[caption id="attachment_93723" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana kegiatan pendidikan demokrasi lokal di SMA 2 Pemantangsiantar. Peserta terlihat gembira (sumber:kksp.or.id)"][/caption]
-- Sofyan Adli --
12986790101157754806
Oleh JEMIE SIMATUPANG "Kawan-kawan ada yang tahu apa itu demokrasi?" Beberapa orang terlihat mengangkat tangan. "Oke, Tasha! Apa demokrasi menurutmu?" Orang yang disebut Thasha lalu menjabarkan demokrasi menurutnya. Orang yang pertama bertanya lalu mengapresiasi dengan mengatakan, "bagus!" lalu bertanya lagi dengan yang lain, "Ada yang berpendapat lain?" Selanjutnya mereka membentuk 4 kelompok yang terdiri dari 5 orang, dan masing-masing kelompok mendiskusikan tentang "Apa itu demokrasi?" dan menulis hasilnya di atas kerta plano. Selang 10 menit kemudian, tiap kelompok diminta mempresentasikan hasil diskusinya. Gambaran dialog dan kegiatan di atas terjadi di sebuah sekolah di bilangan Pematangsiantar. Tepatnya SMA Negeri 2 Pematangsiantar. Tapi itu bukan proses belajar-mengajar guru murid. Lihat saja, orang yang "seperti" guru menyapa dengan "kawan-kawan" bukan "anak-anak". Ya, mereka sedang melakukan kegiatan pendidikan sebaya demokrasi-khususnya demokrasi lokal-yang dijadikan kegiatan ekstrakurikuler-di luar jam pelajaran sekolah. Sore itu, Zafrun Syahputra (17) yang memfasilitasi (menjadi fasilitator) kawan-kawannya, membawakan materi demokrasi. Kegiatan itu sendiri digagas oleh KKSP, sebuah LSM yang fokus dengan isu anak berbasis di Medan, bekerjasama dengan Freidrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia, sebuah lembaga non profit dari Jerman yang konsern menyebarkan paham demokrasi-khususnya sosialisme demokrasi-di Indonesia. Berangkat dari penelitian "Ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang pernah dilakukan KKSP di tiga kabupatan-kota; Medan, Pematangsiantar, dan Tanah Karo, di mana sangat minim muatan demokrasi, khususnya demokrasi lokal, di pelajaran sekolah, terutama pendidikan kewarganegaraan," ujar Sofyan Adli, dari Yayasan KKSP, ketika ditemui di sela-sela kegiatan tersebut (06/03/2010). Ditambahkannya, wajar saja kalau kemudian tingkat partisipasi politik warga sangat rendah, terutama saat pemilihan umum. Banyak dari mereka yang tidak menggunakan hak suaranya. Ia memiliki asumsi kalau ini ada hubungannya dengan rendahnya penetahuan tentang demokrasi yang ada di kurikulum sekolah menengah. "Tak jadi masalah kalau golput (tak memberikan suara) itu merupakan pilihan sadar, kita khawatir kalau itu hanya karena kurangnya pendidikan demokrasi," pungkas Sofyan. Penelitian itu, masih menurut Sofyan, juga menemukan fakta bahwa pendidikan demokrasi-terutama di PKn-yang diajarkan disekolah dinilai siswa tidak menarik, karena guru selalu mengajarkannya dengan metode ceramah. "Siswa menyatakan sebaiknya pelajaran itu disampaikan dengan lebih menarik, misalnya dengan diskusi, game, dan lain-lain," ujarnya lagi. Setelah penelitian, KKSP kemudian membuat sebuah modul pendidikan sebaya demokrasi lokal dengan melibatkan guru dan anak-anak sekolah menengah yang berasal dari tiga kabupaten kota yang menjadi wilayah penelitian. Materi yang tercakup dalam modul antara lain: demokrasi, otonomi diri, otonomi daerah, DPRD, Pemerintah Daerah, Partisipasi, dlsb. Selanjutnya, modul itu dilatihkan kepada siswa-siswa yang akan menjadi fasilitator sebaya untuk kemudian melatihkan modul tersebut kepada kawan-kawan di sekolahnya. Pendidikan sebaya Pendidikan sebaya, menurut Sofyan Adli, sengaja dipilih untuk menyampaikan pendidikan demokrasi ini, karena berdasarkan beberapa penelitian, apabila sesuatu pelajaran disampaikan oleh kawan sebaya maka lebih mudah mempelajarinya. Suasana belajar pun akan terasa lebih santai. "Anak biasanya lebih senang belajar dengan kawan sebayanya, terlebih mereka sudah seharian belajar di kelas dengan guru," ujar Sofyan Adli. Hal ini juga dibenarkan oleh Thasya salah seorang peserta kegiatan itu. Menurutnya kegiatan ini berbeda dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang pernah diikutinya selama ini. "Lebih menyenangkan. Tak seperti kegiatan eskul (ekstra kurikuler) yang lain, di sini tak ada hubungan senior-yunior, walau yang memfasilitasi kakak kelas. Semuanya sama-sama belajar. Ini juga merupakan prinsip demokrasi, bahwa semua orang sama," ujar Thasya. Sedangkan Zafrun, Sri Ramayanti, Masharyanto, dan Junita Hutagalung yang secara bergantian memfasilitasi kegiatan ini menyatakan, kalau menjadi fasilitator sangat menantang dan menambah pengalaman serta menjadikan mereka lebih percaya diri. "Menarik. Banyak pengalaman baru. Banyak pengetahuan baru yang didapat, selain tentang demokrasi, juga tentang ketrampilan memfasilitasi. Sekarang saya jadi lebih percaya diri kalau menyampaikan pendapat," ujar Zafrun. Sofyan Adli menerangkan, selain di Pemantangsiantar, kegiatan yang sama juga dilakukan di Medan dan Tanah Karo. "Ini merupakan pilot project. Ke depan kita berharap model ini bisa diduplikasi sekolah dalam menyampaikan pendidikan demokrasi. Dan juga ke depannya lagi, lebih banyak orang lagi yang paham tentang demokrasi, melek demokrasi, sehingga partisipasi politik semakin tinggi," pungkas Sofyan Adli.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H