Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pahlawan Devisa Ya Kepala Terpisah: Maukah SBY Mengaku Salah?

23 Juni 2011   10:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:14 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_115749" align="aligncenter" width="575" caption="Siapa yang mau sekedar jadi budak di negeri lain? (sumber:khozanah.wordpress.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG SETELAH MENUNGGU SEKIAN LAMA, akhirnya Ruyati dieksekusi mati. Perempuan paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai PRT itu tewas ditebas tajamnya pedang algojo Kerajaan Saudi Arabia. Sebelumnya, sebagai kita baca di media, Ruyati—sebagaimana pengakuannya—membunuh majikannya. Konon ia melakukannya untuk membela diri. Ia ulang-berulang didera majikannya sehingga ia tak tahan lagi dan terjadilah pembunuhan itu. “Majikan saya kerap menyiksa,” katanya sekali pertelepon kepada anak di kampung. Indonesia, negeri asal Ruyati, geger. Rakyat menuntut penguasa bertanggung jawab karena gagal memberikan perlindungan pada Ruyati. Gagal memberikan bantuan hukum kepadanya, tak ada lobby kepada penguasa di sana agar hukuman Ruyati dikurangi, atau usaha apa pun yang membuat Ruyati tak dihukum pancung. Terlebih: Ruyati membunuh karena membela diri—tak ada motif lain. Lebih ironis lagi, SBY, presiden kita itu, tak lama sebelum Ruyati dipancung, berpidato di Jenewa, di podium PBB yang bergengsi. “Indonesia sangat menghargai buruh migran. Mereka adalah pahlawan devisa. Dan pemerintah Indonesia sudah cukup baik melindungi mereka. Dan kami mengajak bangsa-bangsa lain untuk melindungi buruh migran. Bersama kita bisa!” begitu kira-kira kata SBY yang kontan disambut tepuk tangan meriah oleh perwakilan bangsa-bangsa lain. Tapi Ruyati membuktikan lain? Mereka (baca: negara) tak berbuat apa-apa untuk Ruyati. “Slow–slow saja,” kata Orang Medan. Baru heboh bagai orang kebangkaran jenggot ketika Ruyati dipancung. Kasak-kusuk cari kambing hitam lalu mengunjuk hidung orang lain. “PJTKI yang salah, karena memalsukan umur Ruyati, kan mestinya kalau umurnya sudah 50-an tak boleh lagi berangkat?” “Salah Ruyati sendiri, mestinya tak perlu ke Arab Saudi lagi!” “Salah si fulan!” “Filin!” Ya. Ya. Ya. Teruskan saja saling tuding siapa yang salah. Kemenlu tuding Disnaker. Disnaker tuding PJTKI. PJTKI tuding BP2PTKI. BP2PTKI tuding kepala desa. Untung kepada desa tak berani tuding SBY, hahaha.... Biasa begitu. Kan Mochtar Lubis yang wartawan-sastrawan itu pernah bilang sudah jadi watak Orang Indonesia tak mau bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuatnya. *** Ruyati sendiri bukanlah satu-satunya TKI yang berhadapan dengan hukuman di Arab Saudi. Darsem juga menanti dipancung. Untung karena sudah ribut-ribut Kemenlu mau setor uang menebus Darsem, kalau tidak ia menjadi Ruyati berikutnya.  Selain Darsem, konon juga ratusan orang masih terancam hukuman mati di Arab Saudi. “Ya, itu resiko bekerja di sana, hukum Arab Saudi memang begitu!” Hai, Bung. Siapa juga yang mau bekerja jauh-jauh ke Arab Saudi meninggalkan sanak keluarga kalau saja di negeri ini ada pekerjaan yang bisa bikin hidup layak. Tak ada. Terlebih kalau sekedar menjadi PRT. Bayangkan saja kalau misalnya gaji PRT di sini Rp.3.000.000 tiap bulan, lalu untuk apa jauh-jauh ke Arab Saudi dengan gaji Rp.4.000.000,- Tak ada, kan? Persoalan pokoknya adalah: NEGARA GAGAL MENYEDIAKAN LAPANGAN PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI WARGA NEGARANYA. Kan konstitusi kita jelas-jelas menyebutkan tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hak. Dengan begitu maka negara—tanpa syarat—wajib menyediakannya. Oke, negara memang belum mampu. Lagi pula ini hak ekosob yang kovenan HAM sendiri memberikan kelonggaran bagi negara untuk memenuhinya. Boleh bertahap. Oke. Lalu warga negaranya mencari pekerjaan di luar negeri; ke Malaysia, ke Taiwan, ke Hongkong, atau ke Arau Saudi seperti Ruyati, Darsem, dkk. Wow! Bukan main juga, tidak repot-repot sediakan lapangan pekerjaan di negeri sendiri, bahkan mendapat devisa besar-besaran tiap tahunnya dari TKI-TKI ini. Puluhan triliuan loh, Mas Bro. Lalu apa balas jasanya. Tak ada. Bahkan ketika mereka berhadapan dengan hukum di negeri mereka bekerja. Terjera pidana—yang sebenarnya tak mau mereka lakukan. Tak ada, sepanjang kita melihat Ruyati. Mereka tak peduli. Cukup berkilah, “Akh, itu kan ranah pidana, bukan ranah ketenagakerjaan!” Bah! Cara pikir apa lagi ini? Ini bukan soal hukum tenaga kerja atau bukan, Mas Bro, tapi soal bagaimana negara NEGARA MELINDUNGI WARGA NEGARANYA. Apakah negara boleh diam-diam saja ketika ada warga negaranya berhadapan dengan hukum negara asing—terlebih disemana-menakan? TIDAK. Dan ketika Ruyati dipancung, negara menambah daftar kegagalannya: GAGAL MELINDUNGI WARGA NEGARANYA. Kita tak bicara soal Ruyati benar atau salah. Tidak. Tetapi apa yang telah dilakukan negara demi melindunginya. Terlebih apabila mengingat (menimbang, dan memutuskan) orang-orang seperti Ruyati adalah penyumpang APBN yang besar, yang membuat listrik di istana bisa tetap menyala, mobil-mobil dinas bisa jalan kesana-kemari, dan ruang-ruang rapat mereka tetap dingin dihembus AC. Ya, kita boleh sebut ini: i r o n i . Ironi pahlawan devisa yang akhirnya harus merelakan kepalanya terpisah dari badan. Saya kira negara melalui SBY, sebagai orang nomor satu, harus minta maaf kepada Ruyati. Akui kegagalan. Beri santunan, konpensasi, atau apalah namanya. Hitung-hitung ini bisa mendongkrak citra Anda. Katakan pada rakyat Indonesia, “Saya turut PRIHATIN! Saya minta maaf, ...” Saya yakin Anda pandai melakoninya: dan jangan lupa tambahkan sedikit air mata. Selanjutnya lakukan—apa namanya itu—moratorium, ya!? Stop kirim TKI kesana. Apalagi struktur ketanagakerjaan di dua negara ini belum dibenahi. Kenapa tidak? Tambah lagi secara budaya juga banyak orang arab yang memperlakukan pembantunya layaknya budak—kita jadi ingat prilaku jahiliyah ini sebagaimana dikabarkan kitab suci. Menjadi wajar mengapa mereka suka menyiksa pembantunya, ya karena belum lagi dianggap manusia yang utuh—mungkin beberapa derajat saja di atas binatang. Lalu untuk apa kita terus mengekspor pembantu kesana? Susah pasti penguasa tak berani. Takut. Terlebih di negeri ini belum lagi ada lapangan kerja. Terlebih lagi berkuranglah pendapatan negara yang membuat kas-kas mereka semakin buncit, rumah mereka semakin mentereng, dan kekuasaan mereka semakin menggurita. Ya, mungkin kita siap-siapa saja, cerita tentang Ruyati akan terulang lagi! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun