Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mr. A di Republik Takhyul

6 Juni 2011   04:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_112323" align="aligncenter" width="454" caption="sekadar ilustrasi, karya Agus Suwage (sumber:tempointeraktif.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG PADA MULANYA adalah A. Dan A bisa ditafsirkan menjadi apa saja. A adalah aku, A adalah anjing, atau A adalah anarki. Atau untuk konteks panggung politik di negeri ini sekarang, A bisa berarti Akbar Tanjung, Aburizal Bakri, Agung Laksono, atau A adalah adalah antu—tanpa “H” di awal kata. Saya berbicara tentang teka-teki Ramadhan Pohan, politisi dari Partai Demokrat. “Apakah A orang yang membujuk kader Partai Demokrat agar menghancurkan partai tersebut dari dalam?” Teka-teki ini dibuat Ramadhan Pohan setelah kasus bertubi-tubi menimpa demokrat; terutama belakangan isu yang suap yang menimpa Nazaruddin, bendahara partai berkuasa itu. Pohan yakin persoalan-persoalan tersebut disebabkan seseorang berinisial A, seorang tokoh lama dalam dunia politik—tanpa merinci lebih jauh. Sejumlah orang yang merasa berinisial A, dan telah kenyang makan garam perpolitikan, tertuding. Akbar Tanjung misalnya. Tetapi ketika dikonfrontir, Pohan tak berani memberi jawaban, dan nampaknya menikmati teka-tekinya, layaknya seorang anak yang bangga manakala teka-tekinya tak bisa dijawab kawan sepermainan. “Pohan, kita sama-sama Tapanuli, tak ada budaya kita tutup-tutup begitu, siapa yang kau maksudkan A itu? Apakah aku maksudmu?” kira-kira kata Akbar Tanjung ketika dikonfrontir dengan Ramadhan Pohan di sebuah stasiun TV. “Kalau Bang Akbar, bukan A tapi AT,” kata Pohan berkelit. Ketika diminta menyebutkan, kalau bukan Akbar, lalu siapa, Pohan tak menyebutkan siapa-apa, tidak bilang Abu Rizal, Agung Laksono, atau siapa pun. Hmm, macam-macam sajalah politik ini. Dugaan kita kemudian teka-teki Mr. A –nya Pohan hanyalah pengalihan isu saja. Pohan sangat sadar media sangat senang dengan sensasi, terlebih yang sedikit berbau misterius semacam Mr. A. Tak pelak, isu ini menjadi trending di media, bahkan saya sendiri mesti ikut-ikutan juga bicara Mr. A di kompasiana. Sekarang perhatian media (dan publik) terpecah, antara siapakah Mr. A dan kasus-kasus hukum yang menimpa kader-kader demokrat—yang merugikan wang rakyat, yang seharusnya di tempatkan sebagai isu utama. Bahkan meguntuti jejak A, bagi kita lebih mengasyikkan, lebih menegangkan, sensasinya lebih “gimana gitu!” Seakan kalau Mr. A bisa kita didapati jati dirinya maka persoalan di republik ini selesailah sudah: “Kan semua gara-gara Mr. A!” Apalagi soal hukum di negeri ini kan begitu-begitu saja, siapa rela menghabiskan waktu mengawasi, yang (U)jung-(U)jungnya (D)uit, yang orang Medan (apatis) kayak saya bilang: KUHP, kumpulkan uang habislah perkara! Kita—manusia Indonesia—sebagai diceramahi Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki lebih dari 20 yang lalu adalah orang yang percaya takhyul—dan itu belum berubah (banyak) sampai sekarang. Percaya hantu-hantu, begu-begu, yang misteri-misteri. Makanya di TV banyak acara yang mistik-mistik; berburu hantu, film hantu, dlsb. Pohan juga sadar itu. Hingga kita masuk dari perangkapnya, memburu Mr. A yang misterius—yang kita tak tahu apakah dia orang atau jin. Yang bisa jadi hanya Tuhan sajalah tahu siapa dia. Pohan sendiri pun (boleh jadi) tidak! Mari berburu hantu! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun