Beberapa tahun lalu salah seorang dosen di tempat saya berkuliah membagikan sebuah kisah menarik tentang bagaimana ia dan isterinya bertemu hingga akhirnya mereka menikah, saat ini keduanya sudah memiliki ticda anak dan satu cucu. Di akhir kelas, beliau memberi sebuah kesimpulan, hingga sekarang perkataannya masih tersimpan rapi dalam ingatan saya, Kurang lebih seperti ini:
"Banyak orang tidak dapat mengartikan apa itu cinta, tapi bagi saya cinta bukan perasaan tapi komitmen. Kalau cinta itu perasaan kita bisa meninggalkan kekasih kita kapan saja, tergantung suasana hati. Perasaan mudah berubah, tapi tidak demikian dengan komitmen. Tidak jarang rasa bosan datang, dan komitmen lah yang memampukan untuk tetap setia."
CINTA ADALAH KOMITMEN. Jadi buat kamu-kamu yang pernah diduakan, kalau saya sih tidak pernah di duakan...Tapi boong! Hehe..., Buat kamu, saya dan siapapun anda yang membaca tulisan ini, mari kita sepakat bahwa cinta adalah komitmen, perasaan bisa berubah tapi tidak dengan komitmen.
Apa hubungannya dengan diduakan? Begini, ketika seorang pria dan wanita memutuskan untuk memulai suatu hubungan pacaran artinya mereka sedang membangun sebuah komiten, bahwa mereka akan tetap mencintai satu sama lain apapun keadaanya. Tapi apa jadinya kalau salah seorang di antaranya tidak dapat menjaga komitmen yang sedang mereka bangun bersama.Â
Masihkan komitmen itu berjalan? Tentu tidak! ibarat bangungan yang baru saja di luluh-lantakkan gempa berskala hebat, komitmen itu hancur. Kita harus membangunnya kembali dari awal, tanahnya memang masih ada tapi bangunannya tidak, cintanya memang masih ada tapi kepercayaannya tidak.
Teman saya boleh saja memutuskan kembali lagi pada mantan kekasihnya yang sudah menduakan, tapi apakah semua bisa kembali seperti sedia kala? Pada akhirnya dibandingkan perasaan cinta rasa curiga akan lebih mendominasi.
Komitmen untuk setia itu penting, jauh lebih penting dari pada cinta. Lihat saja dahulu kala, para leluhur kita masih menggunakan sistem perjodohan, tidak ada cinta, tidak ada pacar-pacaran, tau-tau besok sudah menggunakan baju pengantin, akan tetapi sampai kakek-nenek mereka tetap hidup bersama. Meski tidak diawali oleh perasaan berbunga-bunga,keduanya tetap setia menjaga komitmen.
Sendainya teman saya bertanya, "Aku maafin dia gak ya?" saya akan jawab "Maafkan, kalau perlu kalian rekonsiliasi, agar tidak ada lagi kepahitan yang disimpan" Tapi bukan itu yang dia tanyakan, dia meminta saran saya, "aku terima dia lagi gak ya?"
Saran saya, "jangan" kecuali dia bisa melupakan kejadian itu dan percaya seratus persen kepada kekasihnya, persis seperti sedia kala. Hanya saja mungkinkah bisa?
Melupakan memang tidak gampang, apalagi kalau hubungan itu sudah terjalin lama, setahun, dua tahun, bahkan ada yang sampai tujuh tahun. Tidak salah juga kalau rasa malas untuk mengenal orang yang baru muncul, apalagi bersama dia terasa sangat nyaman.
Tapi sebelum buru-buru memberi kesempatan kedua, dan akhirnya malah terluka coba pikirkan lagi. benarkah kita sudah siap untuk mempercayainya kembali?