Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Parijs van Soematra

3 Desember 2010   06:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_78220" align="alignleft" width="400" caption="salah satu sudut medan tempo doeloe, berarsitektur eropa (sumber: www.kitlv.pictura-dp.nl)"][/caption] Pada awalnya adalah tembakau. Adalah Jacob Nienhuys. Ia seorang saudagar tembakau asal Belanda. Dalam sejarah orang ini dikenal sebagai salah seorang perintis penanaman tembakau di daerah Deli (Medan tempoe doeloe). Almanak waktu itu: 1860-an. Tak seberapalama, tembakau dari daerah ini merajai pasar Eropa karena citarasa dan kualitasnya yang cocok dijadikan cerutu. Dalam "Parijs Van Soematera"-buku karangan Alaxander Avan (Medan, Rain Maker, 2010)-diceritakan kemudian kota ini berkembang. Beringsut menjadi salah satu kota primadona-diluar daerah koloni belanda lain di Jawa. Entah siapa yang mendahului, kota ini disebut sebagai Parijs van Java. Artinya: kota Paris dari Sumatera. Sebelumnya di Jawa sendiri telah ada "Parijs van Java" yang dimaksud adalah Bandung. Tak diketahui dengan pasti, apa motivasi orang-orang Belanda menyebut kota ini sebagai Paris. Karena dilihat dari sisi mana pun, tak ada Paris-parisnya. Kota itu masih sangat-sangat kecil, begitu juga dengan fasilitas kota yang ada-belum lagi menjangkau ¼ Paris. Konon pula kalau melihat misalnya-kalau kita berbicara Parijs-arsitektur, budaya, seni, dan lain-lain. Sama sekali jauh ketinggalan. Alaxander Avan menyatakan penamaan "Parijs van Soematra" ini bisa jadi karena persaingan antara Belanda dengan Britania atawa Inggris. Yang terakhir disebutkan sendiri telah membangun (sebagai daerah koloninya) semananjung Malaysia dan Singapura menjadi kota Modern-mengikuti kota-kota yang ada Eropa sana. Agar tak kalah pamor-apalagi ada pameo di mana ada inggris disampingnya berdiri prancis-maka kolonial Belanda membangun "Parijs van Soematra". [caption id="attachment_78213" align="alignright" width="372" caption="Tampak para pekerja (kuli kontrak) sedang memilah tembakau (sumber: www.kitlv.pictura-dp.nl)"]

12913566111953675039
12913566111953675039
[/caption] Modalnya? Apalagi kalau bukan tembakau. Kebun-kebun semakin diperluas. Apalagi setelah pemerintah kolonial bekerjasama dengan kesultanan Deli, dimana sultan akan memberikan kewenangan kepada belanda untuk membuka lahan-lahan yang ada di daerah deli untuk dijadikan kebun tembakau. Imbalannya: belanda memberikan sejumlah uang, perlindungan, dan membangun fasilitas kota dan istana deli-salah satunya adalah istana maimoon yang masih berdiri kokoh sekarang.Belanda sendiri dalam politik penjajahannya memang mendukung feodalisme bekermbang di wilayah jajahan. Terlebih lagi kalau raja yang bersangkutan dapat diajak bekerjasama. Jadilah rakyat dijajah oleh Belanda dan sistem feodal yang sudah ada: tambah-tambah menderita. Riwayat tembakau sendiri-di sisi lainnya-adalah sahibul hikayat tentang penderitaan rakyat. Beribu-ribu orang dijadikan kuli kontrak. Mereka banyak datang dari jawa, tapi juga dari negeri-negeri lain: India, Cina, Arab. Tapi ironisnya, kuli dari bangsa sendiri dianggap sebagai kelas paling rendah. Kalau kita ingat pelajaran SD dulu, inlander-sebutan untuk orang indonesia dulu-adalah kelas ketiga setelah eropa, dan timur jauh. Cina, India, dan Arab sendiri masuk sebagai kelas sosial kedua. Perbudakan di kebun tembakau adalah sejarah perdagangan manusia terbesar di negeri ini-jauh sebelum isu trafficking naik seperti sekarang. Orang-orang tertipu: dijanjikan pekerjaan yang enak, tapi nyatanya dijadikan kuli. Dikatakan akan bekerja di tanah yang bisa tumbuh pohon berdaun uang. Dollar. Tapi nyatanya mereka dipaksa bekerja seharian di kebun tembakau dengan upah sekenanya. Agar betah, pemerintah kolonial menyuburkan prostitusi dan judi. Kuli yang kelelahan biasanya sangat-sangat menikmati hiburan ini. Di awal bulan, habislah gaji mereka untuk berjudi dan belanja sex. Tak ada uang untuk makan lagi. Terpaksa mereka berhutang kepada perusahaan-yang artinya mereka harus memperpanjang kontrak. Tan Malaka-yang pernah bekerja sebagai guru di wilayah Deli-menulis kesaksiannya dalam "Dari Penjara ke Penjara" sebagai:
"Inilah kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang tinggal di gubuk seperti kambing di kandang; yang setiap saat bisa dipukul atau dimaki-maki dengan godverdomme; kelas yang setiap saat harus melepaskan isteri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih yang menyukainya.... Inilah kelas orang Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak. Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam boleh pulang. Bayarannya menurut kontrak berjumlah empat puluh sen setiap hari. Makanannya biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat selama 8 sampai 12 jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi compang-camping karena sering bekerja di hutan.Karena kekurangan dalam segala-galanya, timbullah di dalam diri mereka suatu nafsu yang tidak terkendalikan untuk mencari nasib baik dengan bermain judi; suatu nafsu yang dengan sengaja dikobarkan oleh perusahaan setelah dilakukan pembayaran. Mereka yang kalah-dan biasayanya lebih banyak orang yang kalah daripada yang menang-boleh pinjam uang dari perusahaan. Karena utang ini, maka sembilan puluh persen dari kuli-kuli itu setelah habisnya kontrak terpaksa memperbaharui kontraknya kembali. Utang itu menimbulkan nafsu untuk berjudi dan perjudian itu memperbesar utang, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya."

[caption id="attachment_78215" align="alignleft" width="323" caption="kuli kontrak perempuan di ladang tembakau (sumber: www.kitlv.pictura-dp.nl)"]

129135664423458450
129135664423458450
[/caption] Ketidakadilan yang terjadi membuat bangkit kesadaran kelas kuli dan tertindas lainnya. Avan Alaxander menyebutkan ini juga didasarkan pada penamaan "Parijs van Soematra". Tesanya menyebutkan para kuli dan kelas bawah lainnya memaknai "Parijs van Soematra" dengan mengambil jargon revoulis Prancis: Liberte, Egalite, dan Fraternite atawa Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan. Liberte dalam konteks masa itu berarti bebas dari penindasan dan kesewenang-wenangan, egaliter berarti persamaan hak tanpa diskriminasi, dan fraternite berarti persaudaraan di antara sesama warga apapun warna kulit, bahasa, dan asal lahirnya. Mereka jengah dengan semua ketidakadilan yang terjadi. Hingga sampai Indonesia Merdeka, tahun 1945, dimana kekuasaan Belanda tidak ada lagi pecahlah revolusi sosial. Pada tahun 1946, rakyat yang telah lama merasa tertindas melampiaskan rasa marahnya dengan menyerang semua lambang-lambang kolonial dan segala yang tak menindas. Di masa ini kita ketahui terjadi pembakaran istana-istana kesultanan (yang selama ini bekerjsama dengan Belanda) juga vandalisme terhadap patung Jacob Nienhuys yang ada di depan Kantor Pos Medan sekarang. Bersamaan dengan itu pula, Medan sebagai "Parijs van Soematra" tak pernah di dengar lagi. Ia juga dianggap sebagai lambang kolonial yang juga harus digilas dalam ingatan. Sekarang Medan telah bebas dari penjajahan. Pembangunan dilakukan di alam merdeka. Gedung berdiri megah dimana-mana. Fasilitas segala macam ada. Tapi tak juga kota ini menuju "Parijs", yang teratur, rapi, bersih, berbudaya, sejahtera, dlsb-nya. Malah semakin semerawut,  centang-prenang, apalagi beberapa kali (juga sebagi kota provinsi) dipimpin pejabat yang korup. Tamatlah sudah! Parijs van Java memang hanya dalam kenangan. [*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun