Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jangan Sampai Duryodhono Mengilhami Yudhoyono

24 Desember 2010   05:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:26 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_81462" align="alignleft" width="373" caption="eh, kok diperhatikan kita hidup ini bagai di pewayangan saja, semua cerita adalah tentang orang-orang besar itu semua, kita sendiri, orang kecil ini, tak pernah dapat peran bagus selain jadi lawakan ... (sumber:sedjatee.wordpress.com)"][/caption] /i/ BUKAN MAIN, KARENA cemburu orang bisa melakukan apa saja. Tega. Kadang sampai tak habis pikir. Kita sering membaca atawa mendengar berita dimana seorang kekasih—atawa suami—membunuh selingkuhan  kekasihnya—atawa isterinya. Juga tak sungkan membunuh kekasihnya sekalian. Ketika terungkap ke publik, Sang Pelaku enteng menjawab, “Saya cemburu!” Itu baru di dunia percintaan, dalam dunia politik, dunia kekuasaan jauh lebih dahsyat lagi. Karena berawal dari cemburu akhirnya terjadi perang dahsyat yang dikenang sepanjang massa. /ii/ Alkisah, adalah dua orang putra maharaja. Mereka bernama Dritarastra dan Pandu. Yang disebut pertama, si Sulung, buta kedua matanya. Menurut konstitusi kerajaan itu, seorang yang cacat tak boleh dinobatkan menjadi raja—menggantikan ayahnya. Maka dengan begitu, pucuk pimpinan kekuasaan harus diberikan kepada anak laki-laki selanjutnya—dalam hal ini Pandu—untuk menjadi raja. Maka naiklah Pandu menjadi raja. Diceritakan juga kalau Dritarasta itu mempunyai anak 100 orang. Mereka kita kenal sebagai Para Kurawa. Sedangkan Pandu sendiri mempunyai 5 orang anak, ya Anda benar, merekalah Pandawa Lima: Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—sepupu-sepupunya Para Kurawa. Rupanya umur Raja Pandu tak panjang, ia wafat, sementara Yudhistira belum lagi dewasa. Maka, untuk menuruskan pemerintahan agar tak vakum, kursi kerajaan ditempati oleh Dritarasta—mewakili Yudhistrira, Sulung Pandawa, sampai besar kelak. Hari berlalu. Tahun berganti. Yudhistira kini sudah dewasa. Sesuai amanah, kerajaan diberikan kepadanya. Ia marak menjadi raja yang dicintai, rakyatnya hidup makmur. Tapi apa lacur, Para Kurawa—terutama Duryodhono, yang paling tua—iri hati. Cemburu. Ia merasa bahwa kekuasaan itu adalah milik ayahnya yang kemudian akan diturunkan kepadanya. Akhirnya, setelah menyusun tak-tik, mereka merencanakan sebuah konspirasi menggulingkan kekuasaan. Istana akan dibakar ketika Pandawa beristirahat—dan dibuat seolah-olah kecelakaan sahaja. Tapi niat buruk itu bocor. Yudhistira telah mengetahuinya, akhirnya pada saat pembakaran mereka telah menyelamatkan diri—namun Kurawa tidak mengetahui. Pandawa menjalani hidup sebagai pengembara. Kerajaan sekarang berada di bawah pengaruh Duryodhono. Sampai pada suatu ketika, Dritarasta mengetahui Yudhistira bersaudara masih hidup. Akhirnya mereka dipanggil kembali ke kerajaan. Ia membagi kerajaan menjadi dua bahagian, satu wilayah untuk Para Kurawa sedang yang lain untuk Pandawa. Kelak kerajaan itu kita kenal dengan Hastinapura dan Indraprastha. Yang terakhir disebutkan, maju pesat dibawah pimpinan Yudhistira. Ia menjadi raja yang bijak bagi rakyat-rakyatnya. Tapi penyakit lama Kurawa kambuh lagi. Ia tak rela wilayah pemekaran itu lebih maju daripada induknya—kerajaannya sendiri. Ia ingin mendapatkan kerajaan itu juga. Maka dengan tipu muslihat ia mengajak Yudhistira bermain dadu. Kebiasaan waktu itu, seseorang pantang menolak tantangan bermain judi dadu. Karena memang bermaksud jahat, Duryodhono bermain curang, Yudhistira kalah. Semua hartanya telah dipertaruhkan—termasuk kerajaannya—bahkan juga dirinya sendiri dan—masya allah—isterinya sendiri. “Ya, karena kalah kini kalian harus menjalini hukuman, diusir dari kerajaan, hidup di hutan selama 12 tahun, dan plus 1 tahun harus hidup menyamar, hahaha …” kata Duryodhono. Mereka pun pergilah. Hidup menderita—seadanya saja—di hutan. Setelah usai masa hukuman yang sangat menderita, Pandawa menuntut kembali Indraprastha dari Kurawa. Tapi lagi-lagi mereka kecele, Duryodhono tak rela. Ia bergeming, tak mengamini kemauan Yudhistira bersaudara. Tak ada jalan lain, akhirnya harus direbutlah  dengan perang. Masing-masing pihak menyusun kekuatan. Dan pada hari yang dijanjikan pecahlah perang saudara terbesar dalam sejarah epos manusia, perang 18 hari di Padang Kurusetra. Perang habis-habisan. Yah, jamaknya cerita yang mengajar kebajikan, yang jahat pasti dikalah oleh yang baik. Semua Kurawa tewas. Yudhistira kemudian dinobatkan menjadi raja. Keseluruhan cerita itu kemudian kita kenal bersama sebagai: Mahabharata. /iii/ Kini kita hidup di jaman modern—bukan di dunia epos yang diceritakan oleh Walmiki di atas. Kita hidup di negeri bernama Indonesia yang merdeka. Tapi begitu semangat Mahabharata banyak mengilhami orang-orang dalam berkuasa—apalagi varian kisah ini ada dalam beberapa suku bangsa di negeri ini dan diamini sebagai pandangan hidup. Mencari, merebut, dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara Duryodhono yang cemburu buta. Saya tiba-tiba teringat (Sosilo Bambang) Yudhoyono, presiden kita itu. Kok saya berpikir kalau dia itu cemburu dengan Sultan Jogja ketika menggugagat keistimewaan Jogjakarta. Ketika mengatakan bahwa “… Tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi.” Padahal mestinya dia tahu sendiri kalau keistimewaan Jogja itu dijamin UUD 45 dan diatur undang-undang khusus lainnya. Tidak dilakukan sewenang-sewenang, seenak udelnya Sultan sendiri. Cemburu, kok ya di Jawa ada dua—bahkan tiga raja—dirinya (karena merasa diri Raja juga), Sri Sultan, dan Paku Alam yang masih ada kekuasaannya. Maunya kan cuma Duryodhono sendiri, tak ada Yudhistira itu. Out sana. Kan mestinya dirinya sendiri yang berkuasa. Saya kok melamunkan SBY berpikir begitu. Kemudian dengan berbagai cara  didoronglah wacana pengkonstitusionalan(?) pemerintahan Jogjakarta ke publik, padahal, seperti sudah disinggung tadi, keistimewan Jogjakarta sendiri memang telah diatur dengan konstitusi. Singkatnya: kekuasaan Sri Sultan ingin dipangkas, ia mau dijadikan sebagai perlambang saja—Gubernur Utama yang tak punya pungsi eksekutif—kalau mau jadi Gubernur sungguhan ya dia mesti ikut Pemilu. Akh, kalau saja benar, betapa cemburunya kekuasaan itu. Ya di Mahabharata, ya juga di Indonesia. Sama-sama cemburu. Sama-sama nJelous. Dan saya tak berharap Duryodhono kemudian benar-benar mengilhami Yudhoyono—walau nama mereka mirip-mirip—yang karenanya kemudian pecah perang antara dua raja, walaupun saya melihat gambar pasukan-pasukan Jogjakarta lengkap dengan senjatanya telah beredar di dunia maya. Akh jangan sampailah …[*]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun