[caption id="" align="alignleft" width="342" caption="la cosa nostra--itu urusan kita (sumber:weeklydrop.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG KASUS DON KREAK kembali mencuat setelah foto-foto mejeng nya sedang berleha-leha di berbagai negara beredar di internet. Aneh. Sejatinya Don Kreak berada dalam tahanan kejaksaan karena statusnya sebagai tersangka kejahatan pajak. Tak heran juga, sebelumnya pun, gambar-gambarnya di Bali—lagi nonton bule-bule berselancar pakai bikini di Pantai Kuta—juga terkuak ke publik. Mat Tanduk, sahabat dekat Cok Kompas—yang terakhir disebut sehari-hari aktif ngeblog di kompasiana.com—pun begitu tak ada hubungan apa-apa namanya dengan Kompas[iana] karena “Kompas” di nama Cok gelar yang diberikan kawan-kawan SD-nya karena terkenal suka mengompas, meminta paksa duit orang yang tak dikenal lalu dipakai jajan bersama kawan-kawan, tapi itu dulu, waktu SD, sekarang Cok Kompas udah tobat—langsung melemparkan unek-uneknya selesai mengklik gambar-gambar Don Kreak di ranah maya. “Ampun! Kok bisa-bisanya Si Don Kreak ini bebas berkeliaran! Apa sajanya kerja penjaga tahanan itu,” kesal Mat Tanduk, meminta perhatian Cok Kompas yang sedari tadi sedang serius menjawab komentar postingannya di kompasiana. “Tak usah heran kau Cok, biasa itu! Apa yang tak bisa di negeri ini asal ada uang?” Cok Kompas tak begitu hirau, menjawab sekedarnya, sambil terus mengumpani mulut dengan pisang goreng, terus juga mengetik di kolom komentar. “Iya ya. Semua bisa dibayar. Polisi, jaksa, hakim, apalagi sekedar penjaga tahanan. Kan Don Kreak punya banyak uang, berapa em itu hasil kejahatannya...? Hmm, saya kok membayangkan kita ini tinggal di negeri mafia saja!” “Negeri mafia cemana maksudmu, Mat?” tanya Cok Kompas mulai tertarik dengan pembicaraan. “Itulah, macam yang ditulis Mario Puzo itu—The Godfather,” senang Mat Tanduk mendapat perhatian Cok Kompas. Mat Tanduk lalu menceritakan dengan semangat tahun 1945 pada Cok Kompas prihal buku yang baru saja selesai dibacanya seminggu yang lalu itu. Dalam The Godfather, menurut Mat Tanduk, Mario Puzo menceritakan kehidupan mafia asal Sisilia—Italy yang bekerja di Amerika. waktu itu Amerika dipenuhi oleh organisasi-organisasi mafia, pemerintah dibuat tak berdaya. Mereka bisa membayar semua penguasa, menyitir semua—dari kelas kepala desa sampai pada gubernur. Begitu juga penegak-penegak hukumnya. Bisnis bawah tanah mereka—Judi, Minuman keras, pelacuran, narkoba—berjalan lancar tanpa hambatan. Sesama organisasi saling bersaing, memperluas kekuasaan, mengembangkan bisnis, menebarkan pengaruh. Segela macam cara halal dilakukan. Pun begitu, ada juga etika-etika yang mesti mereka patuhi—code of conduct bagi sesama mafia. Misalnya saja Omerta. Seorang mafioso tak boleh membuka rahasia mafioso lain kepada penguasa. Pantang. Pamali. Ini namanya hukum tutup mulut. Karena menurut mereka, apa yang mereka lakukan, adalah urusan mereka sendiri, tak boleh diketahui oleh penguasa. Mereka menyebutkan sebagai: la cosa nostra. “Stop! Stop! Lalu apa hubungannya dengan Don Kreak ke Bali Mat?” Cok Kompas memotong pembicaraan Mat Tanduk. “Ya, tentu ada. Ini kan kasus mafia pajak. Cok Kreak saya lihat cuma kambing hitam saja, agar kasus mafia sebenarnya tak terungkap. Tak diungkit-ungkit!” jelas Mat Tanduk. “Maksudmu soal perusahaan yang telah menenggelamkan sebagian Sidoarjo itu?” “Gotcha! Itu dia. Saya menduga kasusnya sengaja ditutup oleh pengusa kita sekarang ini—yang bisa jadi berasal dari kalangan mafia juga. Atau paling tidak pakai uang mafia biar bisa duduk di kursi kekuasaan. Kan keduanya, Si Banyak Gaya [SBG] penguasa kita sekarang dan Abu Romli, bos perusahaan lumpur itu, dulunya join sekali. Akrab. Bak lepat sama daun saja. Kan bisa jadi sebagian uang kejahatan Abu Romli dari pengemplanangan pajak itu dipakai untuk mendanai SBG sekarang agar mulus jadi penguasa. Nah, merekalah yang sama-sama tahu. Sebagai mafia, mereka kan mengamini omerta—sesama mafia tak boleh saling buka rahasia. Karena kalau nanti dibuka, melanggar omerta, kan bisa jadi Abu Romli, bos perusahaan lumpur itu membuka rahasia juga: eits, kok ungkit-ungkit soal pajak, kubuka nanti soal uang kampanyemu!” kata Mat Tanduk bersemangat. “Nah, seperti tukang bajaj lah itu, kan sesama tukang bajaj dilarang saling mendahului! Itu kode etiknya!” papar Mat Tanduk mengambil satu goreng pisang dari Cok Kompas, lalu menyuapnya—ke mulutnya. Cok Kompas tertegus sebentar. Ia mencoba memahami apa-apa yang dibilang Mat Tanduk. Tapi kemudian ia tersadar—kok Cok Kompas tiba-tiba menghubungkan apa yang terjadi di Amerika dulu itu dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Bagai tersadar, Cok Kompas bilang: “Akh, itu kan bisa-bisa mu saja Mat. Kau kan cuma mau menarik benang merah apa yang telah kau baca dengan apa yang terjadi di negeri ini. Sedapat mungkin harus ada, kan? Biar kau tak merasa sia-sia telah membaca buku itu. Biar lepas unek-unek di kepalamu itu. Biar tak jadi uban! Ya kan???” Mat Tanduk terdiam, lalu cengengesan karena gelagatnya tertangkap oleh Cok Kompas. Sebelumnya pun ia dengan susah mati menghubung-hubungkan teori seleksi alam dengan pemilihan kepala lingkungan tempatnya tinggal. Waktu itu ia baru saja menyelesaikan The Origin of Species-nya Charles Darwin. Cok Kompas belum lupa itu. Lalu sekarang menghubungkan Omerta dengan Abu Romli. “Akh, Mat! Semoga tak ada yang termakan dengan cakap besarmu!” kata Cok Kompas sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin—dan terasa lebih pahit. [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!