Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Seorang ibu rumah tangga yang ingin terus belajar indahnya Islam dan menebarkannya lewat goresan pena

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika untuk Syiar, Mengapa Harus Julid?

21 Februari 2022   21:32 Diperbarui: 21 Februari 2022   21:37 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal paling berkesan ketika kecil adalah suara azan, menggema lima kali dalam sehari, saat itu saya masih belum mengenal Islam. Namun, suara pujian, shalawat, kajian, menjelang azan begitu akrab merajuk di hati. Rasanya ingin tahu, apa saja yang dilakukan orang-orang di masjid itu setiap kali menjelang azan. 

Puluhan tahun kemudian, hidayah itu sudah menetap di hati, berharap hanya satu saja keadaan yang akan tertinggal di dalam diri ini, yaitu hidup dan meninggal dalam keadaan Islam. Insyaallah, aamiin. 

Namun sungguh mengherankan, ada saja pejabat di negeri ini yang berharap penggunaan pengeras suara masjid itu dihilangkan. Ini negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, namun terkesan antipati dengan Syiar Islam. Bukankah Syiar harus keras, itulah mengapa para Walisongo menggunakan bedug, wayang kulit, gamelan sebagai wasilah untuk menyebarkan Islam dan berinfiltasi dengan budaya lokal, saat itu Hindu dan Budha. 

Bahkan pejabat itu melegalisasi perintahnya dengan menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.  

Menurutnya, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Namun karena pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. "Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat," demikian tegasnya. 

Mengapa syiar dikaitkan dengan gangguan keberagaman? Sungguh ini adalah narasi menyesatkan, sebab, tidak sehari dua kaum Muslimin menjadikan suara toa atau pengeras suara sebagai bagian dari kehidupan beragamanya. Dan tidak ada masalah, mengapa baru hari ini? Dan bukankah ada banyak hal yang lebih penting untuk diurus, semisal langkanya minyak, penanganan Covid jangan hanya PPKM, tanda tangan proyek IKN di atas penderitaan rakyat dan lain sebagainya. Rakyat sedang sengsara, mengharap pemerintah fokus pada persoalan utama saja, mengapa justru berputar pada yang tak terbukti kebenarannya?

Rasanya memang terlalu dipaksakan, menyebut hanya Islam sebagai biang kerok hancurnya keberagaman. Cobalah tengok di belahan dunia manapun, adakah Islam biang keladinya? Ataukah ada orang munafik yang mencoba menjilat kotoran dari kaum kafir yang ketakutan kepada Islam? 

Bagaimana Muslimah di India yang tak boleh bersekolah hanya karena mereka mengenakan jilbab, muslim Myanmar yang disiksa para Budha jika mereka menampakkan keIslaman mereka, bagaimana wanita Muslimah Xin Jiang, Palestina. Dan fakta pembantaian yang terjadi bukan Muslim pelakunya, namun dunia seakan buta dan tuli, tetap saja Islam biang keroknya. 

Tanpa pemahaman yang benar terkait agamanya, dan begitu gencarnya opini yang menyudutkan Islam membuat sebagian besar Kaum Muslim mengalami Islamophobia. Padahal, agama Islam dijamin Allah adalah agama yang benar. Selain itu tak ada. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." (QS At Taubah :33). 

Lebih menyedihkan, karena urusan perut telah banyak menjebak Kaum Muslim yang rela menukar murah agamanya agar ia bisa hidup enak di dunia. Inilah yang lebih membahayakan dibanding kaum kafir itu sendiri yang memang nyata telah benci dan menolak kebenaran Islam. 

Saat Khalifah Mu' tasim Billah berjaya, ada seorang Muslimah, diganggu seorang gubernur Romawi di kota Ammuriah ( bagian dari wilayah Turki) pada bulan April tahun 833 M. Mendengar kejadian tersebut Khalifah Mu'tashim Billah, yang saat itu berada di Baghdad, segera mengirimkan pasukan untuk memerangi Kota Ammuriah. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh Khalifah untuk membebaskan Ammuriah dari jajahan Romawi.

Ya, saat itu kaum Muslim memiliki pemimpin yang bakal melindungi mereka dari gangguan apapun, kini, ketika perlindungan itu tak ada, tak bersuara bahkan sekarat hendak mati pun masih dituduh sebagai biang kerusakan dunia. Tidakkah kita ingin kembali ke masa itu, dimana kita memiliki pelindung sejati, bukan hasil dikte kaum kufar? 

Rasulullah saw. bersabda:

"Siapa saja yang di hadapannya ada seorang Mukmin yang dihinakan, namun dia tidak menolong Muslim tersebut, padahal dia mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakan dia di hadapan seluruh makhluk-Nya pada Hari Kiamat". (HR Ahmad). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun