[caption id="attachment_173561" align="aligncenter" width="540" caption="dua buku orwell, 1984 dan Animal Farm (sumber:highsnobiety.com)"][/caption] SEKALI LAGI SAYA HARUS mengutip George Orwell, katanya, “Iklan terburuk sosialisme adalah penganutnya”. Penulis Animal Farm ini tentu tak asal bunyi. Tak asal mengejek. Apa lagi ia sosialis—tulen. Ini berdasarkan pengalamannya sendiri yang melihat bagaimana orang-orang sosialis berteori sedemikian rupa, tapi bertingkah lain dari apa yang dikatakannya. “Sosialisme anti-penindasan!” katanya. Tapi setelah menjadi penguasa malah menjadi penindas baru—seperti Si Babi (ada yang ingat namanya?) dalam Animal Farm. “Sosialisme adalah keadilan; dari siapa sesuai kemampuannya, untuk siapa sesuai kebutuhannya,” katanya mengutip Marx. Tapi lihat sendiri, para pemimpin, pakar, dlsb mendapatkan kehidupan yang mewah, sementara kaum buruh, petani, dan kaum marginal lainnya tetap hidup dalam kepapaan. *** BEBERAPA MINGGU y.l, seorang kawan yang sedang mendapat kesempatan belajar-kerja di Inggris, bercerita dengan saya melalui Skype. Ah, jaman canggih. Jarak memang tak ada jadi masalah untuk sekedar ngobrol berbincang-bincang tanpa harus menguasai telepati seperti dalam cerita sila Ko Ping Ho (pun kalau-kalau ada). Tapi ini bukan tentang kemajuan tekhnologi. “Saya di sini tinggal dengan seorang kapitalis,” katanya. “Wah, jadi kalian sering cek-cok lah ya?” balas saya, karena tahu kawan saya itu seorang sosialis—bahkan sekali-kali mengakui diri sebagai anarkis. “Tidak!” katanya. “Kok bisa?” “Malah di beberapa ide kami satu pakat. Sejalan!” Kawan saya itu lalu menerangkan kalau tempatnya tinggal itu adalah seorang berumuran 50-an. Punya seorang isteri dan dua orang anak. Mereka hidup sederhana. Mengaku tak percaya dengan sosialisme. Bahkan kerap mengangungkan kepitalisme. “Sejarah sudah berakhir!” katanya, menurut kawan saya itu, seringkali mengutip Fukuyama. Tapi begitu ia tidak mau belanja di pasar-pasar modern (mall, plaza, super market, dlsb), mereka selalu membeli kebutuhan dari koperasi, yang memasarkan produk-produk—kalau di sini semacam—usaha kecil menengah. “Aneh!” pikir saya. “Ya, agak aneh memang,” kata kawan saya itu. Mungkin dia sosialis, tapi tak gembor-gembor, saya simpulkan saja begitu, waktu itu. *** INI CERITA SEMINGGU y.l. seorang kenalan yang punya posisi tinggi di sebuah lembaga sosial, melakukan kunjugan kerja ke luar negeri. Ke Prancis (boleh ditambah: je!). Konon katanya ia menghadiri seminar tentang strategi penghapusan kemiskinan di negara-negara ketiga. Iya ceritakan apa yang disampaikan melalui 10 slide power point tentang kemiskinan di Indonesia. Ia bilang kemiskinan di Indonesia, yang angkanya disajikan dalam grafik yang indah, yang jumlahnya jutaan, terjadi karena pembangunan yang tak memihak kepada kaum petani, nelayan, buruh, dan kaum marjinal lainnya—kaum proletar, marhaen, dan entah istilah apa lagi itu. Juga tentang korporasi-korporasi yang menghisap habis perut bumi Indonesia; minyak, batu-bara, bausit, gas, dlsb, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pekerja. Dan ia ceritakan juga kalau selama Indonesia dipimpin orang-orang yang berwatak kapitalis, maka rakyat Indonesia terus menderita. Kita butuh pempimpin yang sosialis, mungkin seperti Sjahrir, katanya. “Hebat!” kata saya. “Bagaimana bisa lain?” Isterinya datang kepada kami, tersenyum, lalu menyuguh minuman dingin dalam gelas—berbuih-buih. Tersenyum lagi, dan bilang, “Silahkan diminum!” “Tapi ngomong-ngomong di Paris itu banyak tempat belanja yang asyik!” “O ya?” “Ya, saya sempat beli beberapa, untuk saya dan oleh-oleh untuk anak-isteri,” katanya bangga. “Jeans ini misalnya, mereknya: hermes!” katanya sambil membelakangi saya, menunjukkan pantatnya, demi memperlihatkan merek jeans yang dipakainya. “Juga kemeja ini merek ...” katanya lagi (saya lupa merek apa yang disebukannya), “Di sini tak ada bakalan ada yang asli kayak gini,” bangganya lagi. “Bagi dong!” “Lain kali kalau saya ke sana lagi” “Asyik!” “Ayo minum,” katanya. Saya teguk minuman. Dia juga. Bersoda. Lalu ada yang minta permisi dari lambung saya. Tak bisa saya tahan sendawa. Uakhh.... Mulut saya bau Coca-Cola—juga mulutnya. Saya bayangkan Orwell tertawa di tepi jendela. JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal(-asalan) Medan. M A K L U M A T: karena tulisan ini bisa jadi menyinggung (hati) beberapa—bahkan banyak—orang, bahkan hati saya sendiri, maka saya minta pemakluman kepada nama-nama yang memang tak saya sebutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H