Mohon tunggu...
Dewa Aji Nugraha
Dewa Aji Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Traveller and World War & World Conflicts Analysers

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Impian Tiongkok" (China Dream): Negara "Neo-Merkantilisme" yang Sedang Bangkit di Arena Perekonomian Global Modern

8 Maret 2024   03:19 Diperbarui: 8 Maret 2024   03:19 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Igor Kutyaev - iStock

Meskipun ini telah membantu pertumbuhan ekonomi yang cepat dan meningkatkan pengaruh Tiongkok di dunia, langkah-langkah ini juga menuai kritik, terutama dari mitra dagang yang melihatnya sebagai tindakan tidak adil. Namun, Tiongkok tetap bertekad untuk mencapai kemakmuran ekonomi dan membangun kembali negaranya melalui kebijakan neo-merkantilis yang mereka terapkan.

"Impian Tiongkok" (China Dream) yang diusung oleh Xi Jinping sangat terkait dengan strategi neo-merkantilisme Tiongkok. Ini adalah impian untuk membuat Tiongkok menjadi negara yang dipandang sebagai kuat dan maju secara global. Intinya adalah mencapai peremajaan, kemakmuran, dan kekuatan nasional yang besar. Salah satu cara utama untuk mencapai visi ini adalah melalui Belt and Road Initiative (BRI). BRI adalah proyek besar yang mencakup pembangunan jalan, rel, pelabuhan, dan infrastruktur energi di banyak negara.

BRI (Belt and Road Initiative), yang dimulai pada tahun 2013, bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama ekonomi di berbagai wilayah. Dengan melakukan investasi besar-besaran di hampir 70 negara di Asia, Eropa, dan Afrika, Tiongkok berharap untuk meningkatkan perdagangan, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mengokohkan posisinya sebagai pemain utama dalam urusan dunia.

Selain itu, BRI membantu Tiongkok mewujudkan agenda neo-merkantilisnya dengan membuka pasar baru bagi barang dan jasa Tiongkok, memperoleh akses ke sumber daya penting, dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara mitra. Melalui investasi dan pembangunan infrastruktur, Tiongkok berusaha untuk menjadi mitra ekonomi yang penting di wilayah yang terlibat dalam inisiatif ini, dengan tujuan memajukan kepentingan nasional dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.

Meskipun BRI mendapat kritik dari beberapa pihak karena masalah utang, dampak lingkungan, dan kurangnya transparansi dalam pembiayaan, Tiongkok masih berpegang teguh pada inisiatif ini sebagai bagian penting dari strategi geopolitiknya. Mereka terus memperluas cakupan BRI melalui kemitraan dan investasi baru. Dengan cara ini, Tiongkok berusaha untuk mencapai visi Impian Tiongkok sambil mengokohkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global.

Ketika negara-negara kecil berurusan dengan Tiongkok yang memiliki kebijakan neo-merkantilisme yang kuat, mereka menghadapi tantangan dan peluang yang kompleks. Dampak dari campur tangan ekonomi dan geopolitik Tiongkok berbeda-beda tergantung pada keputusan strategis masing-masing negara. 

Beberapa negara bisa mendapat manfaat dari investasi tambahan, pembangunan infrastruktur, dan akses pasar melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI). Namun, negara lain mungkin mengalami masalah seperti utang yang terlalu besar, kehilangan kontrol atas wilayah mereka, dan kekhawatiran tentang hak asasi manusia dan lingkungan.

Selain itu, hubungan antara Tiongkok dan Uni Eropa menunjukkan perbedaan yang semakin besar antara negara demokratis dan otoriter dalam blok tersebut. Tiongkok lebih suka berurusan secara bilateral dengan negara-negara dalam BRI daripada dengan Uni Eropa secara keseluruhan. 

Hal ini mencerminkan strategi Tiongkok untuk memanfaatkan perpecahan di Uni Eropa dan mencapai tujuan geopolitiknya secara bertahap. Dengan berurusan langsung dengan negara-negara anggota Uni Eropa, Tiongkok dapat meningkatkan pengaruh ekonominya dan memajukan kepentingannya tanpa perlu menghadapi tentangan dari pusat kekuasaan di Brussels.

Tren ini menunjukkan betapa pentingnya model neo-merkantilisme Tiongkok dalam geopolitik global. Tiongkok lebih fokus pada hubungan satu lawan satu dan pengaruh ekonomi sebagai cara untuk mencapai tujuan strategisnya. Ketika Tiongkok semakin kuat di panggung dunia, negara-negara kecil harus berhati-hati dalam menjalani hubungan mereka dengan Beijing. Mereka harus menimbang manfaat ekonomi dari kerja sama dengan perlunya menjaga kedaulatan, nilai-nilai, dan kepentingan jangka panjang mereka.

Dalam konteks Uni Eropa, perbedaan antara negara demokratis dan otoriter semakin mempersulit masalah ini. Ini menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan yang bersatu dan prinsipil dalam mengelola hubungan dengan Tiongkok, sambil tetap menghormati nilai-nilai dan kepentingan bersama Uni Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun