[caption id="attachment_114137" align="aligncenter" width="566" caption="sophie ikut saya kerja, sekarang minta pulang cepat-cepat!--loh, kok tak nyambung? (sumber:toxictattoo.wordpress.com)"][/caption]
Bangsa Indonesia, tulis Yasraf A Piliang satu kali, saat ini sedang berada dalam garis abu-abu, titik ambiguitas, “ketidakpastian moral” (intermedinancy of moral). Batas-batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral menjadi kabur dan simpang siur
Oleh JEMIE SIMATUPANG
SEBUAH KEJAHATAN konon—selalunya—beruntun. Satu kejahatan harus disusul (boleh baca: ditutupi) dengan kejahatan lain. Itulah mungkin akhir-akhir ini kita lihat (dan baca) dan dengar di Gadel, Surabaya.
Awalnya, pada saat ujian berlangsung di sebuah SD, seorang guru memerintahkan kepada seorang murid, berinisial AL, memberi contekan kepada murid lain. Maksud Si Guru mungkin agar murid lain juga mempunyai nilai yang sama dengan AL. Solidaritas. AL sendiri yang memang dikenal sebagai murid yang pintar di kelasnya mulanya tidak sudi dengan perintah guru yang memang aneh itu. Tapi apalah daya seorang murid di depan guru yangbiasanya hadir bak manusia ½ dewa? AL pun menuruti, dan terjadilah contekan massal.
Sepulang ujian, Sang Anak menceritakan kejadian—yang memang aneh—itu kepada orang tuanya. Orang tuanya berang. Wajar. Ia lalu membuat keputusan: melaporkan peristiwa contek massal yang terjadi di SD anaknya kepada walikota. Sejak itu, kasus ini terangkat menjadi isu nasional yang memanas—dan lebar kemana-mana—dan sampai sekarang belum berhasil dikanalisasi dan didinginkan.
Tapi anehnya, terjadi resistensi—perlawananan—dari (sebagian) masyarakattempat di mana AL dan keluarga tinggal (yang juga orang tua murid-murid yang diberi AL contekan). Mereka menilai tindakan orang tua AL tak pantas. Berlebihan. Mereka malah mengusir AL dan keluarga dari kampung—bak, orang yang mendapat sanksi adat karena melakukan kasus asusila. Padahal apa yang dilakukan AL dan keluarga adalah menegakkan kebenaran.
Hiper-Moralitas
Bangsa Indonesia, tulis Yasraf A Piliang, saat ini sedang berada dalam garis abu-abu, titik ambiguitas, “ketidakpastian moral” (intermedinancy of moral). Batas-batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral menjadi kabur dan simpang siur. Tanda-tanda keruntuhan moral itu direpresentasikan melalui aksi-reaksi kekerasan dalam masyarakat. Dari cara melakukan, menyelesaikan dan memandang kekerasan itu dari sudut pandang nilai-nilai (sosial, budaya, keagamaan).
Mungkin itulah yang terjadi di Gadel. Ketika mencontek yang sejatinya adalah tindakan kecurangan tapi dibenarkan oleh guru—orang yang mestinya menjaga nilai-nilai kejujuran—dan dilakukan beramai-ramai. Berjemaah. Hiper-moralitas itu tak berhenti sampai di situ, ketika kasus ini terkuak ke publik karena laporan orang tua Al, masyarakat, alih-alih membela, malah ikut menyalahkan, bahkan sampai terjadi pengusiran.
Ya, atas dasar solidaritas (semu), masyarakat lalu membuat kebenaran-kebenarannya sendiri dan menafikan kebenaran yang sejatinya diterima oleh rasio akal sehat manusia.
Kegadelan Kita
Apa yang terjadi di Gadel bukanlah hal baru. Ada banyak kasus dimana sekelompok orang melakukan kekerasan terhadap orang lain atas nama panji-panji kebenaran, moralitas, solidaritas, dlsb yang mereka yakini. Orang yang tak sepaham kemudian jadi ajang bulan-bulanan. Kita masih ingat bagaimana kasus Ahmadiyah, kasus pengrusakan gereja, dlsb.
Kasus Gadel, ketika orang yang membela kebenaran malah diserang orang-orang yang punya ukuran kebenaran lain, hanyalah daftar panjang betapa gadelnya (jawa-sumatera: dekil, buruk, compang-camping) wajah masyarakat kita—wajah kita.
Kegadelan ini makin diperparah lagi ketika para penguasa di negeri ini tak dapat memberikan kepastian keadilan. Alih-alih menyelesaikan, bahkan terkadang terkesan membuat kacau, jadi komoditas politik (politisasi) untuk kepentingan kelompoknya, dlsb-nya. Tambah lagi wajah penguasa lebih buruk pula: korupsi, kolusi, politik-kotor, dlsb.
Apa yang bisa diharapkan dengan penguasa model ini?
***
Mungkin kita bisa membela diri—sebagai warga Gadel membela diri—“Tidak semuanya berprilaku begitu, masih ada yang baik!” Benar. Tapi setidaknya apa yang terjadi di Gadel dan apa yang terjadi sebelum-sebelumnya semakin meyakinkan kita bahwa ada yang sakit dengan “jiwa” kita.
Mari merenung sejenak semabari menanyai hati nurani kembali: apa yang telah berlaku pada bangsa ini? [*]
JEMIE SIMATUPANG kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H