Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Totto-Chan ke Pendidikan Kaum Tertindas

7 Juli 2011   05:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_118065" align="aligncenter" width="399" caption="Buku Totto-Chan, edisi Indonesia terbaru diterbitkan oleh Gramedia. Buku yang banyak-banyak menginspirasi! (sumber:aguswuryanto.wordpress.com)"][/caption]

Kita tahu Kapital karangan Karl Marx telah menggerakkan Lenin untuk melakukan revolusi di Soviet dulu—terlepas rezim lenin juga hancur berantakan. Dan di Medan—juga di beberapa kota lain di Indonesia—ada anak-anak muda yang terinspirasi dari buku sederhana Totto Chan dan Pendidikan Kaum Tertindas untuk melakukan sesuatu yang mereka bisa untuk merubah pendidikan yang kian memburuk. Semua sedikit-banyak terinspirasi dari buku.

Oleh JEMIE SIMATUPANG

APA YANG BISA DIBUAT oleh sebuah buku?

Ini kisah nyata. Tahun 80-an akhir. Sekelompok mahasiswa punya kegusaran terhadap persoalan sosial waktu itu, terutama keprihatinan terhadap dunia pendidikan—pendidikan di bahwa rezim Soeharto. Mereka berpikir pendidikan yang ada tak membawa perubahan nyata di tingkat rakyat. Bahkan apa yang mereka pelajari hanyalah jargon-jargon belaka; berbeda dengan kenyataan yang mereka alami sehari-hari. Di sekolah diajarkan kalau Indonesia sudah sejahtera—bahkan menuju era tinggal landas—tapi kenyataannya masih banyak rakyat yang terpuruk dalam kemiskinan.

Lain lagi pendidikan di sekolah hanyalah proses transfer belaka. Anak-anak yang dianggap tak tahu diisi kepalanya oleh pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki guru. Jika saja ada anak yang menolak karena berpikir ia tak butuh, atau apa yang dikatakan guru salah, siap-siap saja dikucilkan.

“Guru waktu itu bak manusia ½ dewa!”

Kegundahan ini kemudian membawa mereka pada kesimpulan: kita harus melakukan sesuatu untuk merubah keadaan ini. Tapi apa? Pendidikan yang bagaimana? Mereka kemudian mencari referensi—di tengah sulitnya menemukan referensi kritis waktu itu, rezim Orde Baru sengaja melarang buku-buku yang punya nilai kritik terhadap kekuasaannya. Akhirnya mereka menemukan buku sederhana bertitel: Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karangan Tetsuko Kuroyanagi (Edisi terbaru diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama).

Buku ini bercerita tentang pengalaman penulis (bernama kecil: Totto-Chan) waktu bersekolah di Tummo Gakuen. Tak seperti sekolah biasanya, gedung Tummo terdiri dari gerbong kereta api yang sudah tak terpakai lagi. Sang Kepala sekolah, Mr. Kobayashi, tampaknya sengaja melakukan ini, menyiratkan: di mana saja kita bisa belajar, tak terkecuali di dalam gerbong kereta api.

Keunikan Tummo, tak sebatas pada gedungnya, juga guru dan mata pelajarannya. Guru yang mengajar di sana tidak saja berasal dari orang-orang yang berbasis pada ilmu pendidikan, tapi juga orang-orang biasa seperti petani. Totto-Chan dkk biasanya belajar di sawah tentang bagaimana menanam sayur yang baik dari seorang petani yang punya ladang tak jauh dari sekolah mereka.

Di sana, anak-anak juga bebas mau belajar apa. Totto-Chan boleh memilih pelajaran seni rupa terlebih dahulu, sementara kawan-kawannya mengambil pejaran yang lain. Tak ada masalah. Dan selama belajar guru hadir bukan sebagai orang yang maha tahu, tapi sama-sama belajar, berdialog, tentang pelajaran apa yang mereka lakukan hari itu.

Begitulah Totto-Chan. Buku ini kemudian menginspirasi mahasiswa-mahasiswa ini, mereka kemudian mendirikan sebuah TK (meminjam musholla yang sudah tak terpakai lagi) di sebuah kawasan kumuh di kota Medan. Masyarakat sekitar tentu menyambut baik TK ini, terlebih sekolah ini tanpa biaya (operasional diperoleh dari sumbangan mahasiswa dan masyarakat yang peduli). Mereka mendaftarkan anak-anak mereka. Secara bergantian, mahasiswa-mahasiswa menjadi guru, mencoba mereflikasi apa-apa yang ada di buku Totto-Chan.

“Kami tak punya silabus seperti TK lain waktu itu. Kami hanya berpikir bagaimana pendidikan ala Totto-Chan bisa kami lakukan,” ujar Taufan Damanik, salah seorang mahasiwa itu satu kali, ketika mengenang apa yang mereka lakukan dulu (kini ia menjadi salah seorang wakil Indonesia untuk duduk di Komisi HAM ASEAN untuk isu anak).

Tak berhenti sampai di sini, mahasiswa-mahasiwa ini kemudian membuat beberapa kelompok dampingan anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh dan pedesaan tertinggal. Mereka biasanya kerap melakukan kegiatan bersama; berdiskusi, berkemah, atau sekedar bermain atau bercakap-cakap bersama.

Referensi mereka juga berkembang. Saat itu mereka juga sudah membaca Pendidikan Kaum Tertindas, yang merupakan karya agung Paulo Freire, seorang pedegog asal Brazilia. Buku ini merupakan kritik Freire untuk pendidikan di Brazil sekaligus menceritakan pengalaman Freire dalam melakukan praksis pendidikan bagi kaum terpinggirkan (bahasa Freire: tertindas) yang ada di negerinya.

Beberapa poin penting dalam buku ini adalah soal tingkat kesadaran manusia, pendidikan model bank, dan pendidikan hadap masalah. Tingkat kesadaran manusia dibagi freire menjadi kesadaran magis, naif, dan kritis. Kesadaran magis adalah kesadaran manusia yang menerima sesuatu atas dirinya sebagai suatu takdir yang tak bisa dirubah, sedangkan kesadaran naif ketika mereka tahu apa sebab nasib mereka begitu, tapi tak mampu merubahnya. Kesadaran kritis ketika mereka bisa menggunakan rasio mereka untuk merumuskan persoalan mereka dan memecahkannya. Bagi Freire, pendidikan sejatinya bisa membawa tingkat kesadaran manusia dari magis, menuju naif, bahkan naik akhirnya menjadi kesadaran kritis bahkan kritiknya kritik (conscientizacao), kalau tidak pendidikan hanyalah sarana pembodohan belaka—pendidikan ala bank semata.

Pendidikan model Bank adalah ketika guru bertindak sebagai orang maha tahu. Dan karenanya ia akan mentransfer—menabung—pengetahuannya yang ada padanya pada murid yang dianggap sama sekali tidak tahu apa-apa. Padahal bisa saja apa-apa yang diajarkan oleh guru sebenarnya tak berguna bagi kehidupan si Murid, semisal apakah perlunya seorang anak nelayan belajar tentang tambang batubara yang tak ada di lingkungannya? Proses transfer inilah yang dianalogikan Freire sebagai gaya bank, ketika seseorang penabung mengisi tabungannya; apalah daya tabungan kecuali menerima apa-apa yang dimasukkan oleh penabungnya.

Tak puas dengan pendidikan model ini, Freire menawarkan pendidikan hadap masalah. Secara sekilas pendidikan ini menawarkan model dimana guru dan murid sama-sama bertindak sebagai subjek, dan sama-sama belajar demi merumuskan dan memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Tak ada yang merasa lebih tahu, guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru. Dengan kata lain: semua orang itu guru.

Buku ini tentu tak sesederhana Totto-Chan. Lebih rumit karena juga bicara soal-soal filsafat pendidikan. Tapi sedikit banyak semangat Totto-Chan juga ada dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas ini. Buku Totto-Chan tampak lebih praksis dibandingkan buku Freire.

Dua buku ini kemudian menjadi buku pegangan bahkan buku wajib bagi mahasiswa-mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan praksis pendidikan tadi. Buku ini memberikan spirit perubahan, terlebih ketika itu pendidikan yang ada tak lain hanya menjadi alat kekuasaan—demi melanggengkan Soeharto di pucuk pimpinan Orde Baru.

***

Yah, mungkin yang mereka lakukan—berkat inspirasi buku-buku itu—belum seberapa. Tak bisa merubah keadaan secara massal. Persoalan pendidikan masih menjadi momok yang tak kunjung selesai di negeri ini. Tapi begitu, tentu tak bisa dinihilkan. Saya sendiri merasa beruntung ketika masa kecil saya bisa berkenalan dengan kelompok ini dan belajar bersama-sama dengan mereka. Sedikit banyak, mereka telah menanamkan semangat untuk kritis pada di dalam diri saya. Saya rindu saat-saat kami bisa menyanyikan lagu anak-anak merdeka bersama. Terutama lagu tentang nilai-nilai pendidikan. Beginilah liriknya:

Sama-sama Belajar sama-sama Bertanya sama-sama Kerja sama-sama Semua orang itu guru Alam raya sekolahku Sejahteralah bangsaku.

Lagunya sederhana, tapi maknanya dalam. Lagu ini karangan Yayak (awalnya tertulis: Yayat, terimakasih atas koreksi Mbak Yayat) Yatmaka, seorang pendidik juga seniman asal Yogyakarta. Saya tak tahu apakah lagu ini tercipta juga terinspirasi dari Totto-Chan dan Pendidikan Kaum Tertindas. Tapi semangat kedua buku itu ada dalam lagu ini.

Hm, buku bisa merubah keadaan. Menggerakkan manusia. Kita tahu Kapital karangan Karl Marx telah menggerakkan Lenin untuk melakukan revolusi di Soviet dulu—terlepas rezim lenin juga hancur berantakan. Dan di Medan—juga di beberapa kota lain di Indonesia—ada anak-anak muda yang terinspirasi dari buku sederhana Totto Chan dan Pendidikan Kaum Tertindas untuk melakukan sesuatu yang mereka bisa untuk merubah pendidikan yang kian memburuk. Semua sedikit-banyak terinspirasi dari buku.

Jangan main-main (baca: sepele) dengan buku! [*]

JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun