiknya di Mesir.
Selain berbelanja keperluan pribadi dan membelikan titipan teman-teman, aku dan beberapa orang temus juga kerap dimintai tolong oleh bapak-bapak dan ibu-ibu petugas haji dari Kemenag, demikian pula oleh petugas-petugas TKHI untuk menemani mereka berbelanja di Balad. Sebab, berbelanja di Arab Saudi tentu menggunakan bahasa Arab, sehingga mereka meminta bantuan temus untuk menjadi penerjemah saat membeli dan menawar barang.
Maka, jadilah aku guide sekaligus penerjemah bagi bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut saat berbelanja. Ketika menemani ibu-ibu dan kami berangkat dari hotel dengan taksi, biasanya aku akan naik terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh ibu-ibu itu. Sebab, menurut kabar yang beredar kala itu, penumpang-penumpang wanita dari negara luar Arab Saudi yang naik taksi tanpa didampingi laki-laki, atau jika penumpang wanita naik taksi terlebih dahulu, rentan dibawa kabur lalu dirampok oleh sopir-sopir taksi di sana.
Di saat rekan-rekan temus asyik berbelanja, kala itu aku melihat Abdul Aziz, rekan temus dari Yordania, justru sehari-hari hanya sibuk bertugas di bandara dan tidak tampak pergi ke mana-mana. Kala kutanya, jawabannya membuatku terdiam. Ia menuturkan, bahwa gaji yang ia peroleh dari temus ini, seluruhnya akan ia gunakan untuk membayar biaya kuliah dan untuk biaya hidup beberapa bulan di Yordania. Setelah itu, ludes tak bersisa. Ia menambahkan, bahwa di Yordania tidak ada beasiswa untuk jenjang magister. Parahnya lagi, living cost di sana jauh lebih tinggi ketimbang di Mesir.
Beberapa bulan setelah kembali ke tanah air, aku mendapati kabar duka dari dinding Facebook Abdul Aziz yang membuatku serasa disambar geledek di siang bolong. Ya, Abdul Aziz meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Yordania setelah sekian lama berjuang melawan penyakit yang ia derita. Sungguh, aku kaget bukan main. Ia meninggal di saat menuntut ilmu dan belum sempat menyelesaikan magisternya. Selamat jalan, Abdul Aziz. Semoga Allah merahmati dan menempatkanmu di tempat terbaik di sorga-Nya.
Berjumpa Sahabat Lama di Madinah
Di antara pengalaman berkesan lainnya selama menjadi temus pada tahun 2010 adalah aku ditakdirkan berjumpa dengan dua orang sahabat sewaktu di LIPIA Jakarta dulu di Madinah. Keduanya adalah Nasrullah yang tengah melanjutkan studi S-1 di Universitas Islam Madinah, dan Helmi yang memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan travel di sana. Aku bertemu dengan mereka di sela-sela ziarah para petugas haji ke kota Nabi itu.
Alhasil, aku berada di Madinah lebih lama dibanding petugas-petugas haji lain yang lebih dulu bertolak ke Jeddah, sedangkan aku berangkat sendiri beberapa hari kemudian dengan jasa angkutan travel Madinah-Jeddah berkat bantuan Helmi. Hingga kini, persahabatan kami makin erat. Nasrullah bisa menghabiskan waktu berjam-jam jika sudah meneleponku, sedangkan Helmi, selalu menyapa dan mengabariku di Facebook bila ia tengah berada di Indonesia.
Berkarya dengan Laptop Berkah Temus
Laptop yang kubeli di Jeddah dari hasil keringat sebagai temus menjadi keberkahan tersendiri bagiku. Sejak saat itu, aku bisa jadi lebih leluasa dan nyaman menulis, menyunting naskah, dan menerjemah buku. Ya, aku bisa menulis di mana saja, tidak lagi dengan komputer lama yang pada akhirnya kujual kepada seorang teman di Mesir.
Berkat laptop tersebut, hingga kini aku telah menerjemahkan belasan buku dari bahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, menyunting belasan buku, mempersiapkan naskah bukuku sendiri, dan menulis banyak tulisan dan artikel, termasuk menorehkan memoar temus ini. Laptop itu juga makin berjasa semenjak aku melanjutkan S-2 di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ia selalu setia menemaniku menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan merampungkan tesis, hingga akhirnya aku berhasil menyelesaikan studi magisterku pada tahun 2016 lalu.
Selain itu, penghasilan yang aku terima sebagai temus kala itu juga menjadi sumber keberkahan lain dan turut berperan dalam melancarkan perjalanan studiku di Malaysia. Bila Abdul Aziz yang kuceritakan di atas membayarkan sebagian besar gajinya untuk biaya kuliah di Yordania, maka aku pun tak jauh beda. Aku menggunakan sebagian dari penghasilan temus untuk biaya masuk S-2 di IIUM.
Hingga kini, aku selalu berdoa, semoga Allah memanggilku lagi untuk datang ke tanah suci guna menunaikan haji dan umrah. Rindu rasanya kembali bermunajat dan bersujud di depan Baitullah. Tidak hanya sendiri, namun bersama kedua orang tua dan keluargaku tercinta. Allaahummarzuqnaa ziyaarata baitikal haraam. Aamiin.
Solok, Sumatera Barat, 1 Desember 2017
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H