Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

“Saya Anarkis, tapi Saya Benci Kekerasan!”

30 Maret 2012   06:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:16 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333089094955395935

[caption id="attachment_169075" align="aligncenter" width="550" caption="repro lukisan agus suwage (sumber:whiteboardjournal.com)"][/caption] BUNG, AKSI PENOLAKAN KENAIKAN harga BBM di berbagai daerah berakhir anarkis, begitu kita baca dan lihat di media saat ini—misalnya di TV. Lalu kita disajikan gambar (oknum) mahasiswa dan (oknum) aparat terlibat saling baku hantam. Suara tembakan terdengar. Kemudian terlihat juga ada kobaran api—sebuah mobil polisi terbakar. Anarkis, yang saya garis bawahi di atas, dapatlah diartikan sebagai aksi kekerasan, melanggar hukum, atau pun vandalisme. Memang demikianlah arti anarkis yang diamini media—dan banyak kalangan saat ini. Tak salah juga karena KUBI kararangan WJS. Poerwadaminta, yang sering dipakai sebagai acuan berbahasa di negeri ini, pun menyatakan kalau lema anarki berarti: (1) tidak ada undang-undang; tata tertib dan pemerintahan (2) kekacauan (dalam negara dan sebagainya). Sedangkan lema anarkis dalam kamus itu berarti orang yang melakukan tindakan anarki. Dalam kamus itu memang tidak ada lema anarkisme. Bung, Lalu saya teringat Anda. Satu kali kita, semoga Anda tak lupa, pernah terlibat diskusi di sebuah dangau di tengah sawah sembari menikmati matahari sore yang bakal tenggelam ke Barat. Waktu itu Anda bilang, “Saya anarkis, tapi saya benci kekerasan!” “Loh, kok bisa?” tanya saya, “bukankah anarkis itu sendiri sudah sebuah kekerasan—melanggar hukum?” “Pasti Anda kebanyakan nonton TV,” tuduh kawan itu. “Maksud, Bung?” “Ya, TV dan media pada umumnya sering menggantikan kata kekerasan, pelanggaran hukum, vandalisme, dslb-nya dengan kata anarkis. Terlebih ketika terjadi aksi massa yang berakhir bentrok!” “Terus apa yang salah?” “Kalau saja mau melihat referensi lain, anarkisme tidaklah demikian maksudnya. Di sebuah ensiklopedia misalnya, tertulis: anarkisme, dalam sosiologi dan ilmu kenegaraan: suatu tata-masyarakat yang menghendaki tercapainya keadilan-sosial berdasarkan kebebasan dan kemerdekaan perseorangan (individu) yang sebesar-besarnya dengan tidak ada paksaan dari suatu pimpinan sekalipun,” Lalu kata Anda, “Paham ini sudah tua sekali. Zeno, pendiri aliran Stoa (347-270 SM), telah mengajar pahaman anarkisme ini sebagai cita-cita tujuan perkembangan umat manusia yang paling tinggi. Anarkisme ini maksud-tujuannya baik dan luhur. Aliran ini berpendapat, bahwa manusia pada asalnya baik dan dirusak karena adanya negara yang menghalang-halangi perkembangannya. Karena itu negara harus dibasmi dengan revolusi jiwa. Jiwa manusia harus berkembang sedemkian luhurnya, sehingga sendi-dasar pergaulan dan penghidupan masyarakat adalah bakti dan kasih sayang: berbakti kepada Tuhan dan kasih sayang sesama manusia. Jika manusia telah sedemikian tinggi budinya, maka tak perlu lagi ada agama, tempat ibadah, pemerintahan dsb... uang tak perlu, karena orang-orang saling membantu dan saling memberi barang-barang kebutuhan,” “Ini bisa dilihat di Ensiklopedia Indonesia yang disusun Prof. DR. Mr. T.S.G Mulia dan Prof. DR. K.A.H. Hidding, yang diterbitkan N.V Penerbitan W. Van Hoeve Bandung, tapi Anda bisa juga melihat referensi lain yang banyak bertebaran di internet—lengkap dengan varian-varian dan tokoh-tokohnya” “Tapi tanpa negara kita akan berperang semua lawan semua,” kata saya mengingat pelajaran sekolah saya, “bukankah kita akan chaos?” “Ya, itu doktrin orang yang membela negara,” kata Anda. “Terus sekarang Anda percaya dengan anarkisme?” tanya saya. “Ya!” kata Anda, “tapi saya benci dengan kekerasan,—bahkan kekerasan dengan alam dan hewan, dalam waktu dekat saya akan menjadi seorang vegan—tidak memakan daging,” kata Anda lagi. "Menjadi seorang vegan mungkin Anda bisa, tapi percaya bahwa anarkis bisa diwujudkan bukankah itu utopi--tak mungkin?" "Ya, itu juga kata Anda yang mendukung adanya negara--adanya struktur!" “Salut!” kata saya—menghormati ideologi baru Anda. Matahari benar-benar tenggelam, dan kita pulang ke rumah masing-masing. Bung, Hari itu saya mendapatkan pengetahuan baru. Walaupun tak paham dengan semua yang Anda kuliahkan, tapi saya tak mau lagi terjebak dengan bahasa media yang menyamakan aksi kekerasan dan vandalisme dengan anarkisme. Ya, bagaimana mungkin orang yang cinta dengan sesama manusia, cinta dengan alam—bahkan dengan hewan—melakukan kekerasan terhadap sesama manusia? Melakukan pengrusakan? Begitu logika saya sekarang. Dan catatan saya, aksi kekerasan tetap aksi kekerasan. Dan aksi kekerasan yang dilakukan misalnya mahasiswa saat menolak kenaikkan BBM tak lain sekedar spiral kekerasan kalau kita mengamini Dom Helder Camara. Kekerasan negara (misal menaikkan BBM yang membuat rakyat semakin terjepit) dibalas dengan kekerasan oleh rakyat—yang diwakili oleh mahasiswa dengan melakukan, katakanlah pengrusakan fasilitas publik. Kekerasan berbalas kekerasan sehngga membentuk spiral kekerasan yang semakin membesar. Lagi pula di negeri ini mungkin sudah mengamini: kalau tak ada kekerasan, bagaimana bisa aksi dan tuntutan kita dilihat dan didengarkan? Karena memang penguasa di negeri sudah buta dan tuli. Dan di aksi itu tak sekalipun ada mahasiswa yang ingin menegakkan anakisme, bahkan mereka membawa bendera organisasi masing-masing—ingat saja seorang anarkis tak percaya dengan organisasi—dengan struktur. Bung, Bisa jadi nasib anarkisme memang lebih buruk daripada komunisme di bumi ini. Kalau Marx pernah bilang (stigma) komunisme adalah bagai hantu, bisa jadi anarkisme telah terstigma sebagai iblis—musuh umat manusia. Medan, 30 Maret 2012 Salaman, JEMIE SIMATUPANG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun