Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila (Tak) Asli Indonesia

6 Juni 2011   10:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:48 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_112399" align="aligncenter" width="470" caption="Soekarno dan Mao Zedong (sumber:penakisemar.wordpress.com)"][/caption]

Oleh JEMIE SIMATUPANG APAKAH NILAI-NILAI yang ada dalam Pancasila, ideologi bangsa kita itu, asli Indonesia? Jamak kita tahu, Ya. Guru-guru di bangku sekolah dulu bilang kalau para founding fahter kita—terutama Bung Karno—telah menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan mengabstraksikannya ke dalam apa yang kita kenal sebagai lima dasar negara ini. Rocky Gerung, dosen filsafat di UI, tak seutuhnya percaya dengan pernyataan itu. Satu kali di Medan belum lama ini, ketika menjadi pembanding, saat peluncuran buku Negara Paripurna (yang banyak berbicara soal Pancasila) karangan Yudi Latif, Gerung bilang nilai-nilai yang ada pada Pancasila sebenarnya diserap dari khasanah pengetahuan dan nilai-nilai dari luar Indonesia—(dan paling banyak barat). Sila pertama misalnya, Ketuhan Yang Maha Esa, dalam persepsi Gerung, merupakan prinsip monoteisme yang merupakan ajaran agama samawi—yang tak satu pun agama itu pernah turun di bumi Indonesia. artinya monoteisme bukan asli Indonesia. Malah sebaliknya, di Indonesia yang tumbuh dan berkembang polytheis seperti yang tampak pada agama-agama asli yang ada di Indonesia; agama asli Batak, misalnya. Begitu juga dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), persatuan Indonesia (nasionalisme), permusyawaratan (parlemen), dan keadilan sosial. Bahkan nilai seperti keadialan sosial diserap dari nilai-nilai marxisme. Gerung juga menyatakan bahwa Bung Karno dkk dalam hal ini adalah orang yang cerdas. Ia tidak anti pada nilai-nilai luar. Bung Karno sadar benar bahwa agar sebuah ideologi bisa tumbuh dan berkembang ia tidak tertutup dengan perubahan. Dinamik. Ia bisa ditafsir berdasarkan kebutuhan jaman. Itulah mengapa kemudian ideologi-ideologi tua yang bisa mengikuti perkembangan jaman (seperti liberalisme, sosialisme demokrasi, dll) tetap hidup, sedangkan ideologi-ideologi yang tertutup dengan nilai-nilai baru cenderung tenggelam dan ditinggalkan orang. Menanggapi itu, Yudi Latif menggunakan metafora pohon. Ibarat pohon, kata Yudi, Pancasila itu mengakar kuat di bawah dan menjulang tinggi ke atas. Ke bawah artinya nilai-nilai itu memang mengakar pada bangsa ini, ke atas artinya ia juga bisa diterima (dan bisa juga mengambil) nilai-nilai lain yang ada di luar Indonesia. Bung karno satu kali mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.” Saya sendiri yakin, sebagaimana Gerung, kalau Pancasila itu juga diambil oleh Bung Karno dari nilai-nilai yang ada di luar Indonesia. Kita tahu Bung Kano (dan juga founding father kita yang lain) adalah orang-orang yang luas pengetahuannya dan tidak enggan dengan segala sesuatu yang dari luar. Ia membaca Karl Marx, Hegel, dan juga pemikir-pemikir dari Timur. Kita ingat Bung Karno pada masa mudanya menulis Nasionalisme, Marxisme, dan Agama (yang pada saat tua menjadi Nasakom). Begitu juga Bung Hatta, ia misalnya tak segan-segan menggunakan analisa marxis manakala melihat ketidakadilan terjadi pada rakyat Indonesia pada masa itu. Tapi juga, pada pandangan saya, Bung Karno pandai. Tepat lagi: cerdik. Ia bisa mencari cantelan, maksud saya kaitan nilai-nilai itu di kehidupan bangsa Indonesia. Jadilah nilai-nilai itu tak terasa asing. Indonesia mbanget. Bagaimana misalnya ia mengatakan bahwa inti dari Pancasila itu adalah gotong royong, dan gotong royong sebagaimana kita tahu telah ada di bumi Indonesia secara turun-temurun. Akh, akhirnya pun saya bilang tak penting juga diperdebatkan Pancasila itu asli nilai Indonesia atau tidak di tengah-tengah kita sendiri amnesia Pancasila.  Lebih penting lagi bagaimana kita menafsirkan Pancasila, sebagaimana kritik Gerung, untuk konteks Indonesia kini. Dan seterusnya bagaimana mensosialisasikannya—menyerapnya dalam kehidupan—akh sialnya mengatakan ini, serasa saya di ruang kelas—berbangsa dan bernegara. Kalau tidak bisa jadi pancasila seperti sila-sila mati tanpa makna, tergantung menghiasi kantor-kantor resmi pemerintah. Dan berdebu pula! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasiener.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun