Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta.
Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta. Menteri agama, Yaqut Cholil Qoumas beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan (cnnindonesia.com, 20/1/2023).
Kenaikan BPIh ini disebut Menteri Agama, Yakut, demi keadilan dan keberlangsungan manfaat dana haji.
Kenaikan biaya ini tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen negara memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfaasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah. Kenaikan biaya justru meinmbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah, di mana negara mencari keuntungan dari dana haji rakyat. Siapa yang jadi korban? Jelas rakyat, sebab selain daftar tunggunya lama, para jemaah haji rata-rata berusia renta, ditakutkan malah mengundurkan diri sebab biaya yang terlalu tinggi.
Haji memiliki makna politis dan syiar agama. Bersatunya kaum muslimin ketika wukuf di Arafah menunjukkan bahwa kaum muslimin di seluruh dunia ini diikat dengan akidah yang sama, Alquran dan kiblat yang sama, tak ada perbedaan kelas dan strata, menyerukan seruan yang sama yaitu kalimat toyyibah yang sama. Berkumpulnya kaum Muslim di satu tempat melakukan ibadah yang sama, mengumandangkan seruan yang sama menunjukkan kehebatan Islam menyatukan pemeluknya.
Kapitalisme Mengkerdilkan makna Berhaji itu Sendiri
Sungguh sayang, ibadah haji dalam sistem kapitalisme hari ini malah dikerdilkan oleh penguasanya dan hanya dianggap sebagai ibadah ritual semata. Mereka dalam kebijakannya hanya berorientasi pada perolehan materi. Makin banyak kuota jamaah haji maka makin banyak keuntungan yang didapat. Berdalih untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji, penguasa mengenakan tarif baru ( baca: kenaikan harga BIPIH) dua kali lipat.
Dan meski bagi jemaah calon haji reguler yang mendapat talangan dana dari kemanfaat haji sementara jemaah haji plus tidak, tetap saja tidak bisa dikatakan inilah keadilan yang dimaksud. Namun Menteri Yakut pun mengatakan jika kenaikan ini mengedepankan prinsip isthitha'ah (kemampuan menjalankan ibadah haji), baginya jemaah haji yang mampu saja yang akan berangkat. Namun faktanya, ada jemaah haji yang bisa berkali-kali naik haji sehingga menghalangi hal yang lain yang seharusnya bisa berangkat karena sudah sesuai dengan syarat dan kemampuan.
Kuota haji Indonesia tahun 2023 ditetapkan sebanyak 221.000 ribu orang, sesuai MOU yang sudah ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi tanggal 9 Januari yang lalu, terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Sementara dilansir dari www.arabnews.com, pada tanggal 17 Januari 2023, pemerintah Saudi telah menurunkan tarif asuransi sebesar 63 persen bagi jamaah haji dari luar negeri, yaitu dari SR235 ke SR87 dan berlaku sejak 10 Januari 2023. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa pelayanan haji dalam sistem kapitalis hanya berorientasi pada bisnis.