[caption id="" align="alignleft" width="350" caption="Cok Kompas sedang Puasa Merah, artinya tak boleh makan sambal belacan kesukaannya, asam padeh, gulai lomak, dan segala yang mengandung cabe (sumber:rasamalaysia.com)"][/caption]
Oleh JEMIE SIMATUPANG COK KOMPAS SEDANG TAK habis pikir. Cemana bisa—Indonesianya: bagaimana mungkin, agak Jawa sedikit: kok ya bisa—cabe atawa cabai yang berasa pedas itu hampir-hampir menyamai emas. Maksudnya harganya. Di beberapa pasar di daerah-daerah harga sekilo cabe melesat naik menembus angka ratusan ribu. Edan. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya—paling tidak sepanjang ingatan Cok Kompas yang akhir Januari nanti genap 31 tahun itu. OOT atau out of topic: Bah! Udah tuanya dia, tapi koknya tak sadar-sadar juga ya, lagaknya saja macam remaja baru melewati 17-an, apalagi kalau ngomong, sesuka udele dewhek—asal nyerocos. Padahal sebelumnya, dua bulan lalu misalnya, cabe itu hanya puluhan ribu rupiah saja sekilo. Paling mahal pun Rp 40 ribu. Sekarang sangkil mahalnya, Cok Kompas sendiri sampai cakap-cakap soal cabe, sesuatu yang biasanya cuma ranah—maaf kalau bias gender—mamak-mamak saja—ibu rumah tangga saja. Lihat sendiri, Cok Kompas sampai tak habis pikir segala. Cemana tidak, gara-gara cabe Cok Kompas mesti ikhlas puasa. Tentu tidak layaknya puasa Ramadhanan atawa puasa senin-kemis yang menahan lapar dari fajar sampai matahari tenggelam, tapi sekedar tak makan sambal belacan kesukaannya. Tahan selera—nir pahala pula. Juga puasa makan yang pedas-pedas: segala macam jenis sambal, asam padeh, gulai lomak, dan segala yang bercabe. Jelasnya memang bukan karena alasahan kesehatan, lebih karena cabe yang mendadak naik kelas setara emas itu tak cocok dengan kas keluarga Cok Kompas. Pun kalau mau dibilang dalih kesehatan ya kesehatan kantong Cok Kompas yang lebih sering sakit daripada sehat itu. Lah, orang gajinya saja cuma tak sampai ½ digit di atas upah minum kota di mana Cok Kompas bekerja. “Mulai sekarang kita makan yang bening-bening saja, stop dulu yang merah-merah, semua makanan tanpa cabe. P u a s a. Biar enak kedengarannya saya usul namanya puasa merah. Cemana menurut kau, Bang?” kata isteri Cok Kompas, Nang Rodiah, yang cerdas itu—kan dia juara terus dari SD sampai SMA, jatuh-jatuhnya rangking 5—, waktu sarapan pagi tadi. Yang dihidangkan cuma nasi putih, rebus daun ubi hasil metik di halaman sendiri, dan ikan gembung rebus goreng, thok! Tak ada sambal belacan kesukaan Cok Kompas, padahal daun ubi rebus itu apalagi pasangannya kalau bukan sambal belacan yang walau baunya menyengat, nyenggak, tapi rasanya—meminjam Bondan Winarno penikmat kuliner nusantara itu—maknyus belaka? “Aikh, kalau soal nama setuju awak, Nang! Sedap ditelinga: puasa merah! Semangat kali awak dengar, ada merah-merahnya—b e r a n i. Tapi bisa kurus awak ini kalau tak makan sambal belacan, Nang!” kata Cok Kompas mulai menyendok nasi ke piringnya, seperti suka tak suka. “Alah, lagakmu, Bang! Sudah sukur ada itu. Yang tak tahunya kau harga cabe yang udah macam emas saja?” “Yang betulnya itu?” “Tak salah, lah!” “Emas London apa emas Karyo?” “Dasar!” Cok Kompas dapat cubitan—mesra campur geram—dari Nang, tepat di hidungnya yang lebih berfungsi sebagai lubang pernapasan daripada penghias wajah: orang peseknya naudubillah min dzalik—hihihi…, sorry kok kebablasan main fisik—tapi Cok Kompas selalu bersyukur dengan hidungnya yang ala kadarnya itu, terlebih kalau sedang dicubit sama bekas pacarnya itu. Tapi memang dasar Cok Kompas, tak pakai sambal pun tiga kali juga dia tambuh. Membumbung-membumbung pula nasinya. Pura-puranya saja tak selera. Isterinya perlu menyindir sekali lagi, “Mau kurus cemana kau bang, makan saja tambah-tambuh-tambih begitu!” Tak bisa lain, Cok Kompas hanya cengengesan sambil mencungkil dan menghisap—jorok ya?—sisa makanan yang nyangkut di sela-sela giginya—lagaknya baru makan rendang padang. “Srtttt…srrttt…sretttt….” GARA-GARA PERKARA CABE juga puguasa setingkat menteri perlu turun tangan. Di headline Kompasiana—blog sosial bertajuk sharing-conecting itu—, Cok Kompas mendapat kabar Menteri Perdagangan wanti-wanti agar tiap rumah tangga menanam cabe sendiri, masing-masing, yang tak punya lahan tanam di pot. Swa-mandiri. Konon menteri itu pun udah mulai menanam cabe dalam pot di rumahnya. Membaca kabar itu Cok Kompas mesem-mesem saja. Geleng-geleng. Ada yang tak masuk akal di dalam kepalanya yang berambut keriting tak jelas, awut-awutan, tanda udah lama tak dipangkas itu. “Bah! Like President, like minister!” kata Cok Kompas. “Mak jang, tumben kau bisa bahasa Inggris, Lae. Memang ada apa, kau nyama-nyamakan presiden sama menterinya. Ya seharusnya kan memang sejalan lah! Ya kan?” jawab Mat Tanduk, karib Cok Kompas. “Kalau sejalan yang bagus-bagus awak salute wak. Jempol. Dua lagi. Tapi ini… Kau ingat dulu kan kebijakan Pak Presiden kita yang terhormat soal perlindungan terhadap TKI di luar negeri: beri mereka handphone, terus soal lembu-lembu petani yang kena bencana merapi agar dibeli oleh pemerintah. Beres. Bah! Apa begitu menyelesaikan persoalan rakyat? Masak sih memberi perlindungan TKI dengan hape, wong rata-rata pun mereka punya hape, pun ada tak pula diperbolehkan oleh majikan. Belum lagi petugas-petugas yang ditelepon itu ya tak menggubris. Bergeming. Terus soal pengungsi merapi itu dulu, kalau alat produksi mereka dibeli—lembu-lembu itu—terus setelah bencana nanti mereka mau kerja apa? Kan mereka hidup dari susu-susu lembu itu tiap harinya. Kok saran begini, dari seorang kepala desa saja bisa keluar, awak rasa, tak perlu harus dari presiden—tak perlu dari seorang jenderal, apalagi dari seorang yang sekolah tinggi-tinggi,” “Terus sekarang apa hubungannya dengan menterinya,” “Lah, itu soal cabe. Ngasi kebijakan menyiasati harga cabe yang melambung itu kok aneh: agar tiap-tiap orang menanam cabe di rumah masing-masing. Ya, bisa memang. Tapi apa ya iya rakyatnya bisa nanam cabe semua? Kalau itu keluar dari seorang Bupati saja mungkin masih kita maklumi, tapi ini kan menteri, mestinya mikirnya yang lebih strategis, cemana mengendalikan harga, distribusi cabe, atau mereka subsidi petani-petani agar menanam cabe sekarang,” “Iya ya!” Tak lama berselang sebuah pesan singkat—SMS—masuk ke handphone nokia model lama milik Cok Kompas yang monophonik itu: tit…tit…tit…tit…. Dari isterinya. Isinya singkat—namanya juga pesan singkat: “Susu anakmu habis, Bang! Jangan lupa dibeli!” “Mati aku, Jang!” Cok Kompas terpekik. “Kenapa lagi, Lae? Apa menteri tadi memanggilmu kerena kau telah meledek jalan pikirannya?” “Ngejek aja kau Bah! Ini lebih gawat dari itu. Susu anakku, Si Sulung, habis, aku baru dapat SMS dari Nang di rumah. Mesti beli nanti. Mana uang tak ada—biar bulan masih muda, banyak pula hutang-hutang yang mesti dibayar pas gajian kemarin. Selesailah semua. Yah, kalau awak bisalah puasa merah, puasa makan sambal belacan dan yang merah-merah mengandung cabe itu, tapi Si Sulung masak awak suruh puasa juga minum susu. Cemana ini ya?” kata Cok Kompas, mimiknya berubah mendung, macam sebentar lagi turun hujan. “Tak usah kau pikirkan kali, Lae. Nanti pakai saja uangku dulu!” Cok Kompas mendadak cerah lagi. “Yang gitu kian maksudku!” “Bah! Dasar kau Cok!” [] JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal Medan, dipercaya Cok Kompas membeberkan cerita-cerita tentang diri dan pandangannya di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H