Pepatah buah jatuh tak jauh dari pohon memang bukan ecek-ecek alias asbun ( asal bunyi). Pepatah itu nyata, dan menyangkut tentang habits atau pembiasaan. Apapun di dunia ini berasal dari pembiasaan, rutinitas dan dilakukan berulang-ulang.
Baik aktifitas baik, jahat, penting tidak penting, salah benar berawal dari satu aktifitas yang direpeat setiap hari. Dan, karena hal pembiasaan inilah, saya sebagai ibu dibuat malu oleh anak sulung saya.
Selesai memberesi barang-barang di kos lama, kami berniat pamit kepada bapak dan ibu kos. Sekaligus berterimakasih karena selama dua bulan ini sudah menerima anak kami untuk kos. Secara, saat mendapatkan kos ini sangatlah epik, sulungku browsing di salah satu aplikasi penyedia rumah atau kamar kos dan begitu melihat pintu pagar kos-kosan langsung berniat booking. Padahal ayahnya sedang di luar kota yang berarti keputusan iya atau tidaknya ada di saya, ibunya. Inilah pengalaman pertama baginya dan bagi saya.Â
Dengan pertimbangan masa ospek kampus sebentar lagi, sudah tak ada waktu lagi untuk mencari maka saya iyakan niat sulungku. Maka, berangkatlah pria kecilku itu menuju rumah kos dan bertemu dengan pemilik kos, sepasang suami istri berparas Arab. Menurut anakku, mereka berdua heran karena anakku datang tanpa orangtua. Singkat cerita, deal akad sewa kontraknya dan sulungku pulang membawa kunci.
 Minggu berikutnya, kami datang untuk boyongan barang, berharap bisa bertemu dengan pemilik kos dan bersilahturahmi, ternyata masih belum rezeki karena mereka sekeluarga sedang ada di Ponorogo untuk acara keluarga.
 Maka, pertemuan kami kemarin adalah yang pertama sekaligus yang terakhir. Wajah ramah muncul dari balik pintu begitu kami mengetuknya. Mereka mempersilahkan kami masuk, namun karena sudah  sore dan kami masih harus berbenah di kos yang baru, kami menolak halus, saat itulah ibu kos mengatakan bahwa sulungku sangat rajin berjamaah terutama subuh. Masyaallah,  beliau mengatakan jarang ada anak muda semodel dia.
 Tentulah malu sekaligus menjadi muhasabah. Ucapan Ridha kepada anak-anak setiap selesai shalat yang selalu kupanjatkan ternyata diganti dengan yang luar biasa dan di luar dugaan. Bagaimana keadaannya jika aku memutuskan lebih lebih Shalih, tentulah Allah akan memberi lebih banyak berlipat-lipat kali.
 Dan inilah sebenarnya tantangan menjadi orangtua hari ini, di tengah arus modernisasi ala kapitalis yang tidak ada campur tangan agama samasekali memunculkan banyak persoalan di kalangan generasi muda. Seringkali yang disalahkan adalah adanya gap usia antara orangtua dan anak. Anak menganggap orangtuanya toxid, tak ikuti zaman dan terlalu banyak aturan. Sementara orangtua pusing karena banyaknya istilah asing untuk pergaulan mereka, circle pertemanan, hingga menyangkut pemikiran mereka tentang masa depan.
 Seolah anak susah di atur karena tidak sefrekwensi. Padahal akar persoalannya adalah minim belajar sehingga arus komunikasi terganggu. Tak jarang ada orangtua yang merasa tabu untuk belajar, tak hanya agama namun juga tsaqofah keIslaman guna mengikuti perkembangan zaman. Islam adalah agama yang sempurna, ia berlaku hingga akhir zaman.
 Para pengusung ide liberal saja yang mengatakan Islam harus dimodifikasi dan dikodifikasi agar tak ketinggalan dan terkesan lebih kekinian, padahal yang dimaksud adalah kebebasan beragama, aturan berasal dari manusia dan kiblatnya adalah dunia barat yang "maju". Mereka silau dari cahaya permukaan saya, padahal bak bulan, peradaban barat tak memancarkan cahayanya sendiri  melainkan pantulan saja dari cahaya matahari.
 Kemajuan teknologi dan infrastruktur mereka tidak sejalan dengan kemajuan peradaban manusianya yang justru terbelakang. Lebih bebas dari hewan, baik perilaku maupun pemikiran.
 Kembali kepada pemikiran bahwa belajar itu seumur hidup, maka tak salah jika orangtua bersahabat dengan anak supaya bisa mengurai kekakuan, keakuan dan kelakuan. Dan tak hina meminta maaf lebih dulu kepada anak ketika salah. Menjadi shaleh lebih dulu artinya siap menjadi teladan bagi anak.
Susah, pasti! Terlebih dengan sistem bebas tanpa batas hari ini, anak kita bak terbawa lari dengan kesibukan dunia, perhatiannya terhadap agama berikut tsaqofahnya ikut redup menjauh bahkan lenyap. Setidaknya dia rajin shalat berjamaah, masih terbilang minim jika dalam benaknya belum tumbuh visi misi hidup di dunia ini untuk apa.
Menurut saya, tidak ada sembilan yang lebih perih meninggalkan luka ketika melihat anak-anak kita tidak Shalih. Standar Shalih tentulah syariat, bukan sekadar terkatagori " baik". Apa gunanya baik jika shalat belum tepat waktu, apa gunanya baik jika riba tidak ia hindari zina tidak dia ingkari? Untuk apa baik jika menutup auratnya tidak syar'i? Untuk apa baik, ketika darahnya tidak mendidih melihat kezaliman, ketidak Adilan bahkan Nabi dan Islam dibuli?
Maka, menjadi urgen untuk kita menjadi cerdas dan Shalih lebih dahulu kemudian kita jadikan pembiasaan hingga bisa disebut teladan. Dan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan jalan ittiba' atau mengikuti  Rasulullah Sang Uswatun Khasanah sejati. "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah". [ QS Al Ahzab:21].
Terus terang, kelak di saat hari perhitungan, tidak ada yang lebih kita harapkan selain doa anak yang shalih, darimana kita bisa jamin keshalihan anak kita jika kita sebagai orangtuanya enggan belajar menjadi teladan bagi mereka? Wallahu a'lam bish showab .
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI