Kedua kita pastikan tak akan menduakan Allah SWT, dalam hal apapun, ketika beramai-ramai atau sendiri. Sama saja kita berkhianat ketika syahadat kita yang terlafal masih sama," Saya bersaksi Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah" jika secara amal kita malah taat kepada demokrasi, kapitalisme , liberalisme dan lainnya. Terlebih hingga melebur dalam keanggotaan sebuah partai pengusung ide kufur, yang asasnya sekuler.Â
Mungkin alasannya karena harus ada tindakan nyata, agar tujuan segera tercapai, bukan omong doang. Atau, kalau tidak memilih pemimpin hari ini maka kaum Muslim akan terus dikuasai. Buktinya, siapapun pemimpin kita, nasib tetap sama. Berapapun keterwakilan kita dari partai Islam di parlemen, tak pernah ada perbaikan. Masih percaya, pemilu yang akan datang membawa hasil berbeda? Dan apakah mengkaji Islam Kaffah bukan tindakan nyata? Seorang guru, tentu tindakan nyatanya adalah mengajar, berbicara menjelaskan bahan ajar dan meminta para muridnya untuk belajar.Â
Ketiga, memang kini forum kajian menjamur, meskipun pemerintah meluncurkan daftar penceramah radikal, namun tak bisa membendung gelombang rasa haus akan ilmu yang menghinggapi masyarakat. Hal itu adalah baik, Allah SWT juga mewajibkan setiap kaum Muslim untuk menuntut ilmu, namun jika kajian tersebut hanya berkutat pada nafsiyah saja dan tidak ada pemikiran di dalamnya hanya akan membuang waktu dan energi.
Baik jika untuk diri sendiri untuk apa? Kajian yang bermuatan pemikiran atau lazim disebut politik, memang harus dikuasai oleh setiap individu Muslim. Sebab dari situlah pangkal lahirnya pemahaman yang benar, ketika kita baik, namun tak memberi pengaruh pada sekitar untuk apa? Baik untuk diri sendiri, di saat yang sama akar persoalannya adalah karena politik Islam dilarang diterapkan, untuk apa?Â
Islam tak bisa dipisahkan dari politik, Imam al-Ghazali mengatakan relasi agama dan negara (pemimpin negara) bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari rahim seorang ibu yang sama. Keduanya saling melengkapi. Bahkan, politik (negara) menempati posisi yang sangat urgen dan strategis, yang hanya berada setingkat di bawah kenabian (Al-Ghazali, 1994: 136).
Sultan (kekuasan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam yang merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya". (Al-Ghazali, 1969: 215).
Sistem hari ini memang berniat memisahkan kaum Muslim dari politik Islam , sebab jika mereka paham ini adalah keadaan yang berbahaya bagi para pemimpin kafir berikut pengusahanya, hancur kekayaan mereka karena Islam, habis hegemoni mereka, tentu tak akan mungkin dibiarkan. Sehingga sepanjang hayat, strategi mereka tak lain dan tak bukan adalah memadamkan Islam, mengadu domba dan mengopinikan keburukan Islam, bandingkan dengan ide komunis atau yang lain.
Ingatlah, Islam adalah agama yang diridhai Allah satu-satunya, maka, seberapa besar makar manusia yang benci Islam, Allah justru akan menghangcurkan mereka, Allah berfirman, "Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya."(QS at-Taubah: 32).Â
Keempat, kita harus yakin untuk tak bergeser seinci pun dari apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw, Sang Uswatun Hasanah. Teladan beliau berdasarkan tuntunan Wahyu, tentu tak akan keliru. Jika pun hari ini belum nampak hasil, bukankah hidup kita hanya untuk ibadah kepada Allah SWT, jadi untuk apa bersusah hati, berpikir positif saja bahwa apa yang sudah kita lakukan adalah juga bagian dari ketaatan sebagaimana yang Allah SWT tentukan. "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS. Adz Dzariyat: 56). Wallahu a'lam bish shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H