Mohon tunggu...
jefry Daik
jefry Daik Mohon Tunggu... Guru - seorang laki - laki kelahiran tahun 1987

pernah menjadi guru pernah menjadi penjual kue pernah menjadi penjual tahu pernah menjadi penjual Nasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Paradigma Netizen yang terhormat (Sebuah opini)

1 Oktober 2020   11:17 Diperbarui: 1 Oktober 2020   11:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh Jefry Daik 

Pendahuluan

Budaya menghina rasanya cukup sulit dihindari dari negeri kita. Menurut saya sejak kita dijajah oleh bangsa -- bangsa asing, kita sudah dihina dengan sungguh menyedihkan. Pola menghina adalah cara untuk membuat hati merasa kecil serta tak berdaya yang ditanamkan selama masa - masa kelam itu.  Kesannya benar -- benar mendalam.  lalu salah satu cara untuk bertahan adalah dengan balas mencaci para penjajah. Keberanian menentang demi eksistensi di negeri sendiri menjadi cikal bakal perlawanan terhadap segala jenis dan bentuk penindasan. Baik fisik, mental dan juga psikis.

Kenangan tentang bagaimana Indonesia berusaha keluar dari penjajahan dan melepaskan diri dari berbagai pelanggaran HAM meyakini Silvany Austin Pasaribu untuk menghentak balik perwakilan negara Vanuatu saat menyinggung dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua pada Sidang Umum PBB (29/9). Memangnya Indonesia kurang koleksi pelanggaran HAM selama periode Batavia ada di Jayakarta?

Dari dulu memang Papua sudah menjadi lahan yang selalu dilirik untuk direbut oleh entah siapa yang bersembunyi dibalik perang-perang gerilya yang bekerja secara anarkis. Perhatikan saja bagaimana di era Pak Jokowi Papua menjadi semakin pesat.

Saya mencoba membatasi diri untuk mengeksplorasi kasus Indonesia dan Negara Vanuatu karena memang saya tidak memiliki bukti - bukti konkret. Salah- salah malah saya yang diangkut ke Penjara.

Realita di sekitar kompleks

Sesungguhnya tanpa sengaja cara mendidik dalam nuclear family ataupun extended family juga tidak dapat disangkali mengandung unsur bully. Saya menyebutkan Bully  sebagai kata yang terlalu ekstrim, jadi saya harus memperhalusnya dengan istilah teguran. 

Mendidik yang menyertakan teguran - teguran tidaklah salah, namun dampak yang dihasilkan dari tindakan menegur secara verbal inilah yang berpeluang pesat untuk 'menghancurkan' hubungan yang sesungguhnya sedang berjalan dengan baik. Memang harapannya adalah agar jangan jadi anak yang cengeng, jangan lekas menyerah, jaga sikap selalu dan mawas diri. Realitanya membully adalah sesuatu yang lumrah dan memang kerap terjadi. Entah untuk mengomentari sikap, memperbaiki kelakuan atau benar -- benar mengkritik dengan tajam. 

Dalam konteks dunia hiburan, suatu cerita akan tampak hidup apabila dibumbui dengan saling menghina, merendahkan bahkan sampai terjadi perkelahian. Ini sengaja diciptakan pada publik untuk menarik perhatian. Di area persekolahan, Bully tidak dapat disangkali kerap terjadi. Baik murid ke guru, guru ke murid, murid ke murid. Tindakan - tindakan seperti ini hanyalah merendahkan derajad, martabat bahkan psikis seseorang bahkan berujung pada pembalasan dendam yang melibatkan oknum, kelompok bahkan massa. Tidak perlu saya sampaikan contohnya disini. Saya rasa itu adalah aib dan luka bagi siapapun anggota keluarga yang  tidak tahan mengalaminya. 

Keadaan ini merupakan realita yang selalu ada disekitar kompleks kita. Caranya yang sekarang berbeda. Dulu secara face to face, sekarang melalui media sosial. jujur saja rasanya suasana menjadi kurang meriah tanpa kehadiran suara -- suara manjalita brother dan sister online yang berkomentar dalam dunia maya. Jangankan kasus Vanuatu. Artis papan atas, para penegak keadilan, bahkan driver ojek onlinepun tak luput jadi sasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun