Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membidani Kelahiran “Anak Pertama"

1 Januari 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:04 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="321" caption="“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) (sumber:jakarta.go.id)"][/caption] Bung, DUARIBU SEPULUH TELAH BERLALU. Tak terasa, ya! Padahal saya belum berbuat apa-apa yang berarti dalam hidup. Cuma rutinitas saja. Yah, yang ada cuma umur yang bertambah banyak—yang artinya bertambah dekat juga menuju kematian. Belum ada kerja-kerja yang bikin hidup lebih bermakna—bagi saya sendiri, bagi keluarga, atau bagi orang lain. Padahal banyak keingin-keinginan, yang walaupun tak ada di resolusi tertulis pada 2010 lalu, tapi disimpan di dalam hati. Tapi rupanya di hati tinggal di hati, dia belum lagi menjadi gerak untuk saya wujudkan. Sekedar menghibur hati: “Ada niat saja udah awal yang baik, kan?” Bung, Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin sekali membuat buku. Ya, buku. Akh jangan mengejek, tentu saja bukan buku tamu—terlebih cuma buku tulis. Buku yang ada judulnya dan ada namaku di sana sebagai penulis. Yah, walau awak tak mahir-mahir kali menulis boleh dong, punya harapan mau buat buku juga? Ada beberapa bayangan yang sudah ada di kepala, tema apa yang akan saya garap di buku itu. Pertama tentang “Seputar Medan”. Yah, saya ingin membuat tulisan-tulisan tentang Medan, tentang apa saja: ya sejarahnya, ya kotanya, ya bahasanya, ya makanannya. Kan banyak itu. Saya bayangkan di buku itu ada sejarah bagaimana Medan dulu awalnya, ketika Patimpus datang lalu mendirikan perkampungan Medan Putri. Juga tak lupa tentunya membahas juga tentang Tembakau Deli—yang merupakan cerita tak terpisahkan dari Medan sendiri. Yang lain mungkin tentang bahasanya yang unik itu. Bahasa Medan, Bung! Ya, dia bukan bahasa daerah Medan, tapi bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang medan: yang unik, lucu, dan kadang bikin salah pengertian dengan orang-orang luar Medan. Sebagai contoh saja ketika Orang Medan bilang: “Bos-mu udah berangkat ke pajak?” Nah, jangan bayangkan kalau ia sedang menanyakan lawannya bicara tentang bos tempatnya bekerja—atasan—apakah ia sudah pergi ke kantor pajak—bayar pajak barangkali. Karena maksudnya sebenarnya adalah: “Ibumu sudah berangkat ke pasar?” Yah, hal-hal macam itu yang ada di buku itu nantinya. Judulnya mungkin “Ini (tentang) Medan, Bung!” atau apalah yang pasnya nanti. Saya sendiri secara kecil-kecilan sebenarnya sudah mulai di kompasiana, walaupun hanya baru beberapa artikel saja. Bung, Yang lain, saya membayangkan menulis buku tentang kumpulan resensi. Ya buku tentang resensi buku. Tapi saya merencanakannya khusus tentang buku karangan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kaliber dunia yang pernah kita punya itu. Akh, tentu saja saya tak berniat menompang di nama besarnya, tapi lebih karena rasa kagum saya kepadanya. Saya akan membahas “Bumi Manusia” salah satu magnum opustnya itu sampai “Keluarga Gerilya” yang katanya hilang ruh realisme sosialisnya, karena Sang Tokoh menyerah pada keadaan. Modalnya sudah ada. Saya sudah punya buku Pram, terkecuali “Gulat di Jakarta” dan “Perahu Yang Setia di Tengah Badai”. Jadi kalau mau memulai tinggal membaca ulang bukunya kemudian membuat resensinya sekitar 3-4 halaman ketikan di kertas ukuran kwarto. Yah, bisa jadi ini juga ucapan terimakasih saya kepada dia--Pram. karena berkatnya juga, setelah membaca karya-karyanya, keberanian saya untuk menulis dimulai. Sebelumnya segini pun--saya menunjukan jarak telunjuk dan jempol--tak pernah saya menulis. Pram melecut semua orang untuk menulis. Kan dia bilang: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". Akh, saya kira ini juga akan menjadi pekerjaan yang mengasyikkan sepanjang tahun 2011 nanti. Cemana tidak, kan sedap itu menulis orang yang kita kagumi? Bung, Soal siapa yang mau menerbitkan tak pala saya pikirkan. Kalau ada uang mungkin diterbitkan sendiri, kecil-kecilan saja, paling tidak sudah ada satu yang dicetak. Kalau tak ada, ya mungkin akan difoto-copy saja 3 atau 5 buah, setelah disetting di komputer. Yah, soal lay-out udah ada kawan awak yang bersedia menangani. Gitulah Bung, rencana saya 2011 ini. Tak bisa dua-duanya, semoga salah-satunya saja. Pokoknya harus menulis sebuah buku.  Saya sendiri menamainya proyek Membidani Kelahiran “Anak Pertama”. Ya, anak-anak ruhani, sebagaimana Pram menamai karya-karyanya. Kan boleh juga awak meminjam dia kan? Hahaha, karena awak belum lagi punya istilah orisinil apa nama khusus untuk karya itu nanti. Bung, Selamat tahun baru, semoga penuh harapan baru. Eh, ngomong-ngomong kalau Anda, apa yang akan Anda lakukan 2011 ini? Medan, 01 Januri 2011 Tabek! Jemie Simatupang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun