[caption id="attachment_124941" align="aligncenter" width="640" caption="Zaman edan! Dengan uang orang bisa membeli segalanya! Bahkan harga diri! (repro karya joko pekik, sumber:indonesiaartnews.or.id)"][/caption]
Oleh JEMIE SIMATUPANG
ANDA KIRA INI FIKSI? ANDA salah besar. Kecele, kata Orang Jawa. Kisah yang bakal saya ceritakan di sini sudah benar-benar terjadi di kota dimana saya lahir dan dibesarkan; Kota M (Anda pernah ke Kota M yang terkenal Kue Bika-nya itu? Kalau belum sekali-kali datanglah ke kota saya ini dan jangan lupa kabari saya). Memang sich, kisahnya lebih kurang mirip cerpen yang acap muncul di koran edisi minggu terbitan ibu kota (hahaha…, kalau ini sekedar menghibur diri terhadap keinginan yang tak kesampaian), tapi itu tak mengurangi fakta yang bertebar dalam cerita saya ini nanti.
Saya tak harus membubuhkan materai Rp.6.000,- dan menekan cap jempol atau menggoreskan tanda-tangan di lembaran cerita ini kan? Benar, memang tidak, tidak perlu selegal formal begitu untuk mengklaim kebenaran sebuah cerita. Kita hanya perlu meresapinya dan menghayatinya.
Kalau begitu, kita mulai saja ceritanya.
Di bumi manusia ini, jalan hidup membawa orang ke nasib yang berbeda-beda. Lain-lain. Tak ada yang identik dan sama benar satu sama lain. Ada yang kaya, ada pula yang miskin. Ada yang jadi presiden, banyak yang jadi rakyat jelata belaka (yang terakhir ini seperti saya ini). Ada yang baik, ada pula yang jahat. Yang jahat itu pun lain-lain juga. Ada yang sekedar perampok ada pula yang pencopet. Ada yang koruptor dan ada pula yang sekedar maling ayam.
Bahkan perbedaan itu tak bisa juga ditampik, walaupun dua anak manusia punya kesamaan tahun lahir—bahkan bulan dan tanggalnya. Jangan percaya astroloagi—setidaknya selama Anda membaca cerita saya ini. Pramoedya A. Toer, sastrawan yang saya kagumi itu, (tabik saya untuknya), pernah menyitir Thomas Aquinas, seorang filosof, dalam salah satu Tetralogi Buru-nya. Aquinas, sebagai ditulis Pram, satu kali pernah melihat dua orang yang lahir pada tahun, bulan, hari dan jam, malah tempat yang sama. Tapi nasib apa yang membawa masing-masing anak yang baru lahir itu di kemudian hari kelak? Yang satu jadi tuan tanah besar, yang lain justru jadi budaknya!
Setidaknya begitulah dengan dua orang Rahmat yang saya ceritakan ini. Lihat: bahkan nama mereka persis sangat: R a h m a t. Sama benar. Tak beda satu huruf pun. Layaknya orang yang diceritakan Aquinas, dua Rahmat lahir di bulan dan hari yang sama, walaupun jam dan menit yang berbeda. Rahmat Satu—sekedar membedakannya dengan Rahmat yang lain—lahir di rumah sakit kenamaan di Kota M, dibantu dengan dokter spesialis yang biasa menangani proses kelahiran anak-anak pejabat dan orang kaya di kota kami. Tangis pertamanya terdengar ketika matahari sedang panas-panasnya di atas kepala. Kelahiran Rahmat Satu lancar-lancar belaka tanpa satu penghalang apa pun.
Sedangkan Rahmat Dua, lahir di sebuah gubuk di tepi Sungai Deli. Juga di Kota M. Proses kelahirannya dibantu seorang dukun beranak yang biasa menangani persalinan masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai bersejarah di Kota M itu. Rahmat Dua susah bukan kepalang mbrojolnya. Sudah ditunggu 12 jam setelah pecah ketuban tak juga lahir. Rahim ibunya sudah kering. Dukun beranak sudah sarankan agar ibu Rahmat Dua dibawa ke klink saja agar ditolong oleh dokter atau bidan. Ia tak yakin lagi bisa membantu. Tapi suami-isteri orang tua Rahmat Dua bertahan menolak, mereka takut tak bisa membayar persalinan. Terlebih sudah sering mereka melihat dan mendengar tetangga yang bayinya disandera rumah sakit karena tak mampu membayar uang persalinan.
Akhirnya dukun beranak paruh baya itu mengeluarkan segenap pengetahuannya, mulutnya komat-kamit, sambil menghisap sebatang rokok menyan, dan tak lama kemudian, ketika adzan maghrib terdengar berkumandang, akhirnya Rahmat Dua lahir juga.
Mari melihat Rahmat Satu kembali. Ia hidup dengan kasih sayang berlimpah dari orang tuanya. Berlebihan malah. Semua kebutuhannya dipenuhi dan dituruti belaka oleh orang tuanya tanpa terkecuali. Rahmat Satu anak yang pertama punya gamewatch di Kota M, ketika benda itu belum lagi di pasarkan di sana. Orang tuanya terpaksa terbang ke Kota J sekedar membelikan mainan itu, setelah Rahmat Satu merengek minta dibelikan benda itu sewaktu ia dan keluarganya melihat seorang anak memainkannya dalam sebuah film yang mereka tonton di bioskop di Kota M.
Rahmat Dua sebenarnya tak kurang juga kasih sayang orang tuanya. Tapi karena mereka miskin, maka Rahmat Dua sering ditinggalkan sendiri oleh orang tuanya di rumah, ketika mereka berkeliling kota M mencari barang bekas dengan mendayung becak barang, yang merupakan alat produksi rumah tangga mereka satu-satunya; tanpa itu, tumpaslah mereka. Rahmat Dua juga tahu diri, ia tak minta yang aneh-aneh dari orang tuanya. Ia sudah puas bisa bermain dengan sebatang pohon pisang, menghayutkan diri di sepanjang aliran Sungai Deli yang rupanya kalau terus detelusuri alirannya bersatu dengan Sungai Babura, tepat di daerah dimana dahulu Patimpus pertama kali menamakan daerahnya Kota M.
Rahmat Dua sudah sangat senang ketika pulang-pulang orang tuanya menghadiahinya sebuah permen heks berikut dengan sebuah mobil-mobilan yang rodanya hilang satu.
Ketika beranjak 6 tahun, Rahmat Satu dimasukkan ke sekolah dasar swasta ternama di Kota M—sebelumnya pun Rahmat Satu sudah dimasukan ke TK. Rahmat Satu ini tak pintar benar, boleh dibilang bodoh malah. Tapi karena orang tuanya punya banyak uang, ia tampak seperti murid terpintar di sekolah. Uang bisa mengubah segalanya. Tak terkecuali ketika Rahmat Satu dinyatakan tak naik kelas, orang tuanya langsung melobby kepala sekolah, dan akhirnya Rahmat dinaikkan, bahkan dengan nilai yang tak jauh berbeda dengan ranking 1 di kelas meraka.
Juga tak jauh beda ketika Rahmat mengikuti ujian akhir. Nilai-nilai merahnya dirombak semua. Juara umum di sekolahnya boleh bangga karena namanya ditorehkan di papan pengumuman sekolah, tapi secara diam-diam Rahmatlah yang sebenarnya yang nilainya lebih tinggi dibandingkan juara umum tersebut, dengan begitu ia bisa melanjutkan ke sekolah pavorit di Kota M. Begitulah perjalanan pendidikannya. Sampai akhirnya Rahmat Satu, berkat koneksi orang tuanya, mendapatkan satu kursi di universitas tua ternama di Kota J tanpa proses ujian yang benar.
Akan halnya Rahmat Dua tidak begitu. Ia tak masuk TK. Tentu saja karena orang tuanya tak sanggup men-TK-annya. Rahmat nanti langsung SD saja ya, kata orang tuanya, yang langsung disambut gembira oleh Rahmat Dua, karena dengan begitu ia lebih banyak waktu bermain-main. Ketika masuk SD pun umurnya sudah mencapai 9 tahun. Kawan-kawannya yang lain sudah duduk di kelas 3. Rahmat Dua pun nampaknya tak suka bersekolah, ia tak pernah mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya di kelas. Rahmat Satu lebih suka bermain di Sungai Deli, terlebih ketika melompat dari sebuah jembatan melakukan gerakan salto dan mendarat di bagian dalam sungai yang kini penuh sampah dan limbah itu.
Cuma hitungan bulan saja, akhirnya Rahmat keluar dari sekolah. Saya tak betah, katanya. Orang tuanya juga tak memaksa, terlebih ia juga kewalahan untuk membiayai sekolah Rahmat Dua; ada saja pengeluarannya tiap minggu; dari uang buku sampai uang buat ketrampilan ini dan itu.
Akhirnya Rahmat Dua pun ikut orang tuanya bekerja, mengumpulkan barang bekas di sepanjang jalan Kota M. Ia sangat senang ketika berada di atas becak bersama keluarganya, melihat gedung-gedung tinggi di Kota M yang kokoh-kokoh, walaupun kadang tampak angkuh, seangkuh Satpam-nya yang sering mengusir mereka ketika mengais-ngais di tempat pembuangan sampah di gedung-gedung menjulang itu.
“Kami tak mencuri, kami cuma mengambil botol X,” selalu kata orang tua Rahmat. X dimaksud adalah merek sebuah minuman kemasan.
“Tidak! Tidak! Pergi sana! Semalam juga begitu, tapi kemudian gembok pagar kami hilang, dan gaji saya juga yang harus dipotong,”
Keluarga itu pun terpaksa pergi, terlebih satpam tersebut sudah mulai mengacung-acungkan pentungannya.
***
Tigapuluh tahun berlalu. Dua Rahmat dari Kota M ini kini sudah dewasa. Rahmat Satu sudah menikah dengan seorang wanita anak pejabat di Kota J. Mereka sudah memilik 1 orang anak. Rahmat yang ini pun sudah tak kalah kaya pula dengan orang tuanya dulu. Lain dengan orang tuanya yang pengusaha, Rahmat berkarir di politik (walaupun punya beberapa perusahaan pemberian ayahnya). Sekarang ia menjadi anggota dewan, mewakili Kota M, kota kelahirannya.
Dengan uang yang dipunya, Rahmat Satu membangun dinasti politiknya. Kemana-mana ia tebar uang, untuk kemudian orang-orang mengelukannya. Hidup Rahmat! Hidup Rahmat! Rahmat untuk RI-1! Dan segala bentuk puja-puji lain. Uang pun ditabur lagi. Termasuk ketika ia akhirnya terpilih menjadi ketua umum di partainya, ia habis uang miliaran rupiah. Kini karirnya untuk menjadi presiden pun terbuka besar. Selangkah lagi. Terlebih ada kebiasaan di partainya ketua umum adalah orang yang akan dicalonkan menjadi presiden pada tiap pergantian kepala negara dan pemerintahan.
“ Semua bisa diatur kalau kita punya ini,” kata Rahmat Satu sambil menyatukan dan menggerak-gerakan ujung telunjuk dan jempolnya.
Air jatuh tak jauh dari cucuran.
Juga Rahmat Dua. Ia tetap miskin seperti orang tuanya yang kini telah meninggal karena sebuah kecelakaan—becak mereka ditabrak oleh sebuah mobil, orang tunya tak tertolong, untung Rahmat dua, yang waktu itu usianya 10 tahun, ditolak ibunya keluar dari becak pada detik-detik kecelakaan akan terjadi, sehingga ia selamat dari lindasan mobil itu. RahmatDua kini yang menempati gubuk orang tuanya dulu.
Ia juga sudah berkeluarga; menikah pada umur 19 tahun. Sekarang anaknya sudah ada 3, yang harus diumpani mulutnya tiap hari. Ditambah lagi satu mulut isterinya, mulut yang selalu mengomel, kalau saja Rahmat pulang tak membawa uang cukup untuk belanja.
“Tiga belas ribu bisa dibuat beli apa, Bang!?”
“Cuma itu yang awak dapat, Dek!”
“Bohong kau, Bang. Berjudi Abang Kan? Atau udah main serong pulak Abang sekarang!?”
Kalau sudah begitu Rahmat Dua hanya diam. Ia memilih turun dari rumah panggungnya, dan duduk di pinggir Sungai Deli. Berlama-lama di sana, mengenang masa kecilnya dengan sebatang pohon pisang.
Lebaran menjelang. Rahmat Dua merasa hidupnya tambah susah saja. Barang bekas yang dikumpulkan semakin tak ada saja harganya. Tauke berdalih pabrik pengolahan sedang terbakar, jadi barang bekas yang akan didaur ulang lagi itu kurang permintaannya. Padahal kebutuhan rumah tangga Rahmat Dua menjelang lebaran bertambah 200 prosen. Anaknya yang tiga itu, sudah merengek-rengek minta dibelikan baju lebaran. Isterinya apa lagi, juga minta dibelikan gelang segala, sebagai pengganti gelangnya yang pernah dijual ketika mereka kehabisan uang di awal-awal pernikahannya dulu.
Tambah lagi, isterinya juga menuntut agar tahun ini mereka bisa pulang ke tempat kelahiran isterinya di Kota P. Sudah 5 tahun kita tak kesana lagi, saya rindu dengan keluarga di sana, kata isterinya.
Rahmat Dua mau pecah kepalanya. Pusing. Kini tiap malam, ia memilih berlama-lama di pinggir Sungai Deli, daripada harus mendengar omelan dan rengekan anaknya yang minta dibelikan baju baru karena kawan-kawannya yang lain, anak tentangga, sudah dibelikan baju baru oleh orang tuanya. Dari mana saya dapat uang, pikir Rahmat Dua selalu, sambil melemparkan batu-batu kecil ke sungai yang selalu meluap tiap tahun dan merendam rumah mereka itu.
Satu malam, selepas duduk merenung di pinggir sungai, Rahmat Dua melangkah, pergi ke arah pusat kota. Ia, dengan pertimbangan yang panjang, telah membuat sebuah keputusan besar yang akan merubah nasibnya. Malam-malam menjelang lebaran semakin ramai saja. Pusat perbelanjaan penuh di sana-sini. Juga tempat jajanan.Rahmat berhenti melangkah, ketika sampai di sebuah simpang, tak jauh dari pusat jajanan. Banyak kereta (bahasa Kota M: sepeda motor) orang yang menikmati kuliner terparkir di sepanjang jalan dekat simpang itu. Rahmat duduk di atas salah satu kereta. Matanya mengawas-awasi, sepertinya ia tak mau dilihat orang kalau sedang berada di sana.
Tak seorang pun memang yang memperhatikannya, semua sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Rahmat mengeluarkan sebuah kunci berbentuk huruf T dari belakang bajunya, dengan gemetar dimasukkan ke lobang kunci, dan memutarnya. Setelah itu, ia mengengkol kereta itu, tapi mesin kereta tak hidup. Rahmat kelabakan. Ulahnya dicurigai seorang tukang parkir. Sadar apa yang terjadi, tukang parkir itu berteriak.
“Maling! Maling! Maling!”
Kontan teriakan itu membuat geger orang-orang yang berada di sana, termasuk yang sedang menikmati makanan di pusat jajanan itu. Mereka berhamburan ke arah Rahmat yang sedang bengong tak tahu berbuat apa. Rahmat tak bisa lari. Ia tertangkap basah. Beberapa orang sudah melayangkan pukulan ke wajah Rahmat, “Jadi kau yang maling kereta selama ini, hei!”. Lelaki itu sudah ampun-ampun. Tapi tak seorang pun ada yang peduli. Malah adegan kekerasan itu semakin meggila, sampai seseorang berteriak, “Bakar! Bakar! Bakar!”
Entah dari mana datangnya, sederigen bensin disiramkan ke tubuh Rahmat Dua. Seseorang yang lain menyulut korek api dan melemparkannya ke tubuh lelaki itu. Api menyambar. Rahmat Dua meraung-raung dan berlari-lari sepanjang jalan, minta tolong, sampai akhirnya terjatuh di persimpangan jalan, kejang-kejang, dan akhirnya tak bergerak.
Rahmat Dua hangus terbakar sebelum polisi sampai di tempat kejadian.
Saya melihat kejadian ini pemberitaan di sebuah TV swasta ibukota—sebelumnya pun media online tempat saya bekerja memuat reportase saya tentang kejadian itu. Tiga paragraf saja, padahal saya menulisnya panjang lebar, niatnya sebagai pembelajaran bagi banyak orang: inilah yang terjadi di negeri ini. Saya kenal Rahmad Dua, karena pernah satu SD dengan saya, walaupun, sebagai saya ceritakan tadi, keluar sebelum mengikuti ujian caturwulan. Berita di TV pun, layaknya reportase yang saya tulis, sambil lalu saja—terapit dengan riuhnya berita-berita politik. Saya hanya bisa bilang, malang benar nasib maling di negeri ini. Tragis. Terlebih setelah berita tentang Rahmad Dua, muncul pula berita tentang persidangan Rahmat Satu dengan agenda pembacaan vonis. Rahmat Satu konon dituntut jaksa dengan sangat meyakinkan telah melakukan politik uang ketika terpilih menjadi ketua umum di partainya. Terlebih lagi, uang yang digunakan berasal dari APBN yang notabene uang rakyat.
Kasus ini mencuat menjadi isu nasional dan dibincangkan oleh publik beberapa bulan belakangan. Pimpinan redaksi di tempat saya bekerja di Kota J menugaskan saya untuk menginvestigasi jejak langkahnya di Kota M ini, dan seperti fakta di ataslah yang saya dapat dari keluarga, orang terdekat, kawan-kawan, dan tetangga Rahmat Satu di Kota M. Kesuksesannya penuh kebusukan. Tapi bagai makhluk tak berdosa, Rahmat Satu selalu tampil di TV dengan senyumannya. Ketika wartawan mencecarnya dengan banyak pertanyaan seputar kasus yang menimpanya, Rahmat Satu tenang-tenang saja.
“Ini negera hukum. Fakta hukum itu tak bisa katanya-katanya. Kita lihat saja nanti di pengadilan,” kilah Rahmat Satu selalu.
Tapi hari ini saya dibuat ternganga dan mengerti dengan apa yang dinamakan hukum dan keadilan di negeri ini. Rahmat Satu divonis bebas oleh majelis hakim, dan berhak namanya direhabilitasi karena tak terbukti melakukan semua kejahatan yang telah dituduhkan.
Dua Rahmat, dua maling, satu dibebaskan yang lain dibakar hidup-hidup! [*]
Medan, 24 Juli 2011
JEMIE SIMATUPANG tukang kombur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H