Penuh intrik dan cenderung ingkar janji, itulah politik sejauh yang saya tahu. Maka tak heran semenjak saya diberikan hak untuk memilih, tidak pernah digunakan sekalipun. Jenuh dan terkadang gerah dengan semua sepak terjang tokoh-tokoh politik di negara tercinta. Mungkin ada yang masih di jalan yang seharusnya, tapi tenggelam oleh sebagian lainnya yang lebih memilih memenuhi hasratnya ketimbang berusaha menjalankan amanah rakyat.
“ kita tak harus berhenti berharap dan berdoa di sela doa-doa panjang kita, agar kita diberi pemimpin-pemimpin yang amanah karena lewat pemimpin-pemimpin yang amanah anak cucu kita punya masa depan. Masa depan memang ada di tangan kita, tapi tanpa keadaan negara yang baik, pemimpin yang baik semua itu akan sulit terlaksana. Maka berdoalah, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk bangsa dan negara”. Itulah seagian nasehat yang pernah ibuku katakan ketika diskusi mengenai politik.
Tak pernah kuduga, seseorang yang hanya lulusan SD dan tinggal di jauh di perkampungan dengan lingkungan yang tidak peduli politik mampu membungkamku. Seorang anak yang pendidikannya lebih tinggi dari ibunya, tapi selalu mengeluh dan cenderung menyalahkan pemerintah.
Pemimpin itu lahirnya dari rakyat, maka jangan heran ketika seorang pemimpin terlibat korupsi mungkin kitalah yang telah salah memilih. Atau memang karena budaya korupsi sudah mengakar dan membudaya bahkan di tingkat keluarga sekalipun, maka akan lahirlah seorang pemimpin yang korup. Praktek suap menyuap, bukankah sudah biasa bahkan sampai level RT yang sebenarnya tidak kita sadari!.
Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi panutan malah semakin memperjelas bagaimana caranya korupsi. Dari mulai diajarkannya prilaku tidak jujur dalam ujian, sampai jual beli ijazah di PT. Bagiku semua itu sudah cukup untuk memberikan kita alasan mengapa negara kita menjadi sarang koruptor!.
Keberpihakan media pada kelompok tertentu, meyulitkan kita untuk menilai objektif terhadap suatu tokoh. Sangat sulit rasanya mencari sesuatu hal yang independen, bahkan pengamat sekalipun yang seharusnya diharapkan bisa menjadi titik terang terhadap suatu permasalahan malah semakin memperumit. Yang pada akhirnya rakyat dibuat ‘pusing pala berbie’ karena tidak ada yang bisa dijadikan pegangan, bahkan media sekalipun yang seharusnya berdiri di tengah-tengah.
Pada akhirnya yang bertikai adalah rakyat level bawah karena merasa mempunyai sumber yang paling valid. Kefanatikan mereka terhadap tokoh tertentu membuatnya merasa paling benar. Apa yang terjadi ketika semua orang merasa paling benar?.Ah...saya tak perlu menjawabnya.
Saling menjegal satu sama lain dalam kontes politik, SARA menjadi gorengan yang paling laku di negara mayoritas muslim ini. Belum lagi fitnah yang disebarkan. Dan yang menjadi semakin parah, media memberikan berita disesuaikan dengan sudut pandang pemiliknya. Belum lagi komentar-komentar netizen dengan bahasa yang tidak seharusnya semakin memperkeruh keadaan. Tanpa landasan yang kuat dan solusi yang tepat netizen menganggap seseorang tidak pantas.
Jenuh dan jengah saya membacanya, seseorang yang ingin belajar politik dari sudut yang sebenar-benarnya. Yang terjadi malah menemukan hal-hal yang semakin membuat ‘pusing pala berbie’. Tak ada seseorang yang bisa dijadikan teman diskusi, bertukar pendapat sesuai sudut pandang masing-masing. Beradu argumen yang logis dengan landasan yang kuat dan setidaknya ada solusi. Tak ada. Yang ada hanyalah sesak nafas menahan unek-unek yang tak tertahan.
Bermula dari salah follow di twiter. Entah siapa sebenarnya yang menemukan. Aku yang menemukan kompasiana atau kompasiana yang menemukanku. Satu hal yang pasti, tuhan memberikan apa yang aku butuhkan. Melalui kompasiana aku bisa menyuarakan apa yang aku pikirkan walaupun melalui tulisan kompasianer lain. Aku jarang menulis, tapi setidaknya membaca tulisan kompasianer mengenai suatu hal itu lebih baik dari pada mendengar apa kata pengamat yang sebagian besar sesuai pesanan.
Sanggahan terhadap suatu pendapat adalah hal biasa, karena setiap orang punya sudut pandang yang berbeda. Melalui kompasiana, aku belajar menulis. Bukan hanya sekedar menulis, tapi menulis dengan penuh tanggungjawab. Artinya setiap opini yang kita tulis harus punya alasan yang kuat dan solusi yang tepat. Walaupun sebagian belum seperti itu termasuk saya, setidaknya apa yang saya tulis tidak mengandung provokasi. Karena disinilah kita semua belajar menjadi lebih cerdas dalam menyikapi suatu permasalahan.
Salam kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H