[caption id="attachment_363480" align="aligncenter" width="512" caption="Penulis (dok.pribadi)"][/caption]
Otonomi Khusus sebagai suatu yang di sakralkan pasca reformasi 1998. Banyak perdebatan seputar otonomi daerah dan Otonomi Khusus sebagai manifestasi dalam rangka mendorong sistem desentralisasi dengan sungu-sungu agar mewujutkan cita-cita kesejahtraan masayarakat. Dengan melihat sejarah yang panjang mengakibatkan sepantasnya sistem pemerintahan sentralistik saatnya dapat dirubah kedalam sebuah sistem pemerintahan desentralistik, namun tidak terlepas dengan fokus konsentrasi yang sejawajarnya bertabrakan dengan kepentingan politik sebagai ancaman disintegrasi bangsa. Sehingga pemerintah mendorong agar Pemerintahan Aceh, Pemerintah Papua, Pemerintah DKI, Pemerintah DIY menjadikan manifestasi yang di undangkan sebagai daerah desentralisasi asimetris bagi daerah-daerah yang disebutkan diatas.
Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Pandnagan implementasi dalam penyelengaraan secara regulatif dengan harapan masayarakat yang bertolak belakang di antara kenyataan dan harapan yang di maksutkan tadi. Sehingga kerinduan masyarakat Papua yang kian semakin kritis menyoroti regulasi, kebijakan pemerintah daerah dari berbagai sudut pandang, dengan alasan bahwa Implemetasi UU Otsus No. 21 Tahun 2001 hanya (politik simbol secara tertulis). Sebagai catatan mendasar tersebut paling terpenting mengukur urgensi masyarakat dalam partisipasi membangun ekonomi masayarakat secara aktif, dinamis serta proaktif dalam membangkitkan semanagat usahanya, dalam berdagang, bertani dan lainnya wilayah terpencil.
Dari penulisan singkat ini menjadikan sebuah kerangka pemikiran pokok kuncinya adalah “Harapan Masyarakat Papua kenyataannya hanya sebatas regulatif, di konsepkan hanya begitu saja di papua, berjalan mulus, pembanguan ekonomi masyarakat yang banyak muatan kepentingan di Papua. Bagi siapa Otsus berlaku di Papua?, untuk apa Otsus harus berjalan begitu saja?, dengan alasan kesejahtraan yang sebenarnya belum menyentuh masyarakat Papua dari aspek ekonomi masayarakat”.
Penyelengaraan didasarkan pada regulasi secara spesifik, yang mengatur kesejahtraan ekonomi masyarakat Papua tidak di rencanakan secara terstuktur dalam hal perencananan, pengontrolan yang memiliki sebuah keunggulan masih membutuhkan waktu yang cukup secara menyeluruh. Pada akhirnya menjadi sebuah propaganda penyaluran anggaran yang tanpa memonitoring sebagai tugas dan tanggung jawabnya pemerintah daerah setempat cukup dilematis. Pada Intinya bahwa harapan masyarakat Papua harus sejahtra, kenyataannya tidak demikian sesuai harapan tersebut. Kenyataan lain bahwa masayarakat bersikap kritis dan netral karena mempunyai dasar pemikiran yang jelas kehadiran UU Otsus adalah sesuatu hal yang tidak sepantasnya untuk di politisir oleh siapa saja.
Inti dasar pemikiran itu satu-satunya yang dapat menyelesaikan amanat otonomi khusus dalam tahapan implementasi pemerintah setempat tidak menganalisis pengukuran sasaran, kurangnya tingkat manajemen kesejhtraan masyarakat dengan kekayaan alam ada di Papua. “bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua”. Jelas-jelas telah tertulis dalam amanat otonomi khusus Papua dalam rangka meningkan taraf hidup masyarakat lokal.
Ketidak tepatan dalam pengukuran parameter pembangunan Papua, regulasinya melenceng pada aturan-aturan dan dalam peningkatan sebuah program pemerataan berdasarkan jumlah penduduk di Papua hanya sebatas pengamatan. Karena pada dasarnya bahwa kebablasan dalam menyelengarakan serta mengkonsepkan UP4B dan UU Otsus Plus yang menjadi konsep. Jelas jelas bahwa hal tersebut adalah kepentingan para elit (nyata), bagi masayarakat hanya megetehaui konsep seperti itu dengan meredam situasi di Papua. Bagimanapun masayarakat masih polos dalam mengelola isu-isu yang tidak pernah ada hubungannya sama sekali, isunya adalah ekonimi masayarakat Papua.
Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi esensi dan urgensi kaji tindak partisipatif dengan titik tumpu pemberdayaan masyarakat khususnya di wilayah perkampungan berbasis sumberdaya pertanian. Paling tidak ada tiga pilar dalam kaji tindak pemberdayaan masyarakat, yaitu partisipasi, fasilitasi, dan intervensi. Akan tetapi, implementasi kaji tindak dalam pemberdayaan masyarakat memerlukan waktu, wilayah yang luas tergantung inisiatif masyarakat dalam menentukan keperluan prioritas mereka di jawab oleh pemerintah. Partisipasi secara interaktif dan kreatif serta fasilitasi dan intervensi yang berpedoman pada prinsip demokrasi perlu dijalankan. Implikasinya, pengembangan aspirasi masyarakat tetap membutuhkan upaya yang bersifat pendekatan dari atas namun terbebas dari sikap paternalistic, hegemonic tetap mengacu pada manifestasi amanat Otonomi Khusus Papua.
Kata kunci : Harapan dan Kenyataan Ekonomi masyarakat, Otsus, kaji tindak, partisipatif, pemberdayaan, masyarakat, pertanian, perkamungan di Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H