Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dan Bang Kasmin pun Membaca Zarathustra

18 Juli 2011   10:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_119978" align="aligncenter" width="625" caption="hidup hanya sekedar numpang naik becak! (sumber:omtatok.wordpress.com)"][/caption]

“Untuk apalagi disuntuki dunia ini,” katanya, “hidup kan cuma sekedar singgah numpang minum. Mampir ngombe. Bahkan awak lebih suka bilang sekedar numpang tertawa.”

Oleh JEMIE SIMATUPANG

NAMANYA PENDEK. Kasmin. Tak ada nama keluarga apalagi marga—sebagai kebanyakan orang yang tinggal di Medan. Namanya yang cekak itu jauh kesan dari Medan, lebih ke Jawa daripada Batak ataupun Melayu. Benar pula. Ia memang keturunan Jawa, namun sejak lahir telah berada di Sumatera sini.

“Orang tua awak dulu kuli kontrak di kebun tembakau Deli. Seperti kebanyakan cerita kuli kontrak dari Jawa sana, mereka tertipu, terjerat hutang yang tak terbayar dengan kebun, tak bisa pulang ke Jawa, akhirnya mereka putuskan tingal disini dan beranak-pinak di sini, saya lahir, dan saya pun sudah juga melahirkan anak di sini,” kata Kasmin mengenang asal-usulnya.

Tentang namanya itu, satu kali ia ceritakan juga, kalau itu diberikan oleh orang tuanya. Konon waktu itu mereka sudah tak bekerja di kebun tembakau deli lagi. Mereka memilih bertani. Satu kali memasuki paceklik yang panjang, tak ada bahan makanan. Ibunya sedang hamil, mengandung Kasmin. Akhirnya di tengah kepapaan, Kasmin lahir.

"Karena keadaan itu, orang tua saya menamakan saya Kasmin, artinya Kas dan Amin. Berharap uang kas selalu mengikuti kehidupan saya. Amin ya Tuhan, hahaha... Ada-ada saja mereka," kata Kasmin terkekeh. Entah benar, entah tidak, saya tak tahu. Mungkin Tuhan dan orangtuanya lah yang tahu, sebab Kasmin pasti juga tidak tahu kebenarannya--karena waktu itu masih jabang bayi.

Kasmin sehari-hari bekerja sebagai penarik becak di seputaran Mesjid Raya Al-Mashun Medan. Becak dayung. Ia kerap mangkal di depan mesjid yang dibangun kesultanan Deli tahun 1906 itu, menawarkan jasanya kepada sesiapa saja yang bersedia diantarkan menuju satu tempat.

“Susah dapat sewa sekarang,” Kata Kasmin, “Orang sudah punya kereta (sepeda motor) semua. Kereta dijual macam kacang goreng. Becak dayung tersingkir, yah yang tinggal, beberapa lagilah yang macam awak ini. Yang lain menukar becak dayungnya jadi becak mesin.”

Pun begitu, Kasmin tak pernah berputus asa. Tak pernah wajah menjelang 50-an tahunnya masam manakala hanya mendapatkan seorang sewa saja dalam sehari—bahkan ketika tak ada sama sekali. Rautnya selalu tersenyum. Berbeda dengan saya yang selalu saja sering berkeluh-kesah, terlebih ketika setoran ke rumah tak mencukupi target, dan akibatnya dapur tak berasap, dan isteri saya pun keluar kata-kata saktinya, “Menyesal awak menikah sama, kau!” Kasmin tidak. Isterinya juga tak pernah berkeluh, ada dimakan, tak ada sama-sama ditahankan.

“Untuk apalagi disuntuki dunia ini,” katanya, “hidup kan cuma sekedar singgah numpang minum. Mampir ngombe. Bahkan awak lebih suka bilang sekedar numpang tertawa.” Walaupun tak pernah pulang ke Jawa, tapi Kasmin banyak juga masih mengamini kebijakan Jawa dalam hidup.

Tak ada penumpang, menurutnya, juga merupakan berkah baginya. Karena menurutnya, ia bisa membaca buku-buku. Tentu saja ini tak lazim, kala tukang becak lainnya memilih tidur, atau sekedar mencari hiburan bermain tuwo (judi) taruhan seribuan, Kasmin memilih duduk berlama di atas becak sambil membolak-balik halaman buku.

“Saya tak pernah sekolah. Belajar membaca pun dari seorang mahasiswa yang kebetulan melakukan penelitian sosial tentang becak dayung. Saya kebetulan jadi salah seorang responden, karena tahu awak tak bisa baca, mahasiswa itu sukarela menawarkan diri mengajarkan saya bagaimana membaca. Dia juga banyak meminjamkan saya buku-buku,” kata Kasmin dua tahun yang lalu, tentang bagaimana ia bisa membaca.

***

SATU WAKTU Kasmin dan becaknya tak nampak di mesjid raya. Para pelanggannya kehilangan. Saya juga kehilangan tempat orang berkeluh kesah. Kabar yang didapat, minggu sebelumnya Sat Pol PP melakukan razia becak mesin. Konon berdasarkan aturan walikota yang sangat, demi mewujudkan Medan menjadi Metropolitan, melarang becak dayung beroperasi seputar kawasan Mesjid Raya.

“Menimbang Mesjid Raya adalah kawasan wisata-sejarah yang pemandangannya tak boleh dirusak oleh becak,” bunyi surat itu yang tertempel di tembok-tembok yang ada sekitar mesjid—yang rupanya lebih merusak pemandangan.

Becak Kasmin pun diangkut menggunakan sebuah truk. Konon katanya akan dihancurkan dan didaur ulang—mungkin hendak dijadikan kereta juga. Kasmin tak terima. Ia lalu pergi ke kantor Pamong Praja, dan berusaha keras merebut kembali becaknya. Petugas tak mengijinkan. Tapi akhirnya ia nekat juga merebut kembali becaknya, yang sebentar lagi dihancurkan oleh buldozer kuning yang terkenal tak kenal ampun itu.

Petugas hanya melihatnya dari kejauhan, bagaimana Kasmin bersaing dengan raungan buldozer. Ia dapatkan becaknya, keadaannya sudah remuk. Ia membuka jok tempat duduk penumpang, dan mengeluarkan tumpukan benda dari sana.

“Syukur, buku-buku ini bisa selamat. Belum selesai saya baca semua lho ini,” katanya sambil melangkah pergi.

Petugas hanya geleng-geleng.

Seminggu kemudian ia sudah nampak lagi di depan mesjid raya. Ia duduk manis serius menatap lembaran buku di atas sebuah becak.

“Becak siapa, Bang Min?” tanya saya.

“Awak lah!”

“Tapi udah dihancurkan, Pamong?”

“Perkara membuat becak apalah susahnya. Tinggal datang saja ke tukang botot, kumpulkan besi-besi, cari ban bekas, pergi ke tukang las, jadilah becak,” kata Kasmin acuh tak acuh karena tak mau kehilangan konsentrasi dengan bacaannya.

“Oo..,” kata saya, “Hm…, baca apanya Bang, serius kali awak tengok!”

“Mana bisa tak serius baca Sabda Zarathustra,” katanya.

“Ulat sutra! Sudah mau bertenak ulat sutra abang sekarang?” tanyaku penasaran.

“Jo Ajo, percuma ngomong sama kau,” katanya, “Tak akan sampai otakmu yang hanya memikirkan bagaiman kerupuk jangekmu bisa laku!”

Bang Kasmin memang selalu mengejek barang dagangannya saya, kalau saja saya tak nyambung dengan apa yang dia bicarakan.

Akh suka hati kau lah, Bang Min.

“Jangek! Jangek! Jangek!” [*]

JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun