Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rahasia di Bawah Keset Kaki Mesjid

20 September 2011   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_131113" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Dolah bisa mendatangkan uang dari bawah keset kaki mesjid (sumber:alinasitha.blogspot.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG /i/ KEKAGUMAN ORANG-ORANG KAMPUNG itu bertambah-tambah kepada Pak Dolah. Beberapa orang bahkan sekarang menggelarinya syekh: Syekh Dolah. Gaya benar. Ini bermula dari cerita seorang warga yang hari itu meminta bantuan pada Pak Dolah—ketika ia berada di mesjid. “Pak Dolah, bisa pinjamkan awak duit Rp.20 ribu. Perlu sekali. Beras di rumah saya habis, dan anak-anak saya sedang merengek minta makan,” kata orang itu pada Pak Dolah. “Mintalah kepada, Tuhan!” “Caranya!” “Akh, sekarang sudah masuk dzuhur, mari kita sholat dulu,” Orang itu pun turut saja. Ia sholat, berimam dengan Pak Dolah. Padahal sehari-hari pun ia tak pernah sholat, paling pun setahun dua kali, ketika Idul Fitri dan Idul Adha, tapi demi pinjaman Rp.20 ribu, ia ikut saja—apa boleh buat. Selesai sholat, orang itu bertanya lagi pada Pak Dolah. “Saya sudah sholat, apalagi yang harus saya lakukan,” “Berdoalah,” “Berdoa?” “Ya, berdoa!” “Saya tak pandai berdoa!” “Doakan saja apa yang ingin kau pinta,” Orang itu pun lalu berdoa. “Ya, Tuhan. Berikanlah hamba rezeki hari ini. Beras hamba habis. Tolong berikan hamba pinjaman uang Rp.20 ribu. Kalau sudah ada, nanti saya ganti. Amin,” “Kau sudah berdoa,” “Sudah!” “Sekarang berdirilah, pergilah ke pintu mesjid, di sana ada keset kaki, singkaplah keset itu, dengan izin Tuhan, rezekimu ada di situ,” Percaya tak percaya orang itu melangkah. Ragu. Tiba di pintu mesjid, orang itu berhenti, dan memandang lagi kepada Pak Dullah. Pak Dullah mengangguk. Orang itu lalu menunduk, dan menyingkap keset kaki bertuliskan welcome itu. Dan ajaib, di sana ada uang, bukan Rp.20 ribu, malah Rp.100 ribu. Ragu-ragu orang itu menunjukkan uang itu kepada Pak Dullah. “Ya, bawalah uang itu pulang, beli beras, dan berilah anak isterimu makan,” Sejak itu tersiarlah kabar dari mulut ke mulut, Pak Dullah bisa mengeluarkan uang dari bawah keset kaki mesjid. /ii/ BANG KASMIN HARI ITU merasa kesal sekali. Seharian bekerja, tapi baru tiga orang saja yang menumpang becaknya. Bolak-balik dikeluarkan isi kantongnya, dan menghitung. “Sembilan ribu,” katanya dalam hati. Menjelang Isya, karena naga-naganya tak ada lagi yang bakal menumpang, Bang Kasmin meninggalkan mesjid raya Medan, tempat dimana ia biasa mangkal. Ia kayuh becaknya menuju rumahnya yang ada di pinggiran Sungai Deli—wilayah kumuh yang sudah ditempati Bang Kasmin turun temurun. Setengah perjalanan, ia tertegun, dan menghentikan becaknya. Di jok penumpang, ia melihat sebentuk kertas menyerupai uang ratusan ribu. Merah warnanya. Tak percaya dengan matanya, Bang Kasmin lalu mengambil uang itu, meraba-rabanya, dan memastikan itu benar-benar adalah uang. “Yang mana ini uang siapa?” pikirnya. “Pasti uang salah seorang penumpang,” sambungnya. Tapi ia tak kenal seorang pun diantaranya penumpangnya tadi. Mereka bukan langganan Bang Kasmin. Tapi bagaimana pun uang ini harus dikembalikan kepada pemiliknya. Saya akan antar ke alamat dimana penumpang-penumpang tadi minta antarkan, pikir Bang Kasmin. Akhirnya, malam itu Bang Kasmin putuskan pergi ke tiga alamat, dimana ia hari ini mengantarkan penumpangnya. Alamat pertama berada di sebuah gang sempit. Keadaan rumahnya sudah sunyi. “Permisi!” Bang Kasmin sambil mengetuk-ngetuk pagar. Tak ada jawaban. “Permisi!” Hening. “Permisi!” “Siapa?” seorang—tampaknya perempuan—mengintip di balik gorden jendela. “Yang mana saya Bang Kasmin. Tukang Becak!” “Perlu apa?” “Saya mau mengembalikan uang. Apakah ada yang ketinggalan uang di becak saya?” “Tak ada!” Bang Kasmin lalu meninggalkan rumah itu. Lalu beralih ke alamat yang lain. Tapi tak seorang pun mereka mengaku ketinggalan uang di becak Bang Kasmin. Malah orang terakhir yang didatanginya menasehati: “Barangkal itu rezeki dari Tuhan untuk Abang, Abang ambil sajalah,” Bang Kasmin sempat termakan juga. Barangkali iya, pikirnya. Ini rezeki Tuhan, apalagi hari ini ia hanya mendapat uang sedikit sekali, paling pun cukup beli beras sekilo + ikan asin 1 ons. Tapi di tengah perjalanan pulang, ia gundah lagi. Ini bukan milik saya, mesti dikembalikan. Tapi kepada siapa? Polisi? Hm, Bang Kasmin, kerap tak percaya sama polisi,tambah lagi tak pernah ia dengar cerita baik tentang polisi ketika mereka ngobrol sesama tukang becak. Ada yang bilang polisi tukang terima suap, tukang rekayasa perkara, tukang kompas, dlsb. Seseorang kawannya pernah bercerita dengan gundah, ketika pentil becaknya dikempeskan oleh polisi dengan tuduhan melanggar lampu merah. Padahal menurut kawannya itu lampu masih hijau, cuma saja ia terjebak kemacetan di simpang lampu merah itu, dan lampu berubah merah. Sial benar, kata kawannya. Ia juga ingat benar joke—Bang Kasmin tak tahu siapa penciptanya—yang sering mereka ulang-ulang, kalau-kalau di negeri ini polisi jujur itu hanya ada tiga: Pak Hoegeng, patung polisi, dan terakhir polisi tidur. “Yang mana kalau-kalau diserahkan ke polisi, jangan-jangan dimasukkan kantong mereka sendiri, kan lumayan seratus ribu, bisa beli 7-8 bungkus rokok,” gerutu hati Bang Kasmin. Tiba-tiba Bang Kasmin ingat Tuhan. Entah dari mana pikiran itu berasal. Dalam hati ia bergumam: “Apa tak baiknya kalau uang ini diserahkan kepada Tuhan?” Kan, dia maha adil, maha bijaksana. Tak mungkin nanti ia mengambil uang ini, seperti polisi-polisi itu, pikir Bang Kasmin. “Tapi dimana menemui Tuhan?” “Mesjid?” “Ya, kan mesjid rumah Tuhan!” Bang Kasmin lalu membelokkan becaknya ke arah mesjid. Jam sudah menunjukkan dini hari. Sunyi sekali di mesjid itu, tak seorang pun tinggal di sana. Awalnya Bang Kasmin berniat meletakkan uang itu di dekat tempat imam sholat, tapi karena pintu mesjid terkunci, ia lalu meletakkkan uang itu di bawah keset kaki mesjid. “Aman!” pikir Bang Kasmin. Ia lalu mengayuh becak menuju rumahnya, dan tak memikir tentang uang seratus ribu itu—sudah urusan Tuhan. /iii/ Pak Dolah, yang tiap pagi biasa membersihkan mesjid, kaget mendapati uang Rp.100 ribu di bawah keset kaki. Ia tak tahu siapa meletakkannya di sana. Siangnya ketika seseorang datang kepadanya untuk meminjam uang, entah pikiran darimana Pak Dolah menyerahkan uang yang ada di bawah keset kaki itu kepadanya. Dan sejak itu Pak Dolah dikenal orang suci yang bisa mengeluarkan uang dari bawah keset kaki. Pak Dolah sudah menerangkan bahwa uang itu memang sudah ada di bawah keset kaki sejak semula—seseorang telah meletakkannya. “Siapa yang meletakkan?” tanya orang. “Saya tak tahu,” “Akh, berarti memang Pak Dolah yang telah meminta kepada Tuhan, dan Tuhan meletakkannya di sana,” kata orang. “Tidak!” Tapi tak seorang pun mau mendengar itu, mereka lebih percaya dengan cerita yang mereka reka sendiri—lebih heroik sekaligus menghibur, di tengah tontonan di TV yang kadang memang membosankan. Bang Kasmin tersenyum mendengar cerita yang berkembang, dan merasa tak salah meletakkan uang itu di bawah keset kaki rumah Tuhan—bukan di kantor polisi. [*]

Medan, Sept 2011

JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan. catatan: Beberapa bagian terinspirasi dari kisah Al-Hallaj, sufi yang terkenal dengan ungkapan, "Ana al-haq"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun