[caption id="" align="alignleft" width="338" caption="Change The Game (sumber:igaprimerindonesia.co.id)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG PASCA [JANGAN BACA: PASKA] GAGALNYA Indonesia menjuarai Piala AFF 2010, “demam bola” masih terus berlanjut. Dimana-mana orang masih ngomong bola. Teriakan, “Nurdin Halid mundur!” masih terdengar di sana-sini. Tambah lagi kehadiran Liga Primer Indonesia [LPI] yang dimulai Januari ini menjadi wacana publik. LPI konon menjanjikan permainan bola yang profesional, apik, ciamik, dan pastinya enak ditonton. PSSI berang. Induk olah raga bola yang membawahi Liga Super Indonesia [LSI] ini merasa tersaingi. Selama ini, PSSI memonopoli kompetisi sepak bola nasional. Hasilnya? Rakyat pecinta bola kecewa,—sangat-sangat—PSSI tak bisa mengharumkan nama Indonesia di ajang level dunia. Permainannya jelak. Prestesinya jeblok melulu, terlebih di bawah kepemimpinan Nurdin Halid yang pernah tersangkut perkara penyelundupan gula dan korupsi pengadaan minyak goreng itu. COK KOMPAS, yang pantang tak top itu, juga belum reda demam bolanya. Masih hangat(-hangat taik ayam). Pagi ngomong bola. Sore bincang bola. Malamnya, menjelang tidur gitu juga—sampai-sampai Nang Rodiah, isterinya yang buta bola itu, dihasutnya ngomongin bola, wajar saja dia dapat sindiran dari isterinya yang halus budi-pekerinya itu, “Bulan depan melamar jadi komentator bola saja kau bang!” Sekarang, di sela-sela kerja, Cok Kompas juga terlibat diskusi bola dengan karibnya—yang tak asing lagi bagi pembaca Serial Cok Kompas—Mat Tanduk. “Mat, kalau nengok-nengok PSSI kok awak jadi ingat Pertamina,” kata Cok Kompas, buka pembicaraan. “Maksud awak apa, Lae?” “Yah, dulu kau ingatkan, kalau kita beli minyak mesti ke Pertamina, kan satu-satunya perusahaan yang jual minyak di negeri kita ini. Kau ingat sendiri bagaimana pelayanannya dulu, asal-asalan. Meteran boleh dari angka berapa saja, dan berhenti di angka berapa saja—penjualnya pakai insting. Kita tak bisa protes, kan? Orang dia sendiri yang jual minyak, kemana-mana beli, ya belinya sama pertamina juga. Tapi sekarang setelah perusahaan asing bisa jual minyak juga, kan lebih bagus pelayanan pertamina itu. Kita datang-datang langsung diucapin, ‘Selamat pagi, Pak. Dari angka nol ya!’ dan ketika bayar dihadiahi senyum gratis plus ucapan, ‘terimakasih!’ Dapat itu jadi sering-sering aku mau beli minyak,” kata Cok Kompas merepet—tak pelak macam inang-inang Sambo saja. “Akh, kalau bolak-balik mau beli minyak, kan lantaran Si Butet itunya, jatuh hati kau sama dia kan? Ingat Si Nang dan Sulung di rumah, Cok!” “Yang itunya yang kau tanggapi. Tipe setia awak ini Mat. Tanyalah apa hubungannya dengan PSSI?” “Ya, apa?” “Analisis saya, PSSI itu bobrok juga—salah satunya—karena tak ada saingan. Monopoli. Mereka thok yang boleh bikin liga sepak bola di Indonesia. Yah jadinya macam Pertamina itu, pelayanannya buruk. Gitu juga PSSI tak bisa memberi permainan bola yang bagus bagi kita, rakyat Indonesia yang lebih dari 230 juta itu. Tak berkualitas. Pun begitu dari ajang sepak bola bisa jadi tinju, kan sering itu tawuran gara-gara pertandingan bola? Tambah lagi prestasinya nol. Kita, bola kaki kita, tak dianggap di ajang internasional. Yah, lumayanlah kemarin Markus dkk. udah ngasi permainan terbaik waktu ajang AFF—walau tak juara awak salut—tapi itu kan tak banyak gara-gara PSSI lebih karena tangan dingin Alfred Ridl dan latihan keras timnas saja!” “Maksudmu kau menyambut baik kehadiran LPI?” “Tak kurang! Saya yakin, kalau PSSI tak berbenah, masih dengan permainan lama, masih mempertahankan bobroknya kepungurusan—dengar-dengar laporan ICW ada korupsi pula di sana—mereka akan habis. Tamat. Tak dapat dukungan dari 230 juga lebih rakyat!” “Iya, ya. Lucu jgua membayangkan tiap pertandingan LSI tak ada yang nonton. Kursi melompong. Apalagi terus klub-klub LSI banyak yang hengkang ke LPI,” YAH, TIAP PERSOALAN memang bisa dilihat dari dua sisi. Yang berpikiran positif menganggapnya tantangan—sekaligus peluang, tapi yang negatif melalu selalu memposisikannya sebagai hambatan. Tak pelak PSSI masuk golongan terakhir, mereka melihat kehadiran LPI di kancah bola nasional bagai mau kiamat saja. “Tapi Cok, kira-kira mengapalah PSSI tak mau disaingi oleh LPI?” tanya Mat Tanduk. “Masak kau tak tahu!” “Apa?” “Nurdin Halid dkk, keliru membaca Pasal 33 ayat [3] UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” “Kelirunya?” “Mereka memasukkan bola di dalamnya!” “Bah!” [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan, dipercaya Cok Kompas menyebarkan gagasan-gagasanya di kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!