Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Seorang ibu rumah tangga yang ingin terus belajar indahnya Islam dan menebarkannya lewat goresan pena

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marah

4 Mei 2022   23:42 Diperbarui: 4 Mei 2022   23:59 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marah seringkali menjadi sarana untuk perasaan meluap, tanda tak puas, ingin menjelaskan sesuatu, ingin orang melihat kebenaran, ingin diakui kemampuannya dan lain sebagainya. 

Intinya ia keluar dari gharizah baqa' atau naluri mempertahankan diri yang memang diciptakan Allah sebagai bekal manusia bertahan hidup di dunia. Sama seperti hewan, bedanya manusia diberi akal, sehingga dengan pemahaman yang benar bisa mengatur marah pada tempatnya. 

Mengapa marah harus diatur? Dan ada tempat-tempat agar marah itu " berguna"? Faktanya, meskipun kini teknologi canggih dalam menyampaikan berita apapun, bila marah disalurkan melalui media sosial, semisal WhatsApp, tak selalu berujung positif. Masalahnya, cara baca seseorang berbeda, dalam satu kalimat pemenggalan kata yang dibaca pun tak sama, sehingga seringkali menimbulkan kesalahpahaman dan masalah malah beranak Pinak menjadi masalah baru. 

Tabbayun itu perlu, sehingga marah pun bisa tersalurkan dengan benar. Berita tak sekadar dibaca dan ditelan mentah-mentah, apalagi sekarang adalah era dimana persoalan pribadi, keluarga, mertua, artis, perusahaan, partai dan lain-lain malah dijadikan konten. 

Jika dirubah dalam bentuk sinetron maka skenarionya akan beribu-ribu seri. Semakin ibu-ibu terpicu untuk emosi, semakin rating sebuah stasiun TV meningkat, dan semakin pula pendapatan melimpah ruah. Sebab mengundang iklan lebih banyak dengan durasi lebih panjang. 

Tak luput keluarga, dengan latar belakang masing-masing yang tak seindah negeri dongeng. Masing-masing dibesarkan oleh lingkungan yang berbeda karena keadaan. Begitu rentan perpecahan, hal remeh remeh bisa menjadi besar. Salah sedikit marahnya membabi buta, bahkan berujung debat kusir atau malah menyerang individu. 

Ternyata, sering marah, akan membuat tubuh merasakan perubahan yang tidak sehat dan bisa menyebabkan beberapa penyakit dan komplikasi di antaranya hipertensi, depresi, kecemasan, insomnia, tukak lambung, hingga diabetes.

Bagaimana marah dalam pandangan Islam? Allah SWT berfirman dalam Quran surat QS. Ali Imran ayat 133-134 yang artinya: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."

Sedang Rasulullah Saw bersabda,"Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah." (HR Bukhari dan Muslim).

Bukan berarti marah dalam Islam tidak boleh, sebab dalam marah, meskipun jika terlalu sering menimbulkan banyak efek negatif, namun tetap ada positifnya, diantaranya keseimbangan hormon dan psikis. Sebab marah salah satu cara untuk melepaskan stres, sehingga sesudahnya menimbulkan rasa rilex dan tenang. 

Namun Islam lebih mengutamakan mampu menahan marah, artinya, marah bukan sekadar marah, namun dengan pemahaman untuk lebih dulu tahu apa duduk perkara, dengan Tabayyun. Kemudian, fikirkan apakah marah ini akan menyelesaikan masalah atau justru membuat runyam, apakah marahnya sudah terhadap sesuatu yang dibenarkan Allah. Dan satu lagi, marah bukan ajang untuk mencari pembenaran diri.

Maka, menahan amarah, bukan berarti tidak boleh marah, namun lebih kepada mengatur marah, agar tidak saling menzalimi. Bisakah hal itu terjadi? Tentu bisa, jika masing-masing individu mau belajar agama Islam lebih mendalam, tidak hanya terbawa perasaan belajar yang mudah namun melalaikan yang sulit. 

Kedua, menahan marah sekaligus juga menanam iklas. Sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit dipraktikkan. " Aku itu iklas, tapi...bla..bla..blas", " Bukannya aku gak iklas, tapi..bla, bla, bla.." atau, " Enak aja iklas, emang hati dibuta dari comro?" Dan lain sebagainya. Yang sebenarnya menunjukkan bahwa iklas itu belum ada. 

Ketika ego kita tersentuh dan kita menanggapinya dengan marah, seketika iklas pergi tanpa pamit. Ini yang benar-benar ujian terberat, sebab iklas adalah lawan dari marah. Ini tak ada hubungan dengan neton ( hari lahir seseorang dalam adat Jawa) yang jika tanggalnya tinggi, maka ia akan sok kuasa, tidak juga berhubungan dengan bintang ala horoskop yang melabeli bintang Leo lebih pemarah daripada bintang Aries. Sungguh tak ada hubungannya dengan hoax, khuraffat, klenik dan lain sebagainya. 

Iklas bila diibaratkan seperti QS Al Iklas yang di dalamnya tidak ada penyebutan iklas. Melainkan dari makna yang terkandung di dalamnya. Ada yang juga mengatakan ," iklas itu di hati tak perlu diucapkan" apakah mereka lupa bahwa lisan katakan iklas tapi kata-kata malah menunjukkan sebaliknya itu artinya belum iklas. 

Ketiga, turut menciptakan suasana keimanan dengan beramal makruf nahi mungkar, bukan egois, bukan asal menasehati juga, namun dengan penuh kasih sayang memberikan gambaran betapa indahnya Islam menyelesaikan persoalan umat. Ketiga dengan menerapkan syariat dalam segala aspek, terutama dalam hal sanksi, hukum, hidup dan jinayad. Jika keadilan mampu meredam kemarahan, maka keadilan itu hanya ada dalam Islam. Wallahu a' lam bish showab. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun