Setiap orang tidak semua beruntung terlahir sebagai anak sultan. Lahir dari keluarga kaya, masa kecil bahagia, dewasa bisnis menggurita, tua pelesir tanpa jeda, mati dikenang banyak orang. Kalaulah ada pasti jumlahnya sedikit. Dan, jika kita tidak begitu apakah harus berjuang mendapatkannya?
Saat scroll Facebook, ada tayangan video yang memperlihatkan seorang ibu dikurung oleh anak kandung dan istrinya ( menantu). Selama 9 hari, berada di ruang tertutup, entah masalahnya apa, saya juga tak berani melanjutkan menonton, karena melihat sekilas saja sudah terbayang betapa kejinya perbuatan mereka dan tentu sudah mati hatinya.Â
Seketika terbayang wajah ibu, seburuk apapun pengasuhannya, yang jelas ketika kami terpaksa berpisah karena ada suatu hal, pasti bukan itu kehendak sesungguhnya. Hati ibu mana yang tega memisahkan buah hati yang dikandungnya selama sembilan bulan, dilahirkan dengan penuh perjuangan? Lantas , jika ini adalah sebuah kesalahan pantaskah kita sebagai anaknya menuntut kepada beliau untuk mengembalikan masa muda, masa kanak-kanak dan bahkan minta untuk tak dilahirkan?
Mungkin kita perlu meluangkan waktu untuk kembali menatap wajah ibu kita dengan seksama, telusurilah guratan halusnya, kantung-kantung lemak di pipi dan ujung matanya yang tak lagi elastis, namun senyum senantiasa mengembang ketika kita berbicara, menyapanya, bahkan mungkin "membuly"nya.Â
Bukan sinetron bukan drama, saya melihat sendiri fakta seorang anak yang menggugat masa lalunya. Ingin dikembalikan sebagaimana anak " normal" lainnya. Padahal, tak ada anak sempurna atau orangtua sempurna di dunia ini. Bahkan tak ada satu metode pun yang bisa benar-benar bisa mengembalikan masa lalu kecuali satu memaafkan dan kemudian mengambil hikmahnya.Â
Sekalipun dalam ajaran Islam begitu sempurna memberi pengajaran bagaimana menjadi anak dan orangtua, namun tetap saja ada lemah dan kuat penerapannya di masyarakat. Terlebih jika berada dalam sistem kapitalistik sekuler sekarang. Di mana segala sesuatu dihitung manfaat materinya.Â
Dalam hal apapun, termasuk dalam hubungan anak dan orangtua, banyak orangtua yang menuntut anak " Balas Budi" karena telah membesarkan dan membiayai si anak. Sehingga harus ada imbal balik materi supaya bisa "impas" . Orangtua tidak rugi-rugi amat. Jabatan anak dalam kariernya bisa sekaligus mengdongkrat pengaruh orangtua di mayarakat.
Si anak pun menuntut orangtua, mencaci tak henti, mencela tak berjeda, seolah hanya orangtua yang pantas disalahkan atas hidupnya yang " kurang beruntung. Alangkah bijaksana jika ia menarik kembali tuduhannya. Berdamai dengan emosi dan mulailah buat perbandingan. Lebih afdol mana antara menemui orangtua yang masih hidup dengan nanti saat meninggal dan hanya ditandai nisan kubur?
Ketika ibu kita hidup, kita bisa mengungkapkan apa saja, bahkan mencoba berbagi rasa mengapa dulu beliau tak seperti ibu lain? Mengapa kita tak bisa bak anak sultan? Bukankah setiap keputusan dikatakan tepat pada saat keputusan itu dibuat? Lantas apa gunanya kita meminta semua diulang, bila sebagian besar adalah kehendak Allah dan atas izin Allah?Â
Allah tak pernah menuntut anak membalas orangtua dengan seratus persen sebagaimana orangtua kepada anak, namun cukuplah berbuat baik. "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS Al Isra:23).Â