Mohon tunggu...
Dewa Aji Nugraha
Dewa Aji Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Traveller and World War & World Conflicts Analysers

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Impian Tiongkok" (China Dream): Negara "Neo-Merkantilisme" yang Sedang Bangkit di Arena Perekonomian Global Modern

8 Maret 2024   03:19 Diperbarui: 8 Maret 2024   03:19 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Igor Kutyaev - iStock

Neo-Merkantilisme adalah strategi modern yang mirip dengan kebijakan perdagangan kuno yang disebut merkantilisme. Dalam neo-merkantilisme, pemerintah menggunakan berbagai cara untuk mencapai keunggulan ekonomi di tingkat global. Mereka tidak hanya menggunakan tarif, tetapi juga menggunakan alat lain seperti memanipulasi nilai uang, memberikan subsidi kepada industri dalam negeri, dan berinvestasi secara strategis di sektor-sektor kunci. 

Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi impor agar perdagangan negara itu menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Pemerintah juga berusaha untuk mendukung industri dalam negeri dan mengumpulkan banyak cadangan devisa.

Selain itu, pemerintah neo-merkantilis juga mengendalikan aliran uang ke dan dari negara mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatur bagaimana investasi masuk dan keluar negara, sehingga uang tetap berputar di dalam ekonomi domestik untuk mendukung industri dan proyek-proyek tertentu. 

Mereka juga memiliki kontrol penuh atas nilai uang mereka, yang memungkinkan mereka untuk mengubahnya sesuai keinginan mereka. Ini membuat barang-barang yang diekspor menjadi lebih murah di pasar global, sementara membuat barang-barang impor lebih mahal, sehingga mendorong orang untuk membeli barang dalam negeri.

Penerapan kebijakan neo-merkantilis bisa punya dampak besar dalam persaingan antarnegara untuk jadi yang terbaik secara ekonomi. Mereka berusaha melindungi kepentingan ekonomi mereka sendiri dalam dunia yang semakin terkoneksi secara global. Namun, ada orang yang mengkritik langkah-langkah seperti ini karena bisa menyebabkan ketegangan dalam perdagangan antarnegara dan balasan dari mitra dagang. 

Akibatnya, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Walaupun ada kritik seperti itu, beberapa negara masih memilih untuk menerapkan neo-merkantilisme untuk meningkatkan kekayaan dalam negeri dan menegaskan kemandirian ekonomi mereka di panggung internasional yang selalu berubah.

Tiongkok menerapkan strategi neo-merkantilis dengan cara yang jelas terlihat, fokus pada memperkuat kekuatan ekonomi dan kebanggaan nasional. Salah satu inti dari strategi ini adalah menggalang dukungan di dalam negeri dengan mempromosikan nasionalisme dan patriotisme. Dengan membangun persatuan di antara warga, Tiongkok berharap bisa menciptakan suasana yang baik untuk pertumbuhan ekonomi.

Selain memperkuat rasa nasionalisme, Tiongkok juga secara aktif menyimpan cadangan emas dan devisa untuk menjaga ketahanan ekonominya. Cadangan ini membantu melindungi ekonomi dari guncangan luar dan memastikan Tiongkok tetap kuat di pasar global. Tumpukan emas dan devisa ini juga menjadi simbol keberhasilan ekonomi dan kekuatan Tiongkok di dunia.

Selain itu, Tiongkok menggunakan berbagai cara untuk melindungi keadaan keuangan yang menguntungkan. Mereka melakukan manipulasi nilai uang, memberlakukan tarif, dan memberikan subsidi pada barang-barang yang diekspor, semua ini untuk mendukung industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, dan mengurangi barang-barang dari luar masuk. 

Dengan mengatur kebijakan perdagangan mereka dengan cerdas, Tiongkok ingin melindungi ekonominya sendiri, mengurangi ketergantungan pada pasar luar negeri, dan tetap mengendalikan sektor-sektor utama.

Secara keseluruhan, langkah-langkah yang diambil oleh Tiongkok dalam menerapkan strategi neo-merkantilis menunjukkan pendekatan yang proaktif terhadap pembangunan ekonomi dan keinginannya untuk menjadi kekuatan ekonomi global. 

Meskipun ini telah membantu pertumbuhan ekonomi yang cepat dan meningkatkan pengaruh Tiongkok di dunia, langkah-langkah ini juga menuai kritik, terutama dari mitra dagang yang melihatnya sebagai tindakan tidak adil. Namun, Tiongkok tetap bertekad untuk mencapai kemakmuran ekonomi dan membangun kembali negaranya melalui kebijakan neo-merkantilis yang mereka terapkan.

"Impian Tiongkok" (China Dream) yang diusung oleh Xi Jinping sangat terkait dengan strategi neo-merkantilisme Tiongkok. Ini adalah impian untuk membuat Tiongkok menjadi negara yang dipandang sebagai kuat dan maju secara global. Intinya adalah mencapai peremajaan, kemakmuran, dan kekuatan nasional yang besar. Salah satu cara utama untuk mencapai visi ini adalah melalui Belt and Road Initiative (BRI). BRI adalah proyek besar yang mencakup pembangunan jalan, rel, pelabuhan, dan infrastruktur energi di banyak negara.

BRI (Belt and Road Initiative), yang dimulai pada tahun 2013, bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama ekonomi di berbagai wilayah. Dengan melakukan investasi besar-besaran di hampir 70 negara di Asia, Eropa, dan Afrika, Tiongkok berharap untuk meningkatkan perdagangan, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mengokohkan posisinya sebagai pemain utama dalam urusan dunia.

Selain itu, BRI membantu Tiongkok mewujudkan agenda neo-merkantilisnya dengan membuka pasar baru bagi barang dan jasa Tiongkok, memperoleh akses ke sumber daya penting, dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara mitra. Melalui investasi dan pembangunan infrastruktur, Tiongkok berusaha untuk menjadi mitra ekonomi yang penting di wilayah yang terlibat dalam inisiatif ini, dengan tujuan memajukan kepentingan nasional dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.

Meskipun BRI mendapat kritik dari beberapa pihak karena masalah utang, dampak lingkungan, dan kurangnya transparansi dalam pembiayaan, Tiongkok masih berpegang teguh pada inisiatif ini sebagai bagian penting dari strategi geopolitiknya. Mereka terus memperluas cakupan BRI melalui kemitraan dan investasi baru. Dengan cara ini, Tiongkok berusaha untuk mencapai visi Impian Tiongkok sambil mengokohkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global.

Ketika negara-negara kecil berurusan dengan Tiongkok yang memiliki kebijakan neo-merkantilisme yang kuat, mereka menghadapi tantangan dan peluang yang kompleks. Dampak dari campur tangan ekonomi dan geopolitik Tiongkok berbeda-beda tergantung pada keputusan strategis masing-masing negara. 

Beberapa negara bisa mendapat manfaat dari investasi tambahan, pembangunan infrastruktur, dan akses pasar melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI). Namun, negara lain mungkin mengalami masalah seperti utang yang terlalu besar, kehilangan kontrol atas wilayah mereka, dan kekhawatiran tentang hak asasi manusia dan lingkungan.

Selain itu, hubungan antara Tiongkok dan Uni Eropa menunjukkan perbedaan yang semakin besar antara negara demokratis dan otoriter dalam blok tersebut. Tiongkok lebih suka berurusan secara bilateral dengan negara-negara dalam BRI daripada dengan Uni Eropa secara keseluruhan. 

Hal ini mencerminkan strategi Tiongkok untuk memanfaatkan perpecahan di Uni Eropa dan mencapai tujuan geopolitiknya secara bertahap. Dengan berurusan langsung dengan negara-negara anggota Uni Eropa, Tiongkok dapat meningkatkan pengaruh ekonominya dan memajukan kepentingannya tanpa perlu menghadapi tentangan dari pusat kekuasaan di Brussels.

Tren ini menunjukkan betapa pentingnya model neo-merkantilisme Tiongkok dalam geopolitik global. Tiongkok lebih fokus pada hubungan satu lawan satu dan pengaruh ekonomi sebagai cara untuk mencapai tujuan strategisnya. Ketika Tiongkok semakin kuat di panggung dunia, negara-negara kecil harus berhati-hati dalam menjalani hubungan mereka dengan Beijing. Mereka harus menimbang manfaat ekonomi dari kerja sama dengan perlunya menjaga kedaulatan, nilai-nilai, dan kepentingan jangka panjang mereka.

Dalam konteks Uni Eropa, perbedaan antara negara demokratis dan otoriter semakin mempersulit masalah ini. Ini menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan yang bersatu dan prinsipil dalam mengelola hubungan dengan Tiongkok, sambil tetap menghormati nilai-nilai dan kepentingan bersama Uni Eropa.

Secara keseluruhan, "Impian Tiongkok" (China Dream) merangkum visi yang mencakup kemakmuran ekonomi dan ambisi geopolitik, mewakili pendekatan neo-merkantilis Tiongkok terhadap hubungan internasional. Intinya adalah menggunakan kebijakan ekonomi untuk memajukan tujuan geopolitik yang lebih luas. Inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) adalah bagian penting dari strategi ini, memungkinkan Tiongkok untuk menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara yang berpartisipasi sesuai dengan tujuan strategisnya.

Melalui BRI dan proyek-proyek ekonomi lainnya, Tiongkok tidak hanya berusaha untuk memperkuat pertumbuhan ekonominya sendiri, tetapi juga untuk meningkatkan pengaruhnya di panggung global. Dengan berinvestasi secara strategis dalam infrastruktur dan membina hubungan ekonomi dengan negara-negara mitra, Tiongkok bertujuan untuk menjadi pemain utama dalam urusan internasional sambil membentuk kembali lanskap geopolitik sesuai kepentingannya.

Impian Tiongkok (China Dream) juga menunjukkan bahwa tujuan ekonomi dan geopolitik saling terkait, menyoroti hubungan erat antara ekspansi ekonomi dan pengaruh geopolitik. Seiring Tiongkok terus meningkatkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global, perjalanan menuju Impian Tiongkok akan membentuk dinamika hubungan internasional di abad ke-21, mendorong negara lain untuk mengevaluasi kembali strategi dan posisi mereka sebagai respons terhadap pengaruh yang semakin besar dari Tiongkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun