Penjarahan atau "njarah" dalam bahasa Jawa merupakan tindakan tercela yang mencerminkan perampasan hak milik orang lain, biasanya dilakukan dengan memanfaatkan situasi kacau atau tidak kondusif. Meski secara esensial mirip dengan merampok, njarah lebih sering diasosiasikan dengan kerumunan yang secara bersama-sama mengambil barang milik orang lain.Â
Perilaku ini jelas merusak hubungan sosial dalam masyarakat, mencederai rasa keadilan, dan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi, khususnya di Indonesia yang dikenal dengan budaya ketimurannya.
Sayangnya, meskipun nilai-nilai moral tersebut sering digaungkan, fenomena penjarahan masih kerap terjadi. Situasi ini biasanya muncul dalam momen-momen chaos, seperti kerusuhan atau kecelakaan, di mana individu atau kelompok memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan.
 Sebagai contoh, ketika sebuah truk kontainer bermuatan sembako, minyak, atau bahan bakar mengalami kecelakaan, tidak jarang masyarakat sekitar langsung berebut mengambil muatan yang berserakan, tanpa memedulikan kondisi supir yang mungkin trauma atau kerugian besar yang ditanggung pemilik barang. Ironisnya, tindakan tersebut sering kali dianggap biasa, bahkan dirayakan sebagai "rezeki dari Tuhan."
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah tindakan ini murni akibat kesenjangan ekonomi atau masalah moralitas masyarakat? Di satu sisi, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia masih menjadi masalah serius. Namun, menyalahkan pemerintah sepenuhnya atas tindakan seperti ini juga tidak sepenuhnya tepat.Â
Sebab, pada dasarnya, tindakan menjarah adalah pilihan individu yang mencerminkan lemahnya integritas moral, bukan sekadar dampak ekonomi.
Memang, ada argumen bahwa motif di balik tindakan buruk terkadang berangkat dari niat baik. Misalnya, seorang pencuri yang mencuri demi menyekolahkan anaknya mungkin memiliki alasan yang menyentuh.Â
Namun, bagaimanapun mulianya motif tersebut, cara yang dipilih tetap salah. Demikian pula dalam kasus penjarahan. Tidak peduli seberapa sulit situasi ekonomi, mengambil barang milik orang lain dengan memanfaatkan keadaan adalah tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum.
Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi martabat dan asas gotong royong, perilaku njarah ini bertolak belakang dengan nilai-nilai yang seharusnya dipegang teguh. Lebih jauh, budaya njarah tidak hanya merugikan pihak lain, tetapi juga membawa dampak buruk bagi masyarakat luas.Â
Jika perilaku seperti ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk yang merembet hingga ke sistem pemerintahan.
 Sebagaimana penjarahan terjadi dengan memanfaatkan situasi, korupsi juga muncul dari memanfaatkan celah untuk keuntungan pribadi. Jika masyarakat terbiasa menormalisasi tindakan amoral seperti njarah, bukan tidak mungkin mentalitas tersebut terbawa hingga ke tingkat pengelolaan negara.