Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Massa, Penguasa, dan Re-produksi Kekerasan

23 Februari 2011   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:21 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="ketika koran diborgol (sumber:shutterstock.com)"][/caption]

Bisa jadi memang Dipo Alam adalah korban yang sekarang melakukan kekerasan yang sama kepada orang lain, karena ia telah mereproduksinya

Oleh JEMIE SIMATUPANG KEBEBASAN PERS KEMBALI mendapat ancaman dari penguasa. Pasalnya Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam wanti-wanti kepada jajaran kementerian dan lembaga negara agar memboikot media yang kritis terhadap pemerintah. Caranya: pemerintah tak pasang iklan di media itu. Boikot akan dikenakan pada media-media yang selama ini dinilai pemerintah terus-menerus mengkritiknya. “Memberitakan soal keburukan, pemerintah gagal sehingga terjadi misleading di masyarakat. Itu kan salah, boikot saja," kata Dipo Alam (Tempointeraktif.com) Boikot—sepanjang penelusuran dengan wikipedia.org—adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan. Kata ini, masih menurut wikipedia.org, berasal dari serapan bahasa Inggris boycott yang mulai digunakan sejak "Perang Tanah" di Irlandia pada sekitar 1880 dan berasal dari nama Charles Boycott, seorang agen lahan (estate agent) untuk tuan tanah Earl Erne. Apa yang disampaikan oleh Dipo—sebagai pejabat negara—tentu menjadi ironi, mengingat Indonesia mengamini demokrasi (-Pancasila) sebagai jalan hidup berbangsa-bernegara, dimana kebebasan pers menjadi salah satu pilarnya. Terlebih boikot dilakukan penguasa, pihak yang—dalam kerangka HAM—menjadi dutybearer (pemangku kewajiban) menghormati kebebasan pers, bukan malah memboikot—lebih jauh memberangus. Ingatan kolektif kita kemudian kembali ke Orde Baru dengan pimpinan tertinggi Jenderal Soeharto. Waktu itu boikot—bahkan sampai pembredelan—menjadi wajar, karena penguasa yang berkuasa memang otororiter-militeristik. Anti kritik. Beda pandangan, siap-siap dibungkam. Bahkan, menurut sas-sus yang beredar—seperti yang diungkapkan Bagir Manan—Dipo Alam sendiri, sewaktu mahasiswa, pernah menjadi korban keotoriteran Soeharto. Ia dipenjarakan, karena lantang meributkan demokrasi di Indonesia kepada Orde Baru. Kembali ke soal awal, seperti yang jamak kita tahu, kebebasan pers menjadi salah satu pilar negara demokrasi. Indonesia sendiri menjaminnya sebagai Hak Asasi (bagi warganya) dengan berlakunya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.  Hal ini diperkuat lagi dengan diratifikasinya kovenan internasional hak sipil dan politik (kovenan sipol) oleh Indonesia. Di sana dikatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.” Hal yang hampir sama juga dijamin dalam konstitusi di negeri ini: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Sebagai kita tahu kegiatan-kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, dan mengolah, dan menyampaikan informasi adalah kegiatan-kegiatan jurnalistik sebagai jamak dilakukan media massa—baik cetak maupuan elektronik.  Dalam kerangka ini yang dilakukan oleh penguasa (negara) adalah menghormati. Negara hanya diam saja—memberikan kebebasan. Ia baru aktif ketika ada pihak-pihak lain (non-state) yang menghalang-halangi pihak lain untuk menjalankan kebebasannya. Ya, ketika Dipo Alam—sebagai representasi penguasa, negara—melakukan seruan boikot, maka jelas mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi di bidang kebebasan rakyat untuk memberikan pendapat atau mengkritik penguasa. Saya pikir kalau penguasa baik-baik saja, maka kritik tidak akan ada—dan bisa jadi rakyat malah memuji. Tapi seperti kita ketahui juga, penguasa itu benar saja harus dikritik, terlebih lagi kalau salah. Kan—sebagai kata Lord Acton—kekuasaan itu cenderung korup? Terakhir saya ingat Johan Galtung, filsuf yang menelurkan teori reproduksi kekerasan itu. Bisa jadi memang Dipo Alam adalah korban yang sekarang melakukan kekerasan yang sama kepada orang lain, karena ia telah mereproduksinya. Akh, semoga saya salah sangka. [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun